Senin 15 Sep 2014 15:30 WIB

Politik Jalan Tengah Kaum Nahdliyin

Red:

Oleh: Muhammad Subarkah(Wartawan Republika) -- Nun, setengah abad silam di sela riuh kampanye pasca-Pemilu 1955, Pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit dengan bersemangat menuliskan refleksinya mengenai revisionisme sejarah di kalangan masyarakat Jawa. Aidit dalam buku karyanya yang berjudul, Indonesian Society and The Indonesian Revolution (terbit 1958) yang kemudian dikutip sejarawan MC Ricklefs, lebih lanjut menyatakan pandangannya bahwa Islam adalah paham yang paling bertanggung jawab dalam soal penghancuran identitas orang Jawa.

Aidit menyatakan bahwa pedagang-pedagang Muslim dari Persia dan India telah mempertobatkan bangsawan Hindu setempat agar memeluk agama Islam dan mendorong mereka untuk membuang loyalitas mereka kepada Majapahit. Wali Songo kemudian menjatuhkan Majapahit.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Arief Firmansyah/Antara

''Ini semua akibat dari kontradiksi yang muncul antara kerajaan-kerajaan feodal Muslim yang telah menyatu padu dengan pemilik modal komersial (para saudagar) dan kerajaan feodal Hindu yang masih sepenuhnya agraris. Kita bisa yakin bahwa tema yang sama ini—bahwa bagian yang terbaik dari identitas kejawaan yang sesungguhnya telah dihancurkan oleh Islam. Bahwa Islamisasi adalah sebuah kekeliruan peradaban,'' tulis Aidit. Selain menuangkannya dalam bentuk tulisan, pemikiran ini oleh Aidit pada saat itu juga didengung-dengungkan di berbagai sesi propaganda di tingkat akar rumput.

Dan, memang bila menyimak kutipan itu, terasa betapa beratnya posisi kaum Muslim, khususnya warga nahdliyin dan Jamiah Nahdlatul Ulama pada saat itu. Udara politik pada saat itu sangat tidak kondusif bagi mereka. Persaingan politik memaksa mereka tersudut hingga posisi paling pojok. Akibatnya, sikap yang kemudian muncul adalah permusuhan di basis masa rakyat demi mempertahankan 'hidup'. Istilahnya posisi NU layaknya roti bika yang baru matang bila ditindih bara di bagian atas dan dipanasi nyala api dari arah bawah.

Menyadari posisi itu, NU kemudian berusaha keras keluar dari jepitan. Para kiai yang punya kemampuan politik kemudian memainkan politik akomodasi atau dengan kata yang 'lebih canggih' disebut politik 'jalan tengah'. Dari hari ke hari dengan sabar politik itu mereka coba mainkan secara terus-menerus hinga sekarang. Untunglah semua kesulitan bisa mereka lalui dengan selamat sampai sekarang.

''Pilihan politik NU dari dulu hingga sekarang, ya politik jalan tengah (politik wasathiyah). NU ada di mana-mana, tapi tidak ke mana-mana,'' begitu pernyataan mantan ketua umum PB NU, KH Hasyim Muzadi, yang kerap terdengar di berbagai pertemuan. Menurut dia, NU hanya menjaga dan menjalankan politik kebangsaan.

                                                                *****

Dan, sekarang zaman tentu sudah sangat berubah. Bila pada dekade 50-an kekuatan NU bagi kalangan politisi penguasa yang saat itu berpaham 'sekuler habis' hanya dianggap sebagai pihak 'pelengkap penderita, kini posisi NU menjadi ajang rebutan. Layaknya seorang gadis cantik yang shalehah NU menjadi idaman para pria yang ingin mencari pasangan pujaan.

Cendekiawan muda NU Ahmad Baso menyatakan peran politik NU belakangan semakin bernilai strategis ketika bangsa ini punya banyak masalah, misalnya dalam kasus terakhir ketika muncul pembelahan sosial yang akut ketika ada pemilihan presiden (pilpres). Menyadari posisi itu, NU sebagai organisasi masa Islam terbesar mau tidak mau harus bertindak sebagai pihak yang memberi pengayoman dan rahmat bagi semua anak-anak bangsa. Selain itu, NU juga mulai dituntut bisa memberikan solusi konkret setiap kali muncul persoalan umat dan kebangsaan yang semakin hari semakin serius, seperti munculnya kubu-kubuan di masyakarat akibat pilpres tersebut.

''NU itu politiknya memang politik kebangsaan. Jadi, kalau ada proses di pemilihan presiden, gubernur, wali kota, atau bupati, maka posisinya sudah sangat jelas, yakni netral. Jadi, tinggal memainkan posisi para kadernya yang ada di berbagai kelompok dengan bekal acuan bahwa mereka harus memainkan politik kebangsaan. Di sini, mereka harus jaga NKRI, Pancasila, kemaslahatan umat, keberagaman, doktrin ahlus sunnah wal jamaah (Aswaja), dan lainnya,'' katanya.

Posisi ini semakin menarik ketika sekarang muncul kekuatan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dalam periode 10 tahun terakhir meredup. Entah karena apa kalangan anak-anak muda dari warga partai yang berlatar belakang kaum nahdliyin bisa mengembalikan 'kejayaan' politiknya. Partai ini kemudian malah mampu menempkan posisi 'kuncian' pada saat persaingan pemilihan presiden. Berbagai kalangan bahkan berani mengatakan tanpa peran PKB pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla tak bakal mampu meraih kemenangan dalam pilpres yang berlangsung Juli 2014 itu.

''PKB adalah partai yang sangat menentukan kemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden. Tanpa PKB pasangan Jokowi-JK ini tidak akan memenangkan Pilpres 2014. Ini karena selisih perolehan suara Jokowi dan Prabowo yang memang tidak banyak," kata Qodari dalam sebuah acara diskusi di Jakarta.

Peran kunci PKB dalam pemenangan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla tampak jelas dalam soal penjaringan suara pemilih di wilayah yang selama ini menjadi basis 'pemiih tradisionalnya', yakni Jawa Timur. Sebab, Prabowo-Hatta itu mampu menang di Jawa Barat, sedangkan Jokowi-JK unggul di Jawa Tengah. "Maka, pertarungan di Jawa Timur menjadi penentu. Dan, daerah ini identik dengan PKB," ujarnya.

Dengan demikian, lanjut Qodari, karena PKB memberikan dukungan ke Jokowi-Jk, secara otomatis pemilih mereka di Jawa Timur memilih pasangan itu. Apalagi, berdasarkan hasil Pemilu Legislatif  2014, partai yang didirikan oleh mantan presiden KH Abdurrahman Wahid itu mendapatkan suara yang cukup signifikan.

Adanya peran strategis PKB dalam peta politik Indonesia terkini itulah membuat posisi NU ikut terangkat secara signifikan. Mereka yang meragukan kemampuan politik warga nahdliyin kini tertepiskan. Belum lagi bila melihat potensi kader politisi nahdliyin yang berada di berbagai partai yang lain.

''Ya, kalau sekarang PKB mampu lebih meyakinkan warga NU untuk memilihnya, semua itu jelas kepintaran pengurus PKB pimpinan Muhaimin Iskandar yang dapat memainkan posisi dirinya bahwa dia adalah anak sah dari NU. Tapi, di NU sendiri posisi preferensi politiknya kan sebenarnya tetap terbuka. Kalau ada kader di Golkar yang  juga mengklaim seperti PKB, ya silakan saja. Begitu juga di PPP, ya silakan saja,'' kata Ahmad Baso lagi.

                                                      ******

Lalu, bagaimana sikap Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar ketika harus 'berhadapan' dengan organisasi yang selama ini diklaim menjadi 'ayah kandungnya' itu. Harus diakui Muhaimin piawai memainkan perannya. Layaknya santri yang paham bahwa harus berbakti kepada kiai yang menjadi gurunya, dia tak pernah melakukan perlawanan secara frontal kepada PB NU. Muhaimin memainkan jurus ala bertinju Muhammad Ali, yakni menari bagai kupu-kupu, menyengat bagai lebah.

Sikap ini, misalnya, ditunjukkan Muhaimin ketika harus menghadapi manuver elite PB NU yang berbeda preferensi politiknya pada Pilpres 2014 tersebut. Ketua Umum PB NU KH Said Aqil Siradj lebih memilih ke pasangan nomor satu. Sementara, Wakil Ketua Umum PB NU, H As'ad Said Ali, lebih memilih dekat ke pasangan nomor dua. Dan, ternyata di ujungnya persoalan ini bisa diurus dengan baik sehingga hubungan PKB dengan Ketua Umum PB NU tetap baik-baik saja.

Sikap sebagai santri yang saleh itu kemudian ditunjukkan ketika Muhaimin ditanya soal posisi jabataan menteri agama dalam kabinet presiden terpilih Joko Widodo. Muhaimin jauh-jauh hari sudah menegaskan bahwa warga Nahdlatul Ulama (NU) bakal menjadi menteri agama jika Joko Widodo memenangi pilpres.

"Saya menjamin menteri agama dari kalangan NU kalau Jokowi-JK menang," kata Cak Imin di hadapan ratusan warga NU yang hadir dalam acara Tasyakuran Kemenangan PKB Jatim, di The Empire Palace, Surabaya, awal September lalu. Pernyataan Cak Imin itu sekaligus untuk menepis beredarnya isu yang menyebutkan Joko Widodo akan menunjuk warga Syiah menjadi menteri agama jika terpilih dalam Pilpres 2014 mendatang.

Tak hanya itu, Muhaimin kemudian buru-buru menyatakan tak berminat menjadi menteri agama. Meski begitu, ia pun terlebih dahulu mengatakan soal menteri semuanya itu akhirnya berada pada tangan presiden terpilih. "Yang pasti saya tidak mau jadi menteri agama," ujarnya.

Bukan hanya itu, Muhaimin pun kemudian berani berseloroh. Menurutnya, kalau menteri agama bukan dari NU, hanya akan membuat masalah. "Kalau menteri agama bukan dari NU, maka  pengumuman Idul Fitri dan Ramadhan bisa pecah itu di kalangan masyarakat," ujarnya.

Alhasil, akankah NU kembali menyetir jalur politiknya dengan tepat. Jargon NU ada di mana-mana, tapi tidak ke mana-mana, jelas bukan hal mudah dijalankan. Apalagi, kini telah muncul generasi politisi baru kaum nahdliyin yang sudah begitu piawai bermain politik.

Untuk itu, mari kita tunggu saja seperti apa hasilnya? Dan, mudah-mudahan pula sikap skeptis terhadap 'politik Islam' yang dahulu sempat dilontarkan Aidit, kini tak muncul kembali. Wallahu a'lam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement