Sejak selesainya amandemen konstitusi sampai hari ini, masih terjadi tarik-menarik tafsir ‘kepala daerah dipilih secara demokratis’ yang ada di Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945. Sebagian pakar berpendapat, karena pasal itu berada di Bab IV tentang Pemerintahan Daerah, maka pilkada tidak masuk rezim pemilu, tapi rezim pemerintahan daerah, sehingga kepala daerah tidak perlu dipilih langsung. Sebab, soal pemilu diatur di Bab VIIB. Tapi, pendapat ini dibantah sebagian pakar lainnya, yang menilai dikotomi rezim tersebut tidak tepat. Sebab, di Pasal 18 Ayat (3) nyatanya juga ada sebutan pemilu. Selain itu, soal pemilu juga diatur di Pasal 6A yang berada di bawah Bab III tentang Kekuasaan Negara.
Foto:Republika/Edwin Dwi Putranto
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI, Gamawan Fauzi (kanan), membacakan pandangan pemerintah dalam raker dengan komisi II DPR di Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (6/6). Rapat tersebut membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA).
Selain di tingkat wacana, tarik-tambang juga terjadi di lapangan. Pada mulanya, pilkada diterapkan secara langsung. Beberapa tahun kemudian, sebutannya bahkan dikukuhkan sebagai pemilukada, lewat UU Penyelenggara Pemilu. Tapi, belakangan, tafsir itu mulai menyurut. Pemerintah, misalnya, mengusulkan pemilihan gubernur lewat DPRD, sedangkan bupati/walikota dipilih langsung. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi melepas kewenangan menangani sengketa pilkada, sebab dianggap merupakan tambahan kewenangan yang tak ada dalam konstitusi. Yang paling mutakhir adalah mayoritas fraksi di DPR yang hendak mengubah pilkada langsung menjadi tak langsung alias lewat DPRD.
Berikut pasang surut tafsir dipilih secara demokratis selama 10 tahun terakhir:
15 OKTOBER 2004
* Presiden Megawati Soekarnoputri mendatangani Undang-Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengatur pemilihan kepala daerah secara langsung, seperti tertulis di Pasal 56 Ayat (1): "Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil."
* Argumen menggelar pilkada secara langsung itu, sebagaimana tertulis di Penjelasan Umum UU No 32/2004, adalah karena UU Susduk tidak memberikan tugas dan wewenang kepada DPRD untuk memilih kepala daerah, sehingga ‘pemilihan secara demokratis’ dimaknai sebagai pemilihan langsung.
* Penerapan pilkada ini sama persis dengan penerapan pilpres, yaitu calon diajukan partai/gabungan partai, diajukan satu paket, dan menggunakan sistem run off alias dipilih di putaran kedua jika tak ada yang mencapai suara mayoritas. Meski demikian, suara mayoritas yang harus diraih kepala daerah hanya cukup 25 persen, tak harus 50 persen+1 seperti halnya pilpres. Meski demikian, pilkada langsung itu selangkah lebih maju dibanding pilpres, karena sudah mengatur calon independen maju sebagai kandidat.
* Pasal 233 Ayat (1) UU tersebut menyatakan pilkada langsung mulai digelar Juni 2005.
11 FEBRUARI 2005
* Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang mengatur tata cara pilkada secara langsung.
* Penjelasan Umum PP itu menyatakan: "Sejalan dengan pengembangan sarana demokrasi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil melalui pemungutan suara."
22 MARET 2005
* Mahkamah Konstitusi memutuskan uji materi UU No 32/2004. Dalam Putusan Nomo 072-073/PUU-II/2004, Mahkamah berpendapat bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 UUD 1945, adalah kewenangan (opened legal policy) pembuat UU untuk memilih cara pemilihan langsung atau cara-cara demokratis lainnya. Dan karena pembuat UU telah menjabarkannya sebagai pilkada langsung, Mahkamah menyatakan konsekuensi logisnya, asas-asas penyelenggaraan pemilihan umum harus tercermin dalam penyelenggaraan pilkada yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil) dan diselenggarakan oleh lembaga independen.
* Terhadap pendapat apakah pilkada langsung termasuk kategori pemilu yang secara formal terkait dengan ketentuan Pasal 22E UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa pilkada langsung tidak termasuk dalam kategori pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E konstitusi. Namun demikian, Mahkamah menyatakan pilkada langsung adalah pemilu secara materiil untuk mengimplementasikan Pasal 18 UUD 1945. Karena itu dalam penyelenggaraannya dapat berbeda dengan pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E konstitusi, misalnya dalam hal regulator, penyelenggara, dan badan yang menyelesaikan perselisihan hasil pilkada, meskipun harus tetap didasarkan atas asas-asas pemilu yang berlaku.
JUNI 2005
* Pilkada langsung pertama digelar. Saat itu, sengketa pilkada ditangani oleh Mahkamah Agung dan jajarannya.
* Penanganan sengketa pilkada di MA dan Pengadilan Tinggi yang menciptakan sejumlah kekisruhan, belakangan mencuatkan wacana agar sengketa pilkada ditangani Mahkamah Konstitusi.
19 APRIL 2007
* Pilkada langsung masuk dalam pengertian pemilu, yang dikukuhkan oleh UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang disahkan pada 19 April 2007. Pasal 1 angka 4 UU itu secara eksplisit menyatakan: "Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung....." UU tersebut memperkenalkan istilah pemilukada.
* Konsekuensinya, sengketa pemilukada beralih kepada lembaga kekuasaan kehakiman yang diberi kewenangan memutus perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau sebagaimana diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, yaitu Mahkamah Konstitusi.
28 APRIL 2008
* Disahkan UU No 12/2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 32/2004, untuk mengalihkan sengketa pemilukada dari MA ke MK. Peralihan kewenangan itu diatur di Pasal 236C: "Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan."
* Perubahan ini kemudian ditindaklanjuti dengan dibuatnya MoU pada 2008 tentang pelimpahan penanganan penyelesaian sengketa pemilukada dari MA kepada MK.
* MK mulai menangani sengketa pemilukada sejak 2008.
29 OKTOBER 2009
* Disahkan UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menambahkan kewenangan bagi MK dalam menyelesaikan sengketa pemilukada. Pasal 29 Ayat (1) huruf e menyatakan: "kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang." Penjelasan pasal tersebut menyatakan: "dalam ketentuan ini termasuk kewenangan memeriksa, dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan."
20 JULI 2011
* UU No 8/2011 tentang Perubahan UU No 24/2003 tentang MK disahkan. Namun, tidak ada penambahan frasa kewenangan MK dalam mengadili perkara sengketa pemilukada. 2011
* Perubahan UU No 32/2004 masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2011. UU tersebut dipecah menjadi tiga, yaitu RUU Pemda, RUU Pilkada, RUU Desa. Lewat RUU Pilkada, pemerintah mengajukan gubernur dipilih DPRD, dan bupati/walikota dipilih langsung.
JUNI 2012
* RUU Pilkada mulai dibahas oleh pemerintah dan DPR.
2 OKTOBER 2013
KPK menangkap Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, karena terlibat suap dalam menangani sengketa pemilukada.
23 JANUARI 2014
* Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemilu serentak yang diajukan oleh Effendi Ghazali. Dalam putusan Nomor 14/PUU-XI/2013, MK mengabulkan pemilu serentak (presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) alias pemilu lima kotak, tapi digelar pada 2019.
* Putusan ini membuat buyar rencana menggelar pemilu serentak dalam format nasional-lokal.
19 MEI 2014
* MK melepaskan kewenangan menangani sengketa pilkada dalam Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013, tentang uji materi UU No 28/2008 dan UU No 48/2009. Tidak jelas kepada lembaga mana sengketa itu kelak akan ditangani, MK menyerahkannya kepada pembuat UU.
* Putusan ini diiringi dissenting opinion dari dua hakim konstitusi, yaitu Arif Hidayat dan Anwar Usman.
* Arif Hidayat menyatakan, "Sejak 2008 hingga 2014, MK telah memutus PHPU-kada sebanyak 689 perkara. Sebanyak itu pulalah Mahkamah secara konsisten menyatakan dalam putusannya berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara PHPU-kada. Adalah sungguh sebuah kenaifan jikalau dalam perkara a quo Mahkamah justru menyatakan bahwa Pasal 236C UU No 12/2008 serta Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No 48/2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Padahal, di sisi lain, Mahkamah telah beratus kali menyatakan dirinya berwenang untuk memeriksa dan mengadili PHPU Kada."
2 SEPTEMBER 2014
* Pemerintah yang semula menghendaki pilkada kembali ke DPRD (pada posisi saat itu menghendaki gubernur dipilih langsung dan bupati/walikota dipilih DPRD), akhirnya menyerah pada sikap keukeuh sebagian besar fraksi-fraksi di DPR yang tetap ingin pilkada langsung. Maka, pemerintah pun setuju gubernur, bupati, dan wali kota dipilih langsung.
* Tapi, saat pemerintah ingin pilkada langsung, juga terjadi perubahan sikap drastis fraksifraksi, khususnya yang dalam pilpres tergabung dalam Koalisi Merah Putih. Fraksifraksi yang semula getol mendukung pilkada langsung, berbalik menginginkan gubernur, bupati, dan wali kota dipilih DPRD. Alasanya, dipilih DPRD pun sah dan konstitusional, sesuai Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.