Anda pernah menyatakan kalau Pasal 18 UUD 1945 dibahas di amandemen ketiga, pilkada akan masuk rezim pemilu. Bisa jelaskan?
Jadi begini, kita kan tau perubahan UUD diwarnai tarik menarik antara kubu yang suka pemilihan langsung dengan kubu yang tak suka, dengan kalkulasi politik jangka pendek masing-masing. Yang paling tidak suka adalah PDIP, karena meng anggap bertentangan dengan Pancasila dan sebagainya. Ini kemudian jadi pending case. Lalu Pasal 18 disepakati tahun 2000, lebih dulu [dibanding Pasal 22E dan Pasal 6A yang mengatur pilpres langsung, yang disepakati pada amandemen ketiga tahun 2001].
Di dalam Pasal 18 itu siapa bilang tidak ada pemilihan? Ada. DPRD yang dipilih oleh rakyat kan ada di situ [Pasal 18 Ayat (3)]. Tapi, karena ketentuan tentang pilpres belum disepakati, maka kemudian [untuk pemilihan kepala daerah] digantung model pemilihannya, dikatakan dipilih secara demokratis.
Foto:Republika/Agung Supriyanto
Ada yang berdalih demokratis itu bisa langsung, bisa tidak langsung…
Di dalam UUD, memang selama ini di terima pengertian seperti itu. Tapi, menurut saya, tafsir itu sudah terbantahkan de ngan empat hal. Pertama, bahwa negara kita menganut kedaulatan rakyat. Kedua, negara kita menganut sistem pemerintahan presidensial. Ketiga, pemilihan demokratis. Keempat, otonomi daerah.
Empat hal ini saling terkait. Maka, kaitan empat hal ini kalau diletakkan dalam konteks pemilihan kepala eksekutif daerah, tidak lain jawabannya adalah pemilihan langsung. Kenapa begitu? Kita ingat bahwa dalam konsep kedaulatan rak yat, rakyat itu berdaulat. Dan, ke daulat an rakyat itu tidak lagi dilaksanakan oleh MPR, tapi rakyat yang berdaulat itu me laksanakan kedaulatannya menurut sistem UUD saja. Nah, mana yang lebih berdaulat, pemilihan langsung atau tidak langsung?
Kemudian, kita memilih sistem pe me rintahan presidensial. Ciri sistem presidensial adalah eksekutif dan legislatif terpisah, tidak menyatu seperti sistem par lementer. Nah, dikaitkan dengan konteks lokal, kita mengenal otda, di mana otda kita di kabupaetn/kota dan provinsi. Di mana ciri otda itu ada lembaga legislatif (DPRD), ada lembaga eksekutif (guber nur/ bupati/walikota) yang terpisah. Sehingga, ada paralel sistem antara sistem nasional dan sub nasional.
Lalu, dibungkus lagi dengan pesan pemilihan secara demokratis. Makna paling gampang dari demokratis adalah dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Demokratis yang lebih demokratis. Untuk memilih, rakyat tidak pernah mau di wakilkan, karena konsep pemilihan itu langsung. Masak untuk memilih pun perlu di wa kilkan, malas sekali rakyat jadinya. Kecuali kalau sistem kita parlementer. Dalam sistem parlementer, kepala-kepala ekse kutif memang dipilih parlemen, dan siapa yang menguasai mayoritas jadilah dia kepala eksekutif.
Maka, kalau kita bicara tentang penafsiran sistematik dalam UUD, dengan empat hal itu, maka yang paling mendekati pesan konstitusi dalam pilkada adalah pemilihan langsung.
Ada juga yang berargumen kita menganut representatives democracy, yang merupakan lawan dari direct democracy. Komentar Anda?
Siapa bilang kita hanya menganut representatives democracy? Kita juga menganut direct democracy saat memilih presiden, DPR, DPD, DPRD. Jadi, tidak tepat argumen karena representatives de mocracy lalu kemudian tidak bisa pemilihan langsung. Dari mana logikanya? Amerika dan negara lain pun representatives democracy, tapi tidak terhalang melakukan pemilihan langsung.
Kedaulatan rakyat itu kan tidak diserahkan kepada wakil rakyat. DPR memang melaksanakan kedaulatan rakyat, tapi ketika rakyat ingin melaksanakan kedaulatannya sendiri, tidak boleh dihalangi. Karena rakyat yang berdaulat, bukan wakil rakyat.