Oleh: Harun Husein (Wartawan Republika) -- Cuaca dingin kawasan Puncak, Cikopo, awal September lalu, menjadi gerah tak keruan. Pasalnya, fraksi-fraksi yang semula paling getol meng hendaki pilkada langsung, tiba-tiba balik badan secara ekstrem: menghendaki pemilihan lewat DPRD. "Kami sangat kaget dengan per ubahan sikap yang tiba-tiba itu," kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, kepada Republika, akhir pekan lalu.
Pada rapat 1-3 September itu, sebenarnya, untuk pertama kalinya peme rintah menyerah. Hampir dua tahun membahas RUU Pilkada, pemerintah selalu meng hendaki kepala daerah dipilih oleh DPRD. Tak semua dipilih DPRD, memang. Ada yang tetap dipilih langsung.
Foto:Tahta Adilla/Republika
Mulanya pemerintah menghendaki gubernur dipilih DPRD, sedangkan bu pati/walikota dipilih langsung. Alasan, gubernur wakil pemerintah pusat di daerah, kewenangannya pun tidak terlalu besar. Sehingga, cukup bupati/walikota yang dipilih langsung, karena titik berat otonomi ada di kabupaten/kota.
Belakangan, pemerintah berbalik arah: gubernur saja yang dipilih langsung, sedangkan bupati/walikota dipilih DPRD. Alasannya, agar legitimasi gubernur lebih besar ketimbang bupati/walikota. Sehingga, terbangun hirarki pemerintahan. Sebab, di era otonomi daerah, bupati dan wali kota memang bak raja-raja kecil.
Sejak Februari hingga pertengahan tahun 2014, seluruh fraksi di DPR ingin pemilihan langsung gubernur dan bu pati/walikota. Perbedaan antara lain pada wakil kepala daerah. Ada yang ingin dipilih langsung berpasangan (paket), dipilih oleh DPRD, dan ‘dipilih’ pemerintah (lihat tabel Perkembangan Sikap Pemerintah, DPR, dan DPD Soal RUU Pilkada).
Karena fraksi-fraksi di DPR keukeuh pilkada langsung dengan mengatasnamakan itulah kehendak rakyat, pemerintah akhir nya mengalah. Awal September, pemerintah setuju gubernur, bupati, dan wali kota dipilih langsung. Pemerintah, tutur Djoher mansyah, menyerah karena menghendaki RUU tersebut segera selesai, karena ada rencana menggelar 204 pilkada serentak pada 2015. "Kalau RUU ini tidak selesai, kita tidak mungkin menggelar pilkada serentak," katanya.
Seharusnya, tinggal mengompromikan soal wakilnya ditentukan oleh siapa, dan asalnya dari mana. Tapi, tiba-tiba, enam fraksi yang semula mendukung pilkada langsung, cikar kanan. Yaitu Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP, dan Gerindra. Bahkan, keinginan keenam fraksi ini lebih parah. Bila pemerintah hanya menawarkan gubernur atau bupati/wali kota yang dipilih DPRD, keenam fraksi ini justru meng hendaki seluruhnya kembali ke DPRD, seperti era Orde Baru.
Tinggallah kemudian tiga fraksi yang tetap mendukung pilkada langsung yaitu PDIP, Hanura, dan PKB, plus pemerintah dan Dewan Perwakilan Daerah yang tidak ikut mengambil keputusan. Di atas kertas, jika pengambilan keputusan dilakukan lewat voting, pilkada langsung akan keok.
Meski demikian, aspirasi mendukung pilkada langsung ini, justru bergulir bak bola salju. Kepala-kepala daerah yang tergabung dalam asosiasi pemerintahan provinsi, kabupaten, dan kota, mendu kungnya, dan berdemo. Sikap ekstrem bahkan diambil sejumlah kepala daerah yang mundur dari partainya, seperti Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama.
Alasan biaya
Apa alasan di balik perubahan sikap keenam fraksi itu. Banyak. Salah satu yang mengemuka adalah biaya pilkada langsung mahal, marak dengan politik uang yang merusak akhlak masyarakat, menciptakan berbagai kekisruhan politik, hingga alasan yang lebih jauh yaitu bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Seram. Tapi, yang paling banyak diulang-ulang adalah alasan penghematan.
Mari kita tengok berapa penghe mat annya. Menurut Wakil Sekjen Golkar, Nurul Arifin, negara bisa menghemat fulus hingga Rp 41 triliun jika pilkada kembali ke DPRD.
Pilkada ke DPRD memang harus diakui super-duper murah. Karena tak perlu memakai jasa penyelenggara/pengawas pemilu lapangan, yang selama ini honornya memakan 65 persen biaya pemilu/pilkada. Selain itu, tak perlu pula pakai surat suara, kotak suara, bilik suara, tinta, amplop, dan sebagainya. Anggota DPRD paling banter disediakan nasi kotak, dan menonton visimisi yang dipaparkan calon di hadapan para wakil rakyat.
Para kandidat juga tak perlu merogoh kocek dalam-dalam untuk membuat tim sukses sampai ke kampung-kampung, baik resmi maupun tak resmi (broker); mencetak kaos, stiker, dan umbul-umbul; beriklan secara massif di media massa; hingga menyiapkan banyak amplop untuk serangan fajar.
Lantas, apakah dengan demikian korupsi pemilu seperti politik uang (vote buying) akan serta-merta sirna. Inilah persoalannya. Sejumlah kalangan menilai, itu hanya memindahkan politik uang dari rakyat kepada wakil rakyat. Padahal, lembaga legislatif sampai saat ini masih merupakan juara bertahan lembaga ter korup di Indonesia.
"Ini justru fatal, karena melupakan fakta bahwa DPRD dan DPR merupakan episentrum korupsi. Memindahkan proses pemilihan kepala daerah ke DPRD hanya memindahkan masalah, bahkan menggiring proses demokratisasi masuk ke ling kar an/episentrum korupsi itu sendiri," kata Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggrani.
Adalah naïf memang menganggap anggota DPRD akan memilih kepala daerah tanpa imbalan fulus. Sebab, sejumlah kepala daerah pun bercerita kerap dipalak saat dipilih DPRD. Bahkan ada yang mengaku dipalak Rp 500 juta per anggota Dewan. Alhasil, meminjam istilah Direktur Eksekutif Constitutional and Electoral Reform Center (Correct), Refly Harun, biaya penyelenggaraan pilkada di DPRD memang bisa ditekan, tapi ‘biaya kelakuan’ akan tetap besar.
Koalisi Kawal RUU Pilkada, bahkan menilai pemilihan kepala daerah oleh DPRD bisa makin menyuburkan korupsi. Sebab, bila dalam pilkada langsung pengeluaran bersifat temporer, dengan dipilih DPRD bisa punya ikatan lebih panjang. Sebab, harus membalas jasa sepanjang masa jabatan. Kepala daerah bisa jadi ATM anggota Dewan.
Solusinya pilkada serentak
Memang, pilkada langsung juga punya banyak kekurangan. Pertama, biaya penyelenggaraannya besar. Akibatnya, di sejumlah daerah, ketika musim pilkada, jalan rusak diabaikan, anggaran pendidikan dan kesehatan juga menurun. Kedua, politik uang kian massif, bahkan sampai ada masyarakat yang memasang spanduk ‘di sini melayani serangan fajar’.
Ketiga, besarnya ‘biaya kelakuan’ yang harus dikeluarkan kandidat, membuat banyak kepala daerah yang kemudian ter jerat kasus hukum. Sebab, mereka kemu dian melakukan korupsi untuk mengem balikan modal, membalas jasa sponsor, dan bayar utang. "Ujung-ujungnya, 332 kepala daerah atau wakilnya kena proses hukum sejak 1 Juni 2005 sampai September 2014. Terakhir itu kasus Biak Numfor, uang suap yang dia terima itu menurut pengakuannya untuk membayar utang pilkada. Nah, dari 332 itu, 86 persen karena kasus korupsi. Lainnya kasus penganiayaan, narkoba, pemalsuan. Kepala daerah kita sekarang aneh-aneh," kata Djohermansyah. Masalah lainnya, konflik politik terus berlangsung, karena pilkada terus ber pindah dari satu daerah ke daerah lain.
Masyarakat pun terfragmentasi akibat perbedaan pilihan calon. Selain itu, po li tisasi birokrasi, dan banyaknya kasus pecah kongsi kepala daerah. "Sejak 2005 sampai 2013, 986 pasangan (94 persen) pecah kongsi, hanya 40 pasangan (enam persen) yang akur dan maju bersama dalam pilkada berikutnya. Pecah kongsi ini memecah birokrasi, karena ada yang ikut kepala daerah, ada yang ikut wakil. Ini pendidikan yang buruk buat masyarakat, masak orang nomor satu dan nomor dua ribut," katanya.
Lalu, kalau tetap pilkada langsung, apa solusinya? Ada tiga solusi yang ditawarkan pemerintah. Pertama, pilkada serentak. Kedua, membatasi dana kampanye kan didat. Ketiga, cukup kepala daerah yang dipilih, wakilnya tidak usah.
Dengan pilkada serentak, biaya penye lenggaraan pilkada akan turun drastis. Ka rena pilgub dan pilbup/pilwali digelar serentak, maka honor petugasnya cukup dibayar satu kali. Selama ini, honor pe tu gas/pengawas pemilu yang memakan ongkos pemilu/pilkada sampai 65 persen. Jika pilgub dipisah dengan pilbup/pilwali, maka honornya dua kali. Bahkan, bisa membengkak kalau ada putaran kedua.
Pilkada serentak menghemat ongkos ini sudah dibuktikan dalam pilkada Sumatra Barat dan Nanggroe Aceh Darussalam. "Saat ini, daerah otonom kita 542: 34 provinsi, 93 kota, dan 415 kabupaten. Kalau digelar pilkada beda-beda, bisa meng habiskan Rp 70 triliun. Yang paling mahal itu Rp 1,4 triliun seperti di Jawa Barat. Yang paling murah bisa sekitar Rp 15 miliar, pemilihan bupati/wali kota di kabu pa ten/kota kecil. Nah, kalau kita bikin se rentak secara nasional, biayanya akan tinggal separuh. Kita bisa hebat Rp 35 triliun," kata Djohermansyah.
Dengan pemilu serentak, rakyat juga tidak disibukkan bolak-balik ke TPS, dan kontinuitas konflik politik juga diputus. "Pada 2019 nanti, dilakukan pemilu serentak untuk memilih presiden, DPR, DPD, dan DPRD. Kita rencanakan pada 2020 digelar pilkada di seluruh provinsi dan kabupaten/kota. Jadi, nanti dalam lima tahun hanya ada dua pemilihan. Di luar itu, kita fokus urus rakyat. Kalender nasional, perencanaan pembangunan juga akan cantik, tidak seperti sekarang yang beran takan karena masa jabatan kepala daerah habisnya beda-beda," kata Djohermansyah.
Kepentingan
Fraksi-fraksi yang tiba-tiba mendorong pilkada ke DPRD, bisa membangun banyak alasan. Namun, semua mafhum belaka bahwa perubahan drastis itu merupakan imbas pilpres. Sebelum RUU Pilkada, pertarungan juga terjadi dalam perebutan pimpinan parlemen lewat Undang-Undang Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Seorang anggota fraksi yang tiba-tiba mendukung pilkada ke DPRD, bercerita kepada Republika bahwa hatinya sesung guhnya masih pilkada langsung. Tapi, dia tak bisa berbuat banyak karena DPP sudah memutuskan.
Kalkulasi politik pascapilpres, memang diduga menjadi motif utamanya. Sebab, dengan pilkada kembali ke DPRD, maka Koalisi Merah Putih bisa melakukan sapu bersih jabatan kepala daerah di seluruh Indonesia.
Lalu, sebenarnya siapa yang menjadi korban dari pertarungan ini? Apakah Koalisi Indonesia Hebat-nya Jokowi-JK? Tidak juga. Yang menjadi korban dari pertarungan ini, justru adalah bangunan demokrasi yang sebenarnya semakin baik karena telah melalui proses pembelajaran menuju perbaikan, dan pembiasaan.
Rakyat sudah mulai belajar dan terbiasa. Punishment and reward mulai berjalan, terlihat dari kecilnya jumlah incumbent — yang diduga korup dan tak amanah— yang terpilih kembali. Selain itu, kepala-kepala daerah yang lebih baik pun mulai tampil ke permukaan. Ada Ridwan Kamil di Bandung, Bima Arya di Bogor, Risma di Surabaya, Jokowi di Jakarta, dan masih banyak lagi.
Mengapa Koalisi Indonesia Hebat tidak tepat dikatakan menjadi korban, karena mereka pun sebenarnya bukanlah kalangan progresif. PDIP, misalnya, adalah partai yang sejak awal menolak metode pemilihan langsung. Bahkan, dulu, yang paling depan menolak pemilihan presiden secara langsung adalah PDIP. Trade off kemudian terjadi. PDIP merelakan pilpres langsung, asalkan DPD dilemahkan, tidak menjadi seperti senat. Inilah biang kerok yang membuat desain parlemen Indonesia menjadi tidak keruan, menjadi bikameral banci.
Alhasil, jika yang diuntungkan dengan pemilihan kembali ke DPRD itu adalah Koalisi Indonesia Hebat, maka bisa jadi isunya akan berbalik. Koalisi Indonesia Hebat akan mendukung pemilihan ke DPRD, sedangkan Koalisi Merah Putih akan mendukung pilkada langsung.
Jadi, silakan menentukan sikap Anda, jangan menyerahkan persoalan ini sepe nuh nya kepada para politisi yang cara ber pikirnya seturut kepentingan politik jangka pendek.