Oleh: Selamat Ginting -- Persis satu bulan ini, Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) telah diberlakukan, setelah diundangkan sejak dua tahun lalu. UU ini berpijak pada konsep restorative justice (keadilan restoratif). Restorative justice merupakan penyelesaian perkara tindak pidana bersama-sama pihak terkait untuk mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.
Salah satu contoh yang mendapatkan perhatian masyarakat adalah kasus yang menimpa AQJ, anak penyanyi ternama. Hakim memutuskan AQJ bersalah terkait kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian sejumlah orang. Namun, hakim memberikan tindakan mengembalikan AQJ kepada orang tuanya.
Putusan itu merupakan contoh putusan yang berorientasi kondisi dan kebutuhan seorang anak. Tersirat bahwa sebuah perkara, meski berat, dapat diselesaikan dengan baik tanpa harus memasukkan seorang anak ke penjara.
Namun, yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah upaya diversi itu memiliki dampak bagi pekerjaan sosial. Jika sebelumnya mempunyai peranan yang kecil kepada anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), kini peranannya lebih besar.
Harus diakui situasi anak yang berhadapan dengan hukum masih diselimuti masalah serius. Mulai dari proses pemeriksaan perkara hingga putusan pengadilan yang mengabaikan hak-hak anak. Misalnya dalam proses pemeriksaan, alih-alih ditangguhkan, sebagian besar anak justru ditahan.
Data Ditjen Pemasyarakatan per 3 Juli 2014 menunjukkan 2.087 anak ditahan di berbagai institusi penahanan yang tersebar di Indonesia. Angka ini meningkat dibandingkan populasi tahanan anak pada 2011. Ada sejumlah 1.971 tahanan anak menunggu proses peradilan pidana.
Pendekatan penjara ramah anak adalah salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan tumbuh kembang anak yang mungkin saja terampas ketika berada dalam penjara. Pendekatan ini dilakukan karena tidak ada pilihan lain bagi seorang anak yang menjadi pelaku kriminal selain penjara.
Namun, setelah lahirnya UU SPPA sebagai pengganti UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, situasinya sudah berbeda. Seorang anak dimungkinkan untuk mendapatkan penyelesaian hukum di luar pengadilan karena adanya konsep restorative justice.
Ketika masalah hukum diselesaikan di luar persidangan, ABH selanjutnya akan menjadi tanggung jawab lembaga kesejahteraan sosial. Ini artinya penerapan UU SPPA akan berimplikasi terhadap bidang pekerjaan sosial.
Pekerjaan sosial (social work) di sini dimaksudkan sebagai aktivitas profesional yang bertujuan untuk menolong individu, kelompok, dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi sosial dan menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif untuk mencapai tujuan tersebut.
Analogi sederhananya, jika profesi utama dalam bidang pendidikan adalah guru, profesi utama bidang kesehatan adalah dokter, profesi utama di bidang hukum adalah hakim, jaksa, dan pengacara. Karena itulah, maka profesi utama dalam bidang kesejahteraan sosial adalah pekerja sosial.
Implikasi
Konsep restorative justice dalam UU SPPA jelas memberikan dampak yang signifikan terhadap bidang pekerjaan sosial. Lalu, apa implikasinya bagi pekerjaan sosial?
Pertama, adanya tuntutan peran yang lebih besar dari pekerja sosial. Pekerja sosial dituntut melakukan advokasi kepada ABH agar hak-haknya dapat terpenuhi sesuai dengan UU SPPA. Selain itu, secara spesifik peran pekerja sosial dibutuhkan dalam proses diversi. Bersama-sama dengan anak, orang tua/wali, korban, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial melakukan musyawarah untuk mencapai kesepakatan seadil-adilnya dalam kasus yang dihadapi.
Dalam kasus yang melibatkan ABH selama ini pekerja sosial hanya memiliki peranan yang kecil. Ketika ABH memasuki proses persidangan dan mendapatkan vonis hukuman, pekerja sosial tidak lagi mendapatkan tempat yang leluasa untuk menjalankan tugasnya. Namun, dengan adanya prinsip restorative justice ini menuntut pekerja sosial terlibat secara intensif. Mulai dari proses diversi hingga peranannya di dalam Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).
Kedua, peran pekerja sosial yang lebih besar harus diikuti dengan peningkatan kualitas maupun kualitas. Secara kualitas pekerja sosial dituntut memiliki pengetahuan dan keterampilan terkait isu ABH. Misalnya, pemahamannya tentang UU SPPA, UU Perlindungan Anak, dan UU terkait. Tentang keterampilan, misalnya, pekerja sosial harus dibekali dengan kemampuannya dalam mengatasi klien yang mengalami trauma dan bagaimana mengatasinya.
Dari segi kuantitas, secara otomatis dibutuhkan jumlah pekerja sosial yang lebih besar dalam menangani ABH. Peningkatan kuantitas maupun kualitas pekerja sosial bisa dilakukan dengan menggiatkan penyelenggaraan pendidikan pekerjaan sosial yang selama ini sudah ada di beberapa perguruan tinggi (negeri maupun swasta).
Selain itu, juga bisa dilakukan pelatihan atau seminar-seminar yang dapat menunjang pengetahuan pekerja sosial terkait ABH. Proses sertifikasi yang selama ini sudah mulai berjalan juga harus terus dilakukan untuk meningkatkan kualitas maupun kuantitas pekerja sosial.
Ketiga, perlu adanya penguatan lembaga pelayanan sosial. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam UU SPPA, ada beberapa lembaga pelayanan sosial yang perlu disiapkan sebagai konsekuensi direalisasikannya prinsip restorative justice. Seperti LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) yang berfungsi sebagai tempat anak menjalani masa pidananya; LPAS (Lembaga Penempatan Anak Sementara) sebagai tempat sementara bagi anak selama proses peradilan berlangsung; dan LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) sebagai tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi anak.
Lembaga-lembaga tersebut memiliki peran yang krusial dalam penanganan terhadap ABH. Seperti halnya LPKS yang telah dimandatkan kepada lingkungan Kementerian Sosial sebagai kementerian yang berperan dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. LPKS pada dasarnya dapat memanfaatkan peran dan fungsi lembaga yang sudah ada, seperti PSMP (Panti Sosial Pamardhi Putra), RPSA (Rumah Perlindungan Sosial Anak), PSBR (Panti Sosial Bina Remaja), dan PSAA (Panti Sosial Asuhan Anak).
Dengan diberlakukannya prinsip restorative justice dalam UU SPPA, keberadaan LPKS harus dioptimalkan meskipun beberapa kekurangan masih terjadi di sana-sini. Dalam ‘rapid identification’ yang dilakukan pada Juli 2014 tentang kesiapan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam implementasi UU SPPA menunjukkan adanya kondisi kurang siap, khususnya terkait sarana dan prasarana LPKS.
Hal ini dapat dipahami karena sarana-prasarana memerlukan biaya yang tidak sedikit. Sedangkan, pemerintah daerah kurang siap dalam melakukan ‘sharing’ pendanaan terkait implementasi LPKS ini. Namun, secara umum sumber daya manusia pelaksana LPKS telah memiliki kesiapan. Inilah setidaknya beberapa dampak yang harus dipersiapkan bagi bidang pekerjaan sosial setelah berlakunya UU SPPA pada Agustus 2014 lalu.
Oleh Edi Suharto
Direktur Kesejahteraan Sosial Anak, Kemensos RI.