Disadari atau tidak, penga wasan yang dilakukan oleh DPR sepanjang era Refor masi lebih banyak ber muat an politik dan cende rung untuk kepentingan frak si (p artai). Hal ini dapat dilihat pada usul Hak Angket Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2009 yang lolos menjadi Hak Angket di masa kerja terakhir DPR periode 2004-2009.
Usulan yang diinisiasi oleh 22 anggota DPR dari Fraksi Golkar, PDIP, PAN, PPP, dan PKB ini disetujui oleh 129 anggota dari 203 yang hadir dalam Rapat Paripurna pada 2 Juni 2009. Lolosnya Hak Angket DPT ini di tengarai kental dengan kepentingan par tai-partai politik menjelang Pemilu 2009.
Dalam sejumlah fakta yang terjadi ter kait pengajuan usul Hak Angket, kalangan DPR melalui kebijakan fraksinya tampak ber sikap selektif dalam memilih isu yang me reka terima atau tolak tanpa dasar alas an yang jelas. Sebagai contoh, pada DPR 2004-2009, usul Hak Angket mengenai impor beras tidak lolos dalam Paripurna DPR di tahun 2006, sementara Hak Angket DPT berhasil disetujui sebagai sikap DPR yang diajukan ke pemerintah. Padahal, persoalan impor beras tidak kalah penting dan luas dampaknya bagi rakyat.
Tak jauh beda ketika sejumlah anggota DPR dari PDIP dan PKS menggulirkan usul pengajuan Hak Angket mengenai pengelo laan minyak di Blok Cepu. Waktu itu pemberitaan di media menyebutkan Blok Cepu akan dikelola oleh perusahaan minyak Amerika Serikat, ExxonMobil. Padahal, Per tamina sebagai perusahaan negara me ngaku sanggup mengelola tambang minyak tersebut. Dibungkus dengan isu nasiona lisme, kesanggupan Pertamina itu juga menjadi dasar mengapa hak ini digulirkan.
Nasib Hak Angket Blok Cepu ini lebih buruk dari Hak Angket Impor Beras. Usul an tersebut langsung lenyap sebelum sam pai ke Rapat Paripurna DPR. Beberapa ang gota DPR yang menggalang dukungan usul pengajuan hak tersebut akhirnya justru menarik dukungannya sendiri. Alasannya, mereka masih mempelajari kasusnya. Wal hasil, usul pengajuan Hak Angket Blok Cepu pun menguap begitu saja. Padahal, bila Blok Cepu dilaksanakan oleh Pertami na sudah barang tentu pemasukan buat negara bisa lebih besar lagi.
Hubungan yang terbangun antara eksekutif dan legislatif juga turut meme ngaruhi efektif tidaknya pelaksanaan fungsi pengawasan DPR. Kecenderungan itu se tidaknya dapat dilihat dari pengajuan usul Hak Angket Perpajakan yang kandas karena lobi-lobi pemerintah dengan koalisi partai politik pendukungnya. Hasilnya, tiga partai anggota koalisi yakni PPP, PAN, dan PKB sesikap dengan Demokrat yang sejak awal menentang pangajuan hak tersebut. Sebelumnya ketiga partai tadi anggotanya termasuk yang mendukung pengajuan Hak Angket tentang mafia perpajakan tersebut.
Menguapnya rencana pengajuan Hak Interpelasi Hubungan RI-Malaysia juga dapat ditafsirkan sebagai bentuk hubungan yang terbangun antara eksekutif dan legis latif. Rencana tersebut akhirnya meng hilang begitu saja setelah pidato Pre siden SBY di markas besar TNI di Cilangkap, Jakarta Timur, yang menying gung tentang hubungan dengan negeri jiran tersebut. Hal ini dimungkinkan karena Gokar dan PKS sebagai anggota koalisi partai pendukung pemerintah merupakan motor dari rencana pengajuan Hak Interpelasi itu. Setelah Golkar dan PKS batal, maka PDIP juga tak meneruskannya.
Dalam bentuk yang agak lain, kan dasnya rencana pengajuan Hak Angket Blok Cepu sebelum Paripurna juga sebagai bentuk hubungan yang terbangun antara eksekutif dan legislatif. Waktu itu Presiden SBY merasa perlu bertemu dengan para pemimpin partai politik yang menempatkan anggotanya di DPR. Pertemuan tersebut memang dibungkus dengan agenda membi carakan persoalan bangsa. Namun, persoal an Blok Cepu kabarnya tak luput dari pembicaraan.
Setelah itu, penggalangan usul meng guna kan Hak Angket mengenai Blok Cepu ini melemah dan akhirnya hilang. Kesan ada nya "tekanan" maupun adanya "kese pakatan-kesepakatan" tampaknya tak bisa dihindari. Kepentingan rakyat seperti men jadi tersandera oleh kepentingan segelintir elite saja.
Dilema
Sejatinya memang fungsi pengawasan merupakan mekanisme demokrasi untuk membatasi kewenangan satu lembaga negara atas lembaga lainnya, khususnya antara legislatif dan eksekutif sebagai penyelenggara pemerintahan. Selama Orde Baru, pelemahan fungsi pengawasan DPR berakibat pada lemahnya kontrol politik terhadap pemerintah. Pemerintah menjadi sangat dominan, dan Presiden Soeharto mengendalikan proses politik di DPR yang mayoritas diisi oleh pendukung pemerintah. Maka selama periode Orde Baru, fungsi pengawasan DPR pun sunyi senyap.
Secara prinsip dapat dikatakan bahwa perilaku pengawasan DPR terkait dengan sistem pemerintahan yang dianut. Ada dua sistem pemerintahan yang dikenal: parle menter dan presidensial. Perbedaan kedua nya terletak pada hubungan legislatif (DPR) dan eksekutif (presiden/perdana menteri).
Parlementer menekankan dominasi kekua saan politik pada parlemen di mana perda na menteri bertanggung jawab pada par lemen. Perdana menteri menjalankan garis kebijakan yang diarahkan oleh parlemen.
Biasanya perdana menteri berasal dari partai politik pemenang pemilu yang me nguasai parlemen. Dalam konteks ini, par lemen dapat memberikan mosi tidak per caya pada perdana menteri jika dinilai ada penyimpangan kebijakan. Maka penga was an parlemen bersifat melekat, dan eksekutif berada di dalam "kendali" parlemen.
Situasi berbeda dalam sistem presiden sial. Hubungan DPR dan Presiden adalah sejajar, sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat sehingga bertanggung jawab kepada rakyat. DPR tidak bisa menjatuh kan presiden, demikian sebaliknya presiden tidak bisa membubarkan DPR. Dalam proses politik, presiden cenderung dominan disebabkan posisi presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan menja dikan nya sentral dalam kekuasaan politik.
Dalam konteks itulah, pengawasan DPR berada dalam situasi dilematis. Kewenang an mengawasi presiden (eksekutif) diberi kan konstitusi kepada DPR sementara pre siden juga memiliki posisi politik yang sta bil. Sekalipun DPR diberi hak mengawali proses pemakzulan terhadap presiden/wakil presiden, namun membutuhkan suara ma yo ritas dalam realisasinya. Akibatnya DPR dalam presidensialisme dapat terseret dalam situasi pengendalian atau kooptasi oleh presiden.
Selama sepuluh tahun ini praktik pe nga wasan DPR pun berada dalam situasi di le matis. Ada tuntutan agar DPR mening kat kan fungsi pengawasan terhadap peme rintah sejalan kuatnya peran dan kewe nangan DPR yang diatur oleh UUD 1945 hasil amendemen sebagai berkah reformasi politik. Tetapi konfigurasi politik di DPR kerap memengaruhi dinamika hubungan yang terbangun antara presiden dan DPR. Di sinilah dilema itu terjadi yang berujung pada hiruk-pikuk pengawasan di media ketimbang dampak substantifnya bagi perbaikan kebijakan.
Dilema pengawasan DPR dapat dilacak pada beberapa hal ini. Pertama adalah faktor kesempatan politik yang dimiliki anggota DPR dalam menggulirkan isu pengawasan hingga menjadi hak DPR yang disepakati dalam Rapat Paripurna. Kesem patan politik ini dipengaruhi oleh dua hal: aturan formal dan dukungan fraksi.
Aturan formal dalam UU maupun Tata Tertib DPR harus didesain dengan mem berikan kemudahan bagi anggota DPR melakukan inisiatif pengawasan. Tam pak nya hal tersebut telah dipenuhi dalam atur an formal, apalagi konstitusi pun menjamin ada nya hak inisiatif anggota DPR dalam le gislasi. Artinya otonomi anggota DPR da lam menjalankan fungsinya merupakan bagian integral dari perwakilan politik itu sendiri.
Di sisi lain, kemudahan aturan formal dalam implementasinya kerap bersing gung an dengan kesempatan politik yang dibe rikan oleh fraksi sebagai perpanjangan partai politik. Di sinilah terjadi dualisme posisi yaitu sebagai wakil rakyat dan wakil partai. Peran politik fraksi berpotensi membatasi otonomi wakil rakyat dalam menjalankan tugasnya. Fraksi merupakan kumpulan politik di DPR yang membawa misi dan kepentingan partai politik dalam ranah kebijakan publik.
Setiap anggota DPR bernaung dalam wadah fraksi, mengatur perilaku anggota nya dalam bereaksi terhadap kebijakan dan tindakan pemerintah. Posisi fraksi (partai politik) terhadap pemerintah cenderung menentukan perilaku pengawasan anggota DPR. Dalam hal ini dapat terjadi tarikmenarik kepentingan antara fraksi dan anggotanya terhadap isu pengawasan.
Fraksi bisa memberikan teguran jika ada anggotanya yang melanggar sikap fraksi terhadap isu pengawasan. Kasus yang dialami Lily Wahid dan Effendi Choirie (Fraksi PKB) dalam Hak Angket Perpaja k an merupakan contoh dilema otonomi anggota DPR dalam isu pengawasan.
Faktor kedua yakni konfigurasi kekuat an politik di DPR yang berpengaruh ter hadap kesempatan politik anggota DPR melakukan pengawasan serta efektivi tasnya. Kekuatan politik di DPR secara se der hana dapat dibagi dalam dua kelompok. Kubu pendukung pemerintah, dan kubu pengkritik pemerintah.
Dalam setting politik seperti itu, fungsi pengawasan DPR dapat terjebak menjadi sebuah etalase semata. Secara politik, kubu pendukung pemerintah akan mengganjal upaya-upaya isu pengawasan politik dari kubu pengkritik pemerintah agar tidak mengganggu stabilitas pemerintah. oleh: nurul s hamami