''Apakah Indonesia masih mampu meraih mimpinya menjadi bangsa yang makmur?'' Pertanyaan ini diajukan kepada Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y Tohari pada sebuah perbincangan selepas makan malam di sebuah hotel di Batam. Ditanya soal ini, Hajriyanto segera sigap menjawabnya. Dengan kata yakin dia mengatakan: ''Masih...!''
''Ya, masih bisa bangsa ini meraih kemakmuran sebagai negara maju dan sejahtera. Namun, waktunya masih panjang,'' katanya menyakinkan. Setelah itu, ia mengungkapkan perasaan mengenai betapa beratnya tantangan bangsa yang mesti dihadapi. Selain itu, dia juga semakin merasa perlu akan hadirnya sebah pemimpin sejati yang benar-benar memegang teguh janjinya.
''Kita harus yakin. Harus optimistis. Negeri ini akan maju dan berubah,'' ujar Hajriyanto menegaskan. Ini karena sebagai bangsa yang besar, Indonesia itu punya segalanya, baik itu modal penduduk dan kekayaan sumber daya alam. ''Cuma memang harus diperbaiki. Kita jangan sampai kalah dengan Malaysia yang tingkat rata-rata pendidikan warganya sudah tamat SMA. Sedangkan, rata-rata tingkat pendidikan rakyat Indonesia baru tamat kelas dua SMP. Jadi, ke depan harus terus membaik, rakyat harus semakin sejahtera,'' katanya.
*****
Bagi publik, percakapan tentang wacana kesejahteraan sosial memang kini tengah terpendam oleh hiruk-pikuk politik. Bahkan soal yang sangat pening seperti pemberlakuan pasar bebas ASEAN (Masyarakat Ekonomi ASEAN/MAE) sudah tinggal setahun lagi, tepatnya dimulai pada 31 Desember 2015.
Meski banyak pihak yang mengacuhkan pemberlakuan MAE, sebagian kelompok masyarakat lain di Indonesia sudah menunjukan kepeduliannya. Kaum buruh kini sudah "mengarahkan matanya" secara tajam dalam rangka untuk mengatasi imbas buruk dari adanya "status baru" itu. Mereka menyatakan efek buruk MAE harus ditangkal terutama untuk menghindarkan negeri ini dari potensi hanya dijadikan sebagai pasar kerja serta pasar barang dan jasa warga yang tinggal di kawasan Asia Tenggara.
''Terkait soal MEA, maka nantinya pemerintah tidak boleh lagi berorientasi terhadap upah murah. Upah murah menyebabkan daya beli menjadi rendah. Ketika daya beli rendah, maka rakyat tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan hidupnya,'' kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal. Menurutnya, jangan sampai pemberlakuan pasar bebas malah menyengsarakan rakyat dan membuat kaum buruh makin miskin hidupnya.
Iqbal menegaskan, kondisi kehidupan kaum buruh saat ini sudah begitu memprihatinkan. Celakanya, konsep MEA adalah masih menekankan pada pertumbuhan ekonomi dengan terus membiarkan berlakunya upah buruh yang murah. ''Faktanya jelas menyatakan di negara-negara ASEAN pertumbuhan ekonomi tidak dinikmati oleh kalangan pekerja. Mayoritas pekerja masih dibayar dengan upah rendah, penggunaan outsourcing yang berlebihan, serta tidak ada perlindungan sosial. Apa ini yang akan menimpa kami setelah pasar bebas Asean dibuka?'' ungkapnya.
''Dalam kaitan dengan itu, tidak berlebihan kemudian jika Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menuntut agar KHL yang semula 60 item segera direvisi menjadi 84 item. Sekaligus menaikkan upah sebesar 30 persen. Tanpa ini semua pemberlakukan MEA tak berarti apa-apa bagi kami ini. Ingat, di depan mata kami selain ada MEA maka akan terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak sebesar Rp 3.000 per liter,'' tegas Iqbal Said.
Apa yang dikhawatirkan Iqbal bahwa "Indonesia bisa menjadi korban" pasar bebas ASEAN (MEA) jelas dapat dimengerti. Apalagi, mengingat kompetensi tenaga kerjanya banyak yang belum memenuhi persyaratan tingkat regional agar bisa bekerja secara bebas lintas regional ASEAN. Dan situasi ini dibenarkan Ketua Komite Tetap Sertifikasi Tenaga Kerja Kadin Indonesia Sumarna F Abdurahman, beberapa bulan silam dalam acara diskusi di Bekasi.
"la melihat tingkat kompetensi tenaga kerja, kelihatannya kita tidak bisa memanfaatkan pasar ketenagakerjaan di luar sana (ASEAN), kita juga tidak bisa bersaing dengan tenaga kerja yang masuk," kata Abdurahman. Dari kajiannya, kini ada sekitar 574 juta konsumen di pasar ASEAN, dan separuh barang dan jasa diperkirakan akan mengalir ke Indonesia. Sebagai konsekuensinya, maka tenaga kerja akan deras mengalir ke Indonesia.
Dari data Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) tenaga kerja dari level skil rendah atau level dua, seperti tenaga kerja dari Laos, Kamboja, dan Myanmar akan datang ke sini. Mereka akan kompetitif karena sudah dikenal sebagai pekerja keras dan bersedia menerima upah lebih rendah. Sedangkan pada sektor jasa, pasar tenaga kerja Indonesia hampir pasti akan dimasuki tenaga kerja asal Thailand. Apalagi mereka pun kini sudah belajar bahasa Indonesia sekarang.
''Jadi jangan heran kalau guide di Bali nanti dari Thailand. Sedangkan di sektor kesehatan, perawat dan dokter asal Filipina yang juga telah mempelajari bahasa indonesia akan mengisi kekurangan di Indonesia," ujar Abdurrahman seraya menyatakan peluang Indonesia ada di tenaga kerja sektor konstruksi yang hingga saat ini banyak berada di Malaysia. Namun, itu pun masih menyimpan permasalahan serius karena tidak memegang sertifikat kompetensi sehingga belum dihargai sebagai tenaga kerja formal.
*****
Rumitnya persoalan perburuhan mendapat tanggapan dari aktivis buruh dan mantan kepala Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat (lihat wawancara—Red). Menurut dia, pemerintah presiden terpilih harus segera melakukan antisipasi untuk menangkal imbas buruh dari pemberlakukan MEA.
Menurut Jumhur, pemerintah harus membuat program jemput bola untuk melakukan sertifikasi kompetensi kerja secara sistematis dan masif di kantong-kantong kaum profesional. Hal itu bertujuan agar program sertifikasi tenaga kerja ini bisa diikuti oleh sebanyak-banyaknya pekerja Indonesia.
''Sebagai langkah awalnya maka sarana untuk menuju sertifikasi seperti pendidikan khususnya pendidikan profesi dan kejuruan serta pusat-pusat pelatihan yang layak dan berstandar internasional harus dibangun,'' kata Jumhur.
Sedangkan di tingkat elite, atau para pihak pengambil kebijakan atau level negara, mereka harus melakukan diplomasi multilateral maupun bilateral setingkat kepala pemerintahan atau setidaknya setingkat menteri untuk membuka pasar kerja di luar "delapan jenis" pekerjaan yang sudah terpayungi oleh MRA (lihat tabel delapan jenis pekerjaan yang dipayungi MRA/Lintas Asean).
''Untuk solusi jangka pendek, pemerintah harus bisa segera membuka pasar kerja di mana Indonesia memiliki keunggulan. Bila tidak, maka kita hanya menjadi korban. Sebab, secara jujur saja kita memang harus akui belum siap menyambut datangnya era Masyarakat Ekonomi ASEAN itu,'' ucap Jumhur.
Alhasil, ternyata pekerjaan rumah untuk memperbaiki situasi dunia perburuhan Indonesia sangatlah banyak. Celakanya, waktu pemberlakukan MEA sudah tak bisa ditunda lagi. Kondisinya "sudah maju kena mundur kena" atau bagai makan buah simalakama...! n muhammad subarkah
Terkait soal larinya tenaga kerja dengan kualifikasi ahli dan terampil ke luar negeri, pada masa awal reformasi Indonesia pun sebenarnya telah mengalaminya. Hal ini ketika terjadinya pemutusan tenaga kerja secara besar-besaran di pabrik pesawat terbang IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia) di Bandung dan pabrik pembuat kapal PT PAL Indonesia di Surabaya.
Akibat kebijakan ini, ribuan orang pekerjanya "lari" untuk bekerja di luar negeri. Dan, karena keterampilan mereka sangat memadai, akhirnya para pekerja itu menjalani kariernya di berbagai perusahaan strategis yang ada di berbagai negara. Situasi ini jelas merugikan posisi Indonesia. Ribuan tenaga ahli dan terampil yang selama ini telah mereka sekolahkan dan didik selama bertahun-tahun, akhirnya tak bisa dinikmati karyanya.
''Sampai sekarang pun masih tetap terjadi. Ini tantangan berat bagi kami sebab para pekerja yang trampil dan ahli itu kan punya hak asasi untuk bekerja di mana saja. Nah, bila negeri sendiri sudah tak ada lagi yang menampungnya atau ada kesempatan yang lebih baik di luar negeri, mereka tak bisa ditahan untuk pindah.'' "Yang terakhir ini tenaga terampil meski cuma berpendidikan STM banyak yang bekerja di berbagai industri penting di Australia,'' kata Presiden Direktur PT PAL Indonesia M Firmansyah Arifin.
Padahal, lanjut Firmansyah, selain harus menyediakan dana untuk mendidik mereka hingga tingkat ahli atau terampil, butuh biaya dan waktu yang tidak sedikit. Bukan hanya itu, karena bekerja di tempat yang bernilai strategis, mereka pasti memegang berbagai rahasia negara.''Bayangkan saja apa risikonya ketika para pekerja yang membuat kapal perang kemudian berpindah kerja di luar negeri. Pasti mereka punya simpanan rahasia negara. Mereka memang telah disumpah, tapi apakah kita bisa jamin atau dapat memastikan mereka selalu menjaga kerahasian itu,'' katanya menegaskan.
Rumitnya persoalan perburuhan mendapat tanggapan dari aktivis buruh dan mantan kepala Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat (lihat wawancara—Red). Menurut Jumhur, untuk menghadapi MAE, pemerintah harus segera membuat program jemput bola untuk melakukan sertifikasi kompetensi kerja secara sistematik dan masif di kantong-kantong kaum profesional. Hal ini bertujuan agar program sertifikasi tenaga kerja ini bisa diikuti oleh sebanyak-banyaknya pekerja Indonesia.
''Sebagai langkah awalnya, maka sarana untuk menuju sertifikasi, seperti pendidikan, khususnya pendidikan profesi dan kejuruan serta pusat-pusat pelatihan yang layak dan berstandar internasional harus dibangun,'' kata Jumhur.
Alhasil, bagi kelangsungan bangsa ini, adanya pemberlakuan MAE membuat posisi Indonesia 'maju kena mundur kena' atau bagai makan buah simalakama...! rep:muhammad subarkah