Selasa 07 Oct 2014 16:00 WIB

Revolusi Payung

Red:

Oleeh: Siwi Tri Puji B (wartawan republika) -- "Kami tidak takut Pemerintah Cina," kata Kusa Yeung, seorang copywriter berusia 24 tahun. Tengah malam di pengujung September, ia membantu untuk mendistribusikan air kepada sesama pengunjuk rasa di sudut Kota Hong Kong. "Kami berjuang untuk demokrasi yang adil."

Yeung bukan aktivis. Dia hanya pegawai biasa, bergaji rata-rata. Namun, ia mengklaim diri sebagai Hong Kong-er sejati. Demonstrasi mahasiswa yang dimulai bulan lalu menyulut rasa ke-Hong Kong-annya. "Saya tak rela demokrasi dirampas," katanya.

Pada 1 Oktober, tepat ulang tahun ke-65 pemerintahan Komunis Cina, demonstrasi anti-pemerintah di Hong Kong—yang dimulai sembilan hari sebelumnya oleh mahasiswa—membengkak menjadi lebih dari 100 ribu orang. Orang-oarng seperti Yeung menjadi bahan bakar baru.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:qz.com

Para pengunjuk rasa dipersenjatai dengan payung—yang kemudian menjadi simbol perjuangan mereka—menembus hujan untuk mengejek pemimpin wilayah itu, Leung Chun-ying, yang memimpin pengibaran bendera nasional. Beberapa mengangkat jari tengah ke arahnya.

Revolusi Payung, demikian gerakan itu dijuluki, kini bak mimpi buruk bagi para pemimpin Partai Komunis di Beijing. Inilah demonstrasi berskala besar pertama yang dipelopori mahasiswa sejak Tragedi Tiananmen pada 1989. Pihak berwenang di Hong Kong, dengan sistem hukum diwariskan oleh Inggris dan kebijakan satu negara dua sistem, tak bisa berbuat banyak. Mereka tidak bisa, katakanlah, menanganinya seperti yang biasa dilakukan di Cina daratan dalam menangani kerusuhan dengan kombinasi dialog "cerdik", kekerasan, hingga perlakuan brutal terhadap pemimpin kelompok dan kontrol ketat atas media dan internet.

Di sisi lain, demonstrasi ini bak ujian bagi Xi Jinping, presiden Cina, yang dibatasi oleh tanggung jawab untuk menjaga Hong Kong tetap stabil dan makmur. Respons yang gagal atau buruk bisa merusak salah satu ekonomi terkaya di dunia dan mencorengkan citra yang buruk bagi wajah Cina.

***

Tuntutan utama para demonstran adalah bahwa orang-orang dari Hong Kong diizinkan untuk  memilih sendiri kandidat yang akan maju dalam pemilihan untuk jabatan kepala eksekutif pada 2017. Ini adalah kali pertama di mana warga akan memiliki suara untuk memilih pemimpin mereka, hal yang dijamin dalam sistem khusus untuk Hong Kong setelah diserahkan dari Inggris ke Cina pada 1997.

Pada sisi ini, pemerintahan Xi telah membuat batasan jelas bahwa Beijing tidak ingin ada demokrasi gaya Barat di Cina. Maka, rencana pemilu disusun pada 31 Agustus, yang mengharuskan para kandidat melewati penyaringan yang akan dilakukan oleh komite yang dibentuk Beijing.

Aktivis mahasiswa adalah kelompok pertama yang menentang rencana ini. Yang paling populer adalah gerakan Occupy central with Love and Peace, gerakan yang mengambil inspirasi dari Ocuppy Wall Streer beberapa tahun lalu di Amerika serikat. Intinya, menduduki distrik bisnis penting di jantung Hong Kong adalah cara untuk membuat Beijing membatalkan aturan itu.

Pada 22 September, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi itu memutuskan mogok kuliah dan menggelar aksi. Pada malam 26 September, polisi meradang dan menangkap Joshua Wong, pemimpin demonstran berusia 17 tahun. Wong telah lama ada dalam pantauan radar aparat keamanan, setelah dua tahun lalu sukses memimpin gerakan menentang upaya untuk memperkenalkan pendidikan "patriotik" di sekolah-sekolah.

Wong dibebaskan pada 28 September, tapi pada dini hari itu Benny Tai, salah satu pemimpin Occupy Central, mengumumkan bahwa protes, yang telah dijadwalkan untuk dilangsungkan pada 1 Oktober, tak akan dibatalkan. Targetnya, hingga tuntutan dipenuhi.

***

Sebetulnya, isu pemilihan langsung bukan sebab tunggal aksi demonstrasi itu. Banyak anak muda di Hong Kong tidak puas dengan ekonomi dan melihat sistem pemerintahan direcoki taipan kaya di wilayah itu. Mereka juga membenci pengaruh dari daratan di kota mereka. Banyak warga daratan datang ke Hong Kong dan merebut lapangan pekerjaan mereka.

Dua kali dalam dasawarsa ini pengunjuk rasa di Hong Kong telah memaksa pemerintah untuk mundur: pada 2003, atas rencana untuk memperkenalkan undang-undang keamanan yang kontroversial, dan pada 2012 dengan protes atas pendidikan patriotik. Namun, kali ini agaknya sedikit berbeda.

Kepala Eksekutif Hong Kong, Leung Chung-yin, tampaknya tetap kukuh pada pendiriannya. Ia menolak untuk mundur, satu hal yang juga diteriakkan demonstran. Leung dan para penasihatnya, dengan dukungan dari para pemimpin Cina, tidak berencana untuk menggunakan kekuatan untuk membubarkan demonstrasi, tetapi juga tidak akan terlibat dalam negosiasi dengan demonstran untuk saat ini.

Reuters mengutip sumber pemerintah mengatakan bahwa kepala eksekutif "hanya akan melakukan intervensi jika ada penjarahan atau kekerasan".

Dalam praktiknya, pemerintah melakukan beberapa pilihan untuk menghadapi pengunjuk rasa karena ukuran kerumunan yang besar. Walau langkah itu bak menyiram minyak pada sekam. Sebuah usaha untuk membubarkan aksi dengan menggunakan gas air mata di awal protes, saat itu lebih kecil, justru menjadi bumerang dan secara signifikan memperkuat sentimen publik terhadap gerakan ini.

Di sisi lain, Beijing berkeras menolak segala bentuk intervensi asing atas Hong Kong.  Menteri Luar Negeri China Wang Yi jauh hari memperingatkan Washington untuk mundur dari kritik penanganan demonstrasi di Hong Kong, dengan mengatakan tidak akan menoleransi "tindakan ilegal".

"Pemerintah Cina telah sangat tegas dan jelas menyatakan posisinya. Urusan Hong Kong adalah urusan internal Cina," kata Wang saat bertemu timpalannya, Menteri Luar negeri AS John Kerry, di Washington menjelang pertemuan mereka pekan lalu. Sejarah menunggu untuk mencatat bagaimana akhir krisis Hong Kong kali ini.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement