Oleh: Nurul S Hamami -- Selain tercoreng oleh kasuskasus korupsi yang dilakukan oleh anggotanya, citra anggota DPR periode 2009-2014 yang mengakhiri tugasnya pada 30 September lalu juga dinilai tidak memuaskan dalam hal menjalani fungi legislasi atau membuat undang-undang. Sepanjang lima tahun, mereka hanya meng hasilkan 126 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang disahkan menjadi UU. Capaian ini jauh di bawah Program Legislasi Nasio nal (Prolegnas) selama periode tersebut yang berjumlah 247.
"Sebanyak 126 RUU tersebut meliputi RUU yang telah ditetapkan dalam pro legnas serta RUU kumulatif terbuka," kata Ketua DPR, Marzuki Alie, dalam rapat paripurna penutupan masa bakti anggota DPR RI periode 2009-2014 di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (30/9).
Menurut Marzuki, dari pelaksanaan proglenas jangka menengah tahun periode keanggotaan 2010-2014, DPR RI telah menyelesaikan pembahasan sebanyak 59 RUU. Selain itu, kata dia, DPR RI juga telah menyelesaikan sebanyak 56 RUU kumulatif terbuka yang merupakan luncuran dari anggota DPR RI periode sebelumnya yakni 2004-2009 dan perjanjian internasional.
Foto:Rosa Panggabean/Antara
Marzuki tidak mempersoalkan jumlah UU yang dihasilkan. "Pelaksanaan hasil prolegnas tahun 2010-2014 ini hendaknya tidak hanya dilihat dari target kuantitatif yakni jumlah UU yang dihasilkan, tapi juga harus dilihat dari banyaknya UU yang prorakyat," katanya, seperti dikutip Antara. Marzuki mencontohkan, produk UU yang prorakyat antara lain, UU tentang BPJS, UU tentang Desa, UU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU tentang Bantuan Hukum, serta UU tentang Penanganan Fakir Miskin.
Apa yang dikemukakan Marzuki tentu patut menjadi pegangan bagi anggota DPR yang baru dalam menjalankan fungsi legislasinya. Produk UU yang dikeluarkan oleh DPR haruslah yang prorakyat dan demi kemaslahatan bersama. Namun, mengecilkan arti penting kuantitasnya juga tidak sepenuhnya benar. Banyaknya UU yang dihasilkan merupakan bukti minim atau maksinya kinerja DPR.
Penekanan penting
Fungsi legislasi seharusnya menjadi penekanan penting bagi DPR sebagai sebuah lembaga legislatif. Bukan berarti dua fung si lainnya yakni pengawasan dan anggaran tidak penting. Namun, alangkah ironisnya bila DPR sebagai "mesin" pem buat UU ternyata lemah dalam memproduksi UU.
Kelemahan dalam menjalankan fungsi legislasi inilah yang menjadi salah satu acuan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja DPR 2009-2014. Berbagai sorotan yang menerpa anggota DPR juga menjadi faktor ketidakpuasan masyarakat, seperti tersangkut kasus korupsi, studi banding ke luar negeri yang mengeluarkan biaya tidak sedikit, hingga rencana pem bangun an ge dung baru yang akhirnya dibatalkan setelah mendapat kritikan pedas dari masyarakat.
"Lambatnya legislasi dipengaruhi oleh saratnya kepentingan politik dan kompromi antara fraksi-fraksi di Dewan dan eksekutif," kata Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) UI, Sri Budi Eko Wardani, kepada Republika.
Dia menilai, pelaksanaan dua fungsi lainnya sebenarnya juga berandil besar dalam penilaian masyarakat terhadap kinerja Dewan. Menurutnya, fungsi penga wasan relatif berjalan melalui penggunaan hak interpelasi, hak angket, maupun dalam forum rapat kerja di komisi-komisi. "Namun, pengawasan dijalankan dalam kerangka kepentingan politis jangka pendek dan sangat sedikit menyentuh substansi.
Selain itu, dalam fungsi pengawasan, DPR cenderung reaktif dalam arti merespons isu-isu hangat di masyarakat," ujarnya. Dalam fungsi anggaran yang menjadi kewenangan utama Dewan, justru muncul kabar tak sedap yakni maraknya anggota Dewan sebagai calo anggaran. "Ini sangat memalukan dan mencederai prinsip per wakilan politik yang diterjemahkan dalam peran alokasi anggaran di DPR."
Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Ronald Rofiandri, tidak menampik masih lemahnya fungsi legislasi yang dijalankan oleh anggota DPR. Me nurutnya, dukungan teknis yang dimiliki anggota Dewan secara kualitas maupun kuantitas belum mencapai standar mini mal yang mampu mendongkrak kinerja DPR, termasuk untuk fungsi legislasi.
"Dukungan teknis yang saya maksud adalah tersedianya tenaga ahli yang mumpuni dan dapat selalu diandalkan, yang efektif memenuhi kebutuhan dan mendukung kerja anggota DPR," kata Ronald kepada Republika beberapa waktu lalu.
Dalam pandangan Ronald, persoalan tenaga ahli cukup kompleks yakni mulai dari tahap rekrutmen, pembinaan, hingga evaluasi. "Hingga sekarang masih ditemu kan anggota DPR yang belum tahu cara memaksimalkan peran tenaga ahli, atau bahkan keberadaan unit-unit pendukung seperti peneliti, perpustakaan, atau sumber-sumber data dan informasi yang ber ada di lembaga-lembaga penelitian, baik nasional maupun internasional," katanya. "Semua fungsi DPR sama penting.
Namun, sebagai konsekuensi lembaga legislatif, tentunya titik tekan ada pada fungsi pembentukan undang-undang," ujar Ronald.
Tentang dukungan teknis seperti yang dikemukakan Ronald, anggota DPR 2009- 2014 asal Partai Gerindra, Sumaryati Ar joso, mengungkapkan kondisi anggota DPR saat itu di mana banyak dari mereka tidak suka membaca. Semua persoalan diserahkan kepada tenaga ahli, namun tenaga ahlinya sendiri juga tidak paham persoalan.
"Apa yang bisa dia perbuat untuk melaksanakan fungsi pengawasan, kalau dia sendiri tidak memahami persoalanpersoalan yang dihadapi," kata Sumaryati, dalam workshop prospek pengawasan DPR 2014-2019 yang diselenggarakan oleh Puskapol UI pada 17 September lalu.
Pernyataan senada diungkapkan oleh politikus Partai Golkar, Poempida Hida yatullah. Menurutnya, lembaga DPR tidak mempunyai tenaga ahli yang bagus. "DPR belum punya tenaga ahli dengan sertifikasi yang jelas. Padahal, kalau tenaga ahlinya kompeten, akan sangat membantu sekali," katanya, dalam forum workshop tersebut.
Dominasi fraksi
Sistem parlemen Indonesia yang menempatkan anggota DPR sebagai ke panjangan tangan partai melalui fraksinya, ditengarai sebagai penyebab utama man dulnya para wakil rakyat. Menurut War dani, hal itu diperparah dengan kuatnya dominasi kepentingan fraksi atas anggota sehingga tidak ada otonomi anggota. Padahal, mereka terpilih berdasarkan suara terbanyak. Namun, setelah terpilih mereka justru harus mengutamakan kepentingan fraksi atau partai.
Fraksi merupakan kepanjangan kepen tingan partai dalam proses legislasi, pe ngawasan, dan bujet, yang harus dija lankan dan diamankan oleh anggotanya di Dewan. Inilah yang terlihat selama ini, kuatnya kepentingan fraksi membuat kinerja anggota Dewan tersandera ke pentingan elite partai.
Mencermati profil dan basis keter pilihan anggota legislatif DPR RI 2014- 2019, menurut Wardani saat jumpa pers Puskapol UI, Jumat (26/9) dua pekan lalu, sangat berpeluang kuatnya dominasi fraksi atas otonomi anggota. Hal ini terutama disebabkan oleh pola basis rekrutmen yang mengandalkan kekuatan finansial dan kekerabatan untuk mendukung elekta bilitas yang tinggi. Antara lain ditunjuk kan oleh 7 dari 77 anggota terpilih yang memiliki jaringan kekerabatan termasuk dalam 10 besar peraih suara tertinggi.
Selain itu, kecenderungan semakin kuatnya dominasi fraksi atas anggota legislatif ditunjukkan pula oleh berim bang nya jumlah inkumben terpilih dan anggota baru terpilih. Sebagian inkumben yang tidak terpilih dapat diidentifikasi sebagai anggota yang kritis terhadap posisi dan kebijakan partai/fraksi. Dengan kon disi ini, harapan agenda reformasi parle men dan lahirnya kebijakan yang proke pentingan publik akan berhadapan dengan kepentingan oligarki (elite politik/fraksi).
Dominasi fraksi/partai yang sarat akan kepentingan masing-masing itu terlihat jelas saat pembahasan RUU Pilkada usul an pemerintah berlangsung berlarut-larut. Sejak dibahas secara resmi kali pertama pada pertengahan 2012, RUU ini baru disahkan di saat-saat terakhir keang gotaan DPR periode 2009-2014.
Kepentingan politik dalam proses legislasi itu kian jelas terlihat ketika fraksi-fraksi yang tergabung dalam koalisi pendukung Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014 menolak pilkada langsung dalam UU yang akan disahkan. Padahal, sejak awal pembahasan mereka menolak pemilihan melalui DPRD. Bahkan, hingga 3 Septem ber PKS masih tetap setuju dengan pilkada langsung oleh rakyat. Oleh karena anggota fraksi adalah kepanjangan tangan partai, maka mereka harus tunduk pada kepu tusan fraksi yang sarat dengan kepen tingan politik.
Dengan sistem parlemen yang masih menggunakan kelompok anggota bernama fraksi, maka sulit untuk bisa menegakkan otonomi anggota Dewan. Mereka dibuat tidak bisa berbeda sikap dengan fraksinya. Kondisi inilah yang membuat keputusankeputusan di DPR, termasuk dalam pembuatan UU, tersandung oleh kepen tingan fraksi.