Jumat 10 Oct 2014 12:00 WIB

Cermin Retak Kebijakan Energi Nasional

Red:

Oleh: Elba Damhuri -- Lembaga konsultan energi Wood Mackenzie memperingatkan Indonesia terkait ancaman impor minyak men tah dan bahan bakar minyak (BBM) yang bakal melambung tinggi. Pada 2018, Mackenzie memperkirakan Indonesia akan menjadi importir BBM terbesar di dunia mengalah kan Amerika Serikat (AS). Defisit antara produksi dan konsumsi BBM pada tahun itu diperkirakan naik dari 350 ribu barel per hari (bph) menjadi 560 bph.

AS saja pada 2016 diprediksi mengalami penurunan defisit BBM dari 560 ribu bph menjadi 60 ribu bph. Pada ta hun berikutnya, AS berpeluang besar men catat surplus produksi BBM. Negara-ne gara lain pun mengikuti jejak AS un tuk defisit BBM mereka. Meksiko dan Iran menjadi pemain utama yang saat ini fokus melakukan reformasi energi gu na menyeimbangkan perekonomian mereka.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:ISMAR PATRIZKI/ANTARA

Indonesia mencatat kesenjangan tinggi dalam impor minyak. Rata-rata per hari Indonesia harus mengimpor satu ju ta sampai 1,1 juta barel minyak mentah plus BBM. Kondisi ini disayangkan sejumlah kalangan mengingat Indonesia memproduksi minyak hingga 830 ribu-840 ribu bph, namun sebagian minyak itu dijual ke luar negeri. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang defisit, pemerintah terpaksa impor.

Kondisi ini diperparah dengan ting ginya beban subsidi BBM pada APBN dari tahun ke tahun. Mackenzie berharap, pemerintahan baru pimpinan Joko Widodo bisa memperkecil beban subsidi ini agar tidak membebani negara. Kepala Riset Hilir Asia Pasifik Wood Mackenzie Sushant Gupta mengatakan, sekitar 60-an persen dari total konsumsi BBM di Indonesia disubsidi negara.

Pada periode 2014-2020, Mackenzie memperkirakan total tagihan subsidi BBM mencapai 120 miliar dolar AS atau tiga persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional. Menurut Gupta, seperti dikutip dari situs Republika Online, jika subsidi BBM bisa dikurangi, berdampak pada penurunan permintaan Premium hingga 60 ribu hingga 70 ribu bph. Untuk solar, efisiensi mencapai 45 ribu sampai 50 ribu bph.

Pengamat energi Kurtubi mengung kapkan, sejumlah masalah lain terkait kebijakan energi nasional. Produksi mi nyak Indonesia yang terus turun menjadi sorotan serius yang mencerminkan betapa arsitektur energi nasional begitu buruk. Jika pada 1999 produksi minyak Indo nesia mencapai 1,5 juta bph, pada 2014 ter jun bebas ke level 830 ribu-840 ribuan bph.

Yang menarik, di tengah semakin turunnya produksi minyak nasional, cost recovery kontraktor migas malah naik. Peme rintah mengusulkan cost recovery naik lagi pada 2015 menjadi 17 miliar do lar AS, namun hanya diputuskan DPR 16 mi liar dolar AS. "Ini memperlihatkan tata kelola migas yang tidak benar," kata Kurtubi. Masalah-masalah migas lainnya yang masih belum diselesaikan adalah peran asing yang dominan dalam eksplorasi dan produksi migas nasional. Kurtubi mencatat 70 persen lebih produksi migas na sio nal dikuasai asing, Pertamina hanya me megang 20 persen, dan sisanya diambil pe rusahaan lain atau gabungan asing-lokal.

Di Malaysia, Petronas menguasai 70 persen produksi migas nasional, di Iran, BUMN migas mereka mencatat pengua saan sampai 80 persen dan di Rusia pun BUMN migas mereka memegang kendali atas penguasaan dan produksi ladangladang migas mereka. Pemex, BUMN migas asal Meksiko, menguasai 83 persen produksi migas nasional mes ki negeri Amerika Latin itu melakukan liberalisasi sektor energi.

Menurut peneliti Pusat Studi Energi UGM, Fahmy Ridha, Indonesia belum memiliki kedaulatan energi jika meli hat fakta-fakta di atas. Tata kelola migas ini mencerminkan pola kerja yang tidak sesuai konstitusi. UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah membuka peluang liberalisasi dan penguasaan asing atas ladang minyak nasional.

Kurtubi mengutip survei Fraser Institute Kanada pada 2010, 2011, dan 2012 yang menyebutkan bahwa tata kelola migas Indonesia, termasuk yang paling buruk di Asia Oseania. UU Migas, kata Kurtubi, menjadi penyebab uta ma amburadulnya kebijakan energi na sional. Ia menyebut sejumlah contoh, mu lai dari penjualan LNG Tangguh yang me rugikan negara hingga triliunan rupiah, inefisiensi di PLN sebesar Rp 37 triliun akibat pemakaian BBM un tuk pembangkit, dan sistem transportasi yang masih jauh dari modern.

Reformasi kebijakan energi

Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) menekankan arti penting reformasi struktural bagi Indonesia untuk menutup jurang defisit yang dalam. Da lam laporannya tentang ekonomi In donesia, Bank Dunia menyebut kan In do nesia harus melakukan reformasi subsidi BBM dalam arti memangkas dana subsidi untuk kepentingan lain.

Direktur Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo A Chaves mengungkapkan, peng a lihan dana subsidi BBM tersebut bi sa digunakan untuk pembangunan in fra struktur. Penggunaan dana subsidi BBM ini pun bisa digunakan untuk memberdayakan warga miskin, baik dari sisi ekonomi, kesehatan, maupun pendidikan. Ekonom utama Bank Dunia Jim Brum by mengatakan, reformasi atas beban subsidi diperlukan karena diperkirakan alokasi subsidi energi, terutama BBM, akan terus meningkat. Bank Dunia memberikan dua skenario reformasi da lam kebijakan BBM bersubsidi.

Skenario pertama, pemerintah me naik kan harga BBM bersubsidi Rp 2.000 per liter untuk Premium dan Rp 1.000 per liter untuk solar. Dengan kenaikan seperti ini, dapat menghemat Rp 45,2 tri liun dan menahan pelebaran defi sit ang garan hanya 2,1 persen terhadap PDB.

Skenario kedua, pemerintah menaik kan harga BBM bersubsidi hanya setengah dari harga keekonomisan pasar. De ngan be gitu, negara dapat menghemat subsidi lebih besar, yaitu Rp 68,8 triliun, sehingga defisit anggaran dapat bertahan pada 1,9 persen terhadap PDB.

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Juda Agung mengingatkan ar ti penting reformasi struktural ini. Re formasi besaran subsidi harga BBM, kata Juda, merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dana subsidi yang dipotong bisa digunakan untuk pembangunan ekonomi yang mampu mengurangi kemiskinan dan menaikkan pendapatan rakyat, terutama rakyat miskin.

Reformasi kebijakan energi nasional juga harus mencakup penguasaan minyak dan gas di tangan negara. Menurut Fahmi Radhi, migas harus dijadikan komoditas strategis sehingga negara bisa melakukan intervensi. Penguatan atas penguasaan migas nasional ini berdampak pada berubahnya pola penguasaan produksi dan eksplorasi migas nasional.

Jika saat ini produksi dan eksplorasi didominasi perusahaan-perusahaan asing, pa da lima hingga 10 tahun ke de pan, pe rusahaan nasional yang menjadi mayoritas. "Kita tidak memiliki kedaulatan energi dengan komposisi yang ada sekarang," kata Ridha, beberapa waktu lalu.

Dari sisi produser, perusahaan nasional milik negara harus diperkuat. IMF memberikan rekomendasi ini agar pengelolaan migas lebih efisien dan menguntungkan. Peran Perta mina, dalam hal ini, harus mendapat tempat utama, bukan malah dikebiri. Radhi melihat dalam beberapa kasus, peran Pertamina malah dipotong seperti pada perpanjangan kontrak Blok Cepu dan Blok Mahakam.

Iran telah membuka pasar migas mereka untuk perusahaan-perusahaan asing. Namun, BUMN migas mereka, National Iranian Oil Com pany (NIOC), tetap memegang penguasaan mayoritas ladang migas me reka. Pertamina semestinya tidak lagi menguasai 20 persen produksi migas nasional, tetapi sudah harus di atas 50 persen.

Reformasi lainnya terkait pem bangunan infrastruktur gas dan pe nye diaan energi alternatif sebagai peng ganti BBM. Bank Dunia meng anggap Indonesia sudah semestinya mempercepat pemanfaatan energi al ternatif sebagai upaya menghindari ke tergantungan yang tinggi atas energi fosil. Energi masa depan, kata Bank Du nia, tidak lagi terletak pada mi nyak, tetapi energi yang ramah lingkungan. BI pun ikut mengusulkan kepada pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur gas untuk bisa memasok energi bersih dan murah.

Juga, mempercepat pengalihan pe man faatan energi baru dan terbarukan guna menutup defisit tinggi pemakaian BBM. Di sini, bauran penggunaan sumber-sumber energi diperlukan di mana pada 10 atau 15 tahun ke depan, BBM tidak lagi mendominasi pema kai an energi dalam negeri.

Reformasi energi memang mudah diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan. Namun, harapan besar adanya per ubahan tata kelola migas di Tanah Air terpatri kuat. Pemerintah baru tidak bisa berleha-leha membiarkan sektor migas makin dalam terjerembap. Tin dakan benar dan cepat atas reformasi sektor energi harus dilakukan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement