Selasa 05 Jan 2016 17:00 WIB

Memperkuat Partisipasi Perempuan Di Desa

Red:

Kehadiran UU Nomor 6 Ta hun 2014 tentang Desa te lah membawa angin se gar bagi pembangunan de sa yang lebih partisipatif. UU ini membuka ruang yang seluas-luasnya bagi warga un tuk berpartisipasi aktif dalam membangun desanya.

Amanat penting dari UU itu sendiri yakni membangun kemandirian desa dan menjadikan desa sebagai subjek pem bangunan nasional. Termasuk di dalamnya adalah yang terkait dengan masalah parti sipasi warga. Pasal 82 UU Desa ini me ng atur tentang partisipasi warga dalam tata kelola desa.

Adapun bentuk partisipasi warga sebagaimana diatur dalam pasal tersebut yakni berpartisipasi dalam musyawarah desa. Dibuka ruang yang besar bagi warga untuk menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan maupun tertulis. Warga desa juga diberi akses untuk mendapatkan informasi mengenai rencana dan pelaksanaan pembangunan desa.

Bentuk partisipasi yang lain yakni warga diberi kesempatan untuk memantau pelaksanaan pembangunan desa. Selain itu, warga juga dapat melaporkan hasil pemantauan dan berbagai keluhan terhadap pelaksanaan pembangunan desa kepada pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

UU Desa mengatur dua forum untuk ruang partisipasi warga. Pertama, musya warah perencanaan pembangunan desa (mus renbangdes). Di sini bentuk partisipasi warga berupa pengajuan usulan pem ba ngun an desa kepada unit pemerintah di atas nya untuk penyusunan rencana pembangun an jangka menengah daerah (RPJMD-kabupaten/ kota) dan RPJMN (nasional).

Forum kedua yakni musyawarah desa. Di forum ini warga dapat terlibat dalam pembahasan dan penyusunan rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes), pembahasan dan penyusunan rencana kerja pemerintah desa (RKPDes), pembahasan dan penyusunan anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes), pembahasan dan penyusunan peraturan desa (perdes), dan pembahasan masuknya investasi dan hibah ke desa.

Musyawarah desa yang dimaksud dalam UU Desa Tahun 2014 ini merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh BPD, pemerintah desa, dan unsur masya rakat desa untuk membahas hal-hal strategis. Hal strategis itu di antaranya pembuatan perdes, RPJMN, RKP, penataan desa, kerja sama desa, rencana investasi yang masuk desa, pembentukan BUM Desa, aset desa, dan kejadian luar biasa lainnya (Pasa 54).

Musyawarah desa juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014. Pada Pasal 80 disebutkan, unsur ma syarakat terdiri dari tokoh adat, tokoh aga ma, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, kelompok tani, kelompok nelayan, kelompok perajin, kelompok perempuan, perwakilan kelompok pemerhati dan perlindungan anak, dan perwakilan kelompok masyarakat miskin. Selain itu musyawarah desa dapat melibatkan unsur masyarakat lain sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat.

Tantangan

Begitulah, UU Desa telah membuka kesempatan yang luas bagi masyarakat desa untuk terlibat dalam forum-forum perencanaan pembangunan yang ada di desa. Namun, terbukanya peluang partisipasi warga desa berhadapan pula dengan sejumlah tantangan, terkait situasi sosial desa dan ketersediaan informasi serta pengetahuan warga tentang tata kelola desa.

Tak kurang Menteri Desa, Pembangun an Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Marwan Jafar, mengakui masih banyaknya ham batan dalam mengimplementasikan UU Desa. Hambatan tersebut juga hadir dalam masalah partisipasi warga. Dia menyebutnya sebagai sebuah kendala dalam hal demokratisasi desa.

Marwan menyebutkan demokratisasi desa masih menghadapi kendala praktik administratif. Aparatur pemerintah daerah cenderung melakukan tindakan kepatuhan dari "Pusat" untuk mengendalikan peme rintah desa, termasuk dalam hal penggunaan dana desa. Padahal UU Desa telah mengakui kewenangan yang dimiliki oleh desa dalam mengatur dan mengurus kepen tingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya secara demokratis dan partisipatif.

"Demokratisasi desa juga terkendala oleh lemahnya tingkat partisipasi yang substantif dan konstruktif dari masyarakat desa. Pada dimensi inilah pemerintah dan pemerintah daerah dapat berperan aktif untuk membina dan memberdayakan ma syarakat desa dalam rangka meningkatkan kualitas partisipasi mereka," kata Marwan, seperti dikutip laman resmi Kemendes.

Riset yang dilakukan Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indo nesia tentang partisipasi warga dalam tata kelola desa menyebut ada dua tantangan partisipasi warga desa dalam membangun desanya. Pertama, ketertutupan pemerintah desa dan BPD untuk melibatkan warga. Kedua, apatisme warga karena minimnya pengetahuan tata kelola desa dan peluang partisipasi warga.

Terkait ketertutupan pemerintah desa dan BPD, Puskapol melihat BPD tidak menjalankan fungsinya secara optimal sebagai pengawas kinerja pemerintah desa dan perwakilan masyarakat. Relasi BPD de ngan pemerintah desa berjalan tertutup. "Mereka tidak membagi informasi hasil musyawarah dan pengawasan kinerja ke pada warga desa," kata Anna Margret, Wakil Direktur Puskapol UI, dalam papar an hasil riset tersebut di Jakarta, 14 Desem ber lalu. Hubungan ke kerabatan di antara pemerintah, elite desa, dan warga juga ikut menumpulkan jalannya fungsi pengawasan di desa.

Tantangan lainnya yakni kurangnya pelibatan warga dalam kegiatan musya warah desa dan musyawarah pembangunan desa. Pemerintah desa hanya mengundang tokoh masyarakat, RT, dan RW. Tidak mengundang warga di luar struktur ke kuasaan desa sehingga partisipasi warga rendah di musdes dan musrenbangdes. "Kecuali itu, warga juga belum menya dari bahwa BPD bisa diminta mengadakan musdes kapan saja jika diperlukan untuk membahas masalah atau hal-hal strategis," jelas Anna.

Terkait apatisme warga terhadap musrenbangdes, jelas Anna, karena usulan program pembangunan desa tidak pernah dikomunikasikan hasil dan tindak lanjutnya kepada warga. "Sehingga warga meng ang gap usulannya tidak ditanggapi. Mes kipun memang sangat jarang hasil musrenbangdes diakomodasi dalam RPJMD," ucapnya. Di sisi lain, lanjut Anna, warga belum memahami perbedaan antara musdes dan musrenbangdes. Warga masih menganggap musdes adalah hal yang sama dengan musrenbangdes.

Sebenarnya warga tidak selalu apatis dan masabodo. Sudah ada inisiatif warga untuk melakukan pengawasan kinerja kepala desa. Namun, pengawasan belum berjalan optimal, karena warga kurang memahami alur pembuatan kebijakan dan dokumen yang relevan untuk menjadi instrumen pegawasan.

Dalam riset Puskapol juga ditemukan, sudah ada pengalaman warga untuk pene rapan tata kelola organisasi yang trans paran melalui pendampingan pada era PNPM. Namun, hal itu bersifat sementara —selama pendampingan— karena warga tidak didorong untuk secara mandiri mampu melakukan pengawasan terhadap pemerintahan desa secara berkelanjutan.

Partisipasi perempuan

Persoalan lain dalam hal partisipasi warga di desa adalah ketidakterlibatan perempuan dalam forum-forum partisipasi warga desa. Padahal, UU Desa sudah mem beri ruang partisipasi bagi perempuan, tapi implementasinya masih menemui sejumlah masalah. Begitu pula dengan keluarnya permendes yang mengatur partisipasi kelompok perempuan.

Ketidakterlibatan perempuan dalam forum-forum partisipasi warga di desa ditengarai juga terkait dengan masalah kapasitas aparat desa yang tidak paham tata kelola desa. Aparat desa banyak yang tidak paham bagaimana melibatkan perempuan dalam forum-forum di desa.

Terkait itulah Puskapol UI menganggap penting mendorong kepemimpinan perempuan dalam partisipasi politik warga di tingkat desa. Ada tiga hal yang mendukung pernyataan tersebut. Pertama, karakter khas desa. Desa merupakan unit pemerintahan terkecil yang sarat dengan proses politik formal sekaligus personal sebagai akibat dari jumlah penduduk desa yang relatif kecil, pola interaksi antarwarga umumnya sangat intensif, dan relasi antara warga dan pimpinan desa sangat berpenga ruh terhadap peluang dan bentuk partispasi politik mulai dari tingkat lokal hingga lapisan di atasnya.

Dengan dikeluarkannya UU Desa yang mengatur pemilihan kepala desa dan alokasi dana hibah pemerintah dalam jumlah cukup besar untuk desa, pemberdayaan warga desa untuk ikut mengawasi dan terlibat dalam dinamika politik desa menjadi semakin penting. Perempuan warga desa merupakan potensi yang selayaknya tidak hanya diandalkan sebagai sandaran potensi reproduksi biologis dalam hal melahirkan dan membesarkan anak. Tapi, juga perlu didorong untuk memenuhi potensi reproduksi sosiologis dan politik dalam hal mengakses peran dan fungsi kepemimpinan di tingkat lokal atas dasar keadilan dan kesetaraan.

Kedua, kendala struktural yang menghadang partisipasi politik perempuan. Riset oleh Puskapol UI (2013) mencatat minimnya partisipasi politik perempuan sebagai penyelenggara pemilu di berbagai tingkatan ternyata dilatarbelakangi oleh kendala re gulasi (peraturan yang tidak secara tegas memfasilitasi partisipasi perempuan), kendala geografis yang secara khusus dialami oleh perempuan secara berbeda (dibandingkan dengan laki-laki) sebagai akibat dari tantangan kebebasan serta keamanan melakukan mobilitas, dan yang terakhir – seringkali justru merupakan yang "terberat" – kendala kultural yang umum nya menempatkan perempuan sebagai pemikul peran dan beban kerja domestik yang mempersulit perempuan untuk berkiprah di luar rumah tanpa seizin keluarganya. Temuan kendala struktural di atas boleh jadi memiliki pola yang berbeda di tiap-tiap desa dan kerumitan yang beragam pula pada berbagai bentuk partisipasi warga.

Ketiga, kesejahteraan desa secara mendasar sesungguhnya bertumpu pada kesejahteraan perempuan dan anak. Pengu kuran terhadap tingkat kesejahteraan desa bukan sekadar soal jumlah pendapatan daerah di tingkat lokal tapi lebih mendasar lagi adalah soal kesejahteraan hidup yang meliputi kesehatan dan pendidikan. Angka kematian ibu dan anak (AKI), akses terhadap pendidikan yang murah dan berkualitas, akses terhadap pelayanan kesehatan, dan akses terhadap air bersih merupakan segelintir contoh indikator kesejahteraan yang sesungguhnya sangat dekat dengan perempuan.

Oleh karenanya, mendorong kepe mimpinan perempuan dalam tata kelola desa menjadi bagian integral dari upaya meningkatkan kesejahteraan kehidupan warga desa. Ini karena persoalan keseha rian yang menjadi indikator kesejahteraan sangat dekat dengan kepentingan perempuan.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement