REPUBLIKA.CO.ID,HARAP-HARAP CEMAS WARGA ASEAN
MEA bakal menyeimbangkan peta kekuatan global.
Meningkatkan skala perekonomian (ASEAN)
dengan kekuatan negosiasi yang lebih baik.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah bergulir. Setiap warga ASEAN dipastikan lebih mudah bepergian dari dan ke negara- negara ASEAN, baik sekadar berwisata maupun berbisnis.
Gambaran tersebut terlihat dari hasil poling yang digelar Strait Times bersama Asia News Network (ST-ANN), sebuah jaringan 22 media berbahasa Inggris di negara-negara ASEAN. Poling dilakukan secara online sejak 20 Oktober 2015 sampai 9 Desember 2015 dan dibatasi hanya diikuti warga ASEAN.
Poling bertitel `Are We A Com munity\' ini melibatkan sebanyak 655 responden dari sepuluh negara anggota ASEAN.
Sejumlah responden berharap bergulirnya MEA mampu memperbaiki tingkat pendidikan dan infrastruktur sekaligus menyebarkan praktik-praktik inovatif di kawasan.
Sebagian lain berharap MEA mampu menegaskan kembali identitas ASEAN tanpa harus bergantung pada negara-negara superpower.
Bersamaan dengan suara-suara optimistis dan antusias MEA bisa membawa perubahan lebih baik di kawasan ASEAN, bermunculan pula suara-suara responden yang berpendapat menciptakan ASEAN yang benar-benar menjadi satu komunitas tidaklah mudah dan butuh kemauan politis.
Sebagian kecil malah beranggapan menciptakan satu komunitas dari sepuluh negara berbeda adalah mimpi belaka.
Tapi, Kong Ming Lai, responden asal Malaysia, adalah salah satu responden yang optimistis. \"Dengan terbentuknya AEC akan ada banyak peluang bisnis mulai dari agrikultur, infrastruktur, energi, manufaktur sampai telekomuniasi, yang bisa mengubah warga ASEAN menjadi lebih baik,\" tulis Ming Lai dikutip Strait Times. Dia memperkirakan lima negara besar ASEAN;
Singapura, Malaysia, Brunei, Indonesia dan Thailand mampu memanfaatkan peluang bisnis tersebut.
Pandangan senada dilontarkan Albert Tabilog, responden asal Filipina. \"Berbisnis di ASEAN akan jadi lebih mudah dengan berkurangnya hambatan. Gagasan masyarakat ASEAN sebagai satu komunitas benar-benar bermanfaat,\" tulisnya.
Meski tetap optimistis, responden asal Indonesia Archicco Guilianno, menulis \"Terbentuknya masyarakat ASEAN pastinya menghadirkan harapan baru sekaligus peluang baru yang bisa dieksplorasi. Tapi peluang dan harapan itu juga menghadirkan tantangan berupa level persaingan yang benar-benar baru. Ini berarti saya harus mulai meningkatkan kemampuan dan pengetahuan saya.\"
Yang jelas, dengan bergulirnya MEA, menurut responden asal Thailand, Danai Pattaphongse, gaya hidup di ASEAN akan lebih dinamis. \"Setiap orang harus lebih aktif dan bersiap mengikuti arus ASEAN. Tidak akan ada yang tinggal diam.\"
Rajesh, responden asal Singapura, juga optimistis kehadiran MEA bakal menyeim- bangkan peta kekuatan global. \"MEA akan menjadi satu suara yang mendapat perhat- ian masyarakat global, meningkatkan skala perekonomian dengan kekuatan negosiasi yang lebih baik. Selama ini di kancah global, ASEAN selalu berada di bawah bayang- bayang Cina dan India,\" tulis Rajesh.
Terkait dengan kekuatan ekonomi di luar ASEAN, Ooi Kee Beng, deputi direkturndati begit Iseas Yusof Ishak Institute menegaskan inisiatif menuju integrasi ekonomi dan kolaborasi ekonomi di kawasan yang terus muncul dari sektor swasta.
Kendati begitu, menurut Ong Keng Yong, eksekutif deputi chairman S. Raja rat nam School of International Studies di the Nanyang Technological University, Singapura pembahasan dan pembicaraa yang konstan soal MEA dalam beberapa tahun terakhir mendorong banyak warga ASEAN memikirkan tentang identitas bersama ASEAN. Setidaknya bagaimana menciptakan komunikasi dan saling pengertian yang lebih baik di antara sesama warga ASEAN.
Bersamaan dengan angin optimistis di kalangan warga ASEAN, berhembus pula angin skeptis yang boleh jadi muncul lantaran perbedaan-perbedaan yang disebut Yong. Lihat saja pandangan Danny Apple Seef, responden asal Malaysia.
Senada dengan itu, responden asal Thailand Wongsiri Miyaji pun menyiratkan nada skeptis. \"Saya kira MEA tidak akan mengubah hidup saya dalam waktu dekat.
Saya ingin melihat MEA yang menerapkan standar sama di seluruh kawasan seperti standar lingkungan, pekerja, dan lain-lain.
Saya tidak melihat standar itu terjadi dalam waktu singkat,\" tulisnya.
Wongsiri menambahkan, saat ini, ada perbedaan yang sangat besar di antara negara-negara anggota ASEAN. Sebut saja misalnya Produk Domestik Bruto (PDB) perkapita, produktifitas, atau upah pekerja.
Pastinya setiap negara akan memproteksi kepentingan ekonomi warga masing- masing. Proteksi seperti itu akan sulit dihapus meski ada penghapusan hambatan tarif (perdagangan).
Pandangan skeptis lain muncul dari Taufan, responden asal Indonesia. \"Saya tidak yakin apakah MEA akan membawa manfaat atau justru merugikan di kawasan.
Kemudahan konektivitas memang bermanfaat. Tapi menurut Taufan, itu juga memunculkan kecemasan soal persaingan yang makin ketat. \"Jika MEA bisa ditunda lima atau sepuluh tahun lagi, ketika setiap negara anggota sudah memiliki keunggulan industri dan komoditas tertentu, MEA mungkin bisa lebih bermanfaat,\" tulisnya.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), faktanya, sudah bergulir tanpa penundaan.
Ungkapan bersiap menghadapi MEA barangkali sudah tak tepat lagi. Berpangku tangan sambil berharap-harap cemas pun tidak lagi cukup. Pemerintah, masyarakat, pebisnis, dan pengusaha di seluruh kawasan Asia Tenggara sudah masuk dan berada dalam arus ASEAN.
So, better start swimming or sink like a stone.