OLEH HARUN HUSEIN
Sebanyak 147 permohonan seng keta hasil pilkada telah disampaikan oleh pasangan calon (paslon) yang kalah da lam pilkada. Namun, dari jum lah ini, hanya 23 per mohonan yang memenuhi syarat formil Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8/2015 tentang Pilkada. Selebihnya terancam tidak diterima.
Pasal 158 tersebut berisi threshold ketat untuk mempersengketakan hasil ke Mahka mah Konstitusi (MK). Yaitu, selisih suara pas lon yang kalah dengan paslon yang me nang, harus 0,5 persen hingga dua persen, bergantung jumlah penduduk daerah ber sangkutan (lihat tabel Threshold Ketat Itu).
Selisih setipis ini, biasa dikenal dengan istilah too close to call, yang terjemahan bebasnya adalah selisih yang terlalu tipis untuk dapat dipastikan siapa pemenangnya. Ungkapan seperti ini juga sempat disemat kan untuk hasil Pemilihan Presiden lalu, karena begitu dekatnya suara pasangan Prabowo-Hatta dengan Jokowi-Kalla.
Selisih tipis ini telah diprotes oleh kalangan masyarakat sipil, akademisi, praktisi hukum, serta sejumlah pasangan calon maupun pe ngacaranya. Mereka mendesak MK meng abaikannya, demi mencapai keadilan substantif, dan agar MK tak semata menjadi Mahkamah Kalkulator.
Sejumlah kalangan memang dibuat khawatir MK bakal benar-benar menerap kan Pasal 158, dengan konsekuensi 'musim gu gur permohonan sengketa pilkada'. Sebab, ketentuan Pasal 158 tersebut telah dijabar kan dalam dua peraturan MK (PMK) tentang pedoman beracara dalam perkara perselisih an hasil pilkada yang diterbitkan pada November 2015 lalu, yaitu PMK No 4/2015 dan PMK No 5/2015.
Khawatir dengan kemungkinan itu, sejumlah kalangan, terutama yang kalah pilkada, sejak akhir tahun lalu sudah mewacanakan untuk menguji materi pasal tersebut ke MK. Bahkan, ada pula desakan agar presiden mengeluarkan peraturan pe merintah pengganti undang-undang (perp pu) untuk mengedrop Pasal 158. Sebab, selain melanggar konstitusi, pasal tersebut juga dinilai melanggar HAM.
Ketua MK, Arief Hidayat, belum mem beri ja waban tegas apakah lembaganya akan me nyi dangkan sengketa yang tidak meme nuhi syarat Pasal 158. Dia masih memberi jawaban diplomatis bahwa Pasal 158 tidak berten tangan dengan konstitusi. "Ini bukan MK yang menentukan, tetapi UU yang me nentukan. Jadi, ya terserah politik hukum (opened legal policy) pembentuk UU dalam hal ini DPR dan Presiden," kata Arief, Rabu (6/1) pekan lalu, seperti dikutip laman hukumonline.
Soal adanya pihak yang hendak menguji materi pasal tersebut, Arief Hidayat mem per silakan. "Kalau ada masyarakat pemer hati pilkada keberatan, kenapa tidak judicial review Pasal 158. MK mempunyai kewena ngan melakukan judicial review kalau ada permohonan masuk," katanya.
Tapi, hingga pekan lalu, belum ada pen daftaran permohonan uji materi Pasal 158 yang sampai ke MK. Dan, merupakan kebia sa an selama ini bahwa saat menangani seng keta pilkada maupun pemilu, MK menunda memproses permohonan-permo honan lainnya, termasuk uji materi.
Selain itu, Pasal 158 ini telah diuji materi pada pertengahan 2015 lalu, oleh bekas ketua Panwaslu DKI Jakarta, Ramdansyah; Yanda Zaihifni Ishak, dosen Universitas Jambi; dan, Heriyanto, peneliti pemilu. Ketiganya menilai Pasal 158 dan sejumlah pasal lainnya cacat secara materiil. Namun, MK menolaknya lewat Putusan Nomor 51/PUU-XIII/2015, pada 11 Juli lalu.
Perubahan paradigma
Soal sengketa hasil pilkada/pemilu di MK, memang bak bergerak dari satu eks trem ke ekstrem yang lain. Dulu, paslon yang kalah pilkada/pemilu, hampir pasti meng gugat kekalahannnya hingga MK. Per soalan kecurangan apapun –apakah bersifat ad ministratif, pidana, maupun etik— yang seharusnya diselesaikan di tingkat tahapan pemilu, justru kemudian dibawa ke MK, sehigga ada yang mengibaratkan MK tak ubahnya 'tong sampah'. Kini, yang terjadi sebaliknya, yaitu memperketat secara luar biasa sengketa pilkada ke MK.
Dari 147 permohonan sengketa pilkada tahun ini, berbagai soal di luar sengketa hasil memang juga diangkut ke MK. Seperti Penetapan calon yang dilakukan KPUD, paslon yang dicoret oleh KPUD, hingga penggunaan sistem noken.
Saat draf RUU Pilkada sedang disusun pada 2011 lalu, seorang pejabat di Kemen dagri pernah menuturkan kepada Republika untuk membatasi secara ketat pengajuan sengketa hasil pilkada. Sehingga, yang kalah pilkada tak terus penasaran dan memper soalkan sampai ke MK, padahal jarak sua ranya sangat jauh. Dia menyebut too close to call-lah yang perlu jadi pembatasnya. Dan, itulah yang kemudian terwujud di Pasal 158.
Sesuai aturan perundangan, MK me mang hanya menyelesaikan sengketa hasil. Itu pun tidak semua sengketa hasil, tetapi yang 'memengaruhi hasil pemilu/ pilkada secara signifikan', seperti tertulis di Pasal 74 ayat (2) UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi..
Belakangan, terjadi redefinisi sengketa di MK. Objek sengketa tidak lagi semata angka hasil penghitungan suara, tapi juga mencakup pelanggaran yang berpotensi memengaruhi hasil. Pelanggaran ini belakangan dise but dengan istilah sistematis, terstruktur, dan massif (STM).
Putusan-putusan MK pun tidak lagi hanya mengabulkan, menolak, dan tidak dapat diterima, tapi muncul varian-varian pu tusan baru seperti dikabulkan seluruhnya, dikabulkan sebagian, penghitungan suara ulang, hingga pemungutan suara ulang. Ijtihad perluasan kewenangan MK ter se but, dimulai sejak menyelesaikan seng ke ta pemilukada Jawa Timur pada 2008. Dari sinilah muncul istilah pelanggaran STM.
Dalam pertimbangan hukum putusan pe milu kada Jawa Timur nomor 41/PHPU.D-VI/2008, MK menyatakan: "Tidak dapat dinafikan bahwa seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dan tahapan pemilukada akan sangat berpengaruh secara mendasar pada hasil akhir, dan dengan absennya penyelesaian sengketa secara efektif dalam proses pemilukada, meng haruskan Mahkamah untuk tidak mem biarkan hal demikian apabila bukti-bukti yang dihadapkan memenuhi syarat keabsah an undangundang dan bobot peristiwa yang cukup signifikan. Hal demikian tidak dimak sudkan untuk mengambil alih kewenangan memutus pelanggaran dan penyimpangan dalam proses pemilukada, melainkan menilai dan mempertimbangkan implikasi yang timbul dalam perolehan suara yang dihitung dalam Rekapitulasi Penghitungan Suara yang dilakukan oleh KPU."
Peneliti Perkumpulan Pemilu dan De mokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, berharap MK tak semata terpaku pada angka-angka yang dipatok di Pasal 158, tapi juga mewujudkan keadilan substantif, dengan melihat proses pelaksanaan pilkada secara keseluruhan. "Syarat di Pasal 158 ini jika dilihat dari maksud dan tujuan kehadirannya, ingin menyampaikan pesan, agar MK tidak menjadi "tong sampah" sengketa pilkada."
Namun di balik itu, Fadli mengatakan MK perlu mempertimbangkan situasi dan kon disi lain dari setiap permohonan yang masuk. "Sangat terbuka kemungkinan, dan MK harus mempertimbangkan, jika ada pemo hon yang selisih suaranya jauh, namun me miliki dalil dan bukti yang kuat bahwa hasil tersebut didapat dari proses pilkada yang penuh dengan praktik kecurangan," katanya.
Sejak Kamis pekan lalu, MK telah mela kukan pemeriksaan pendahuluan atas per kara sengketa pilkada, untuk memeriksa pokok perkara. Setelah itu, pada 18 Januari mendatang, MK akan menentukan perkara mana yang berlanjut ke pemeriksaan persi dangan. Semoga MK, benar-benar menja lankan keadilan substantif, dan tak semata menjadi Mahkamah Kalkulator.
Dalam pemeriksaan persidangan, selain memeriksa pokok permohonan, MK juga memeriksa alat bukti tertulis; mende ngarkan keterangan pemohon, termohon, dan pihak terkait; mendengarkan keterang an saksi dan ahli; memeriksa rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan dan/atau peristiwa yang sesuai dengan alat bukti yang dapat dijadikan petunjuk; serta, memeriksa alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan alat bukti itu.***
THRESHOLD KETAT ITU
Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8/2015 tentang Pilkada telah menetapkan syarat ketat untuk mempersengketakan hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi. Sebab, hanya jika selisihnya 0,5 persen hingga dua persen –bergantung jumlah penduduk daerah bersangkutan— yang dinyatakan memenuhi syarat untuk 'menggugat'. Alhasil, dari 147 permohonan yang disampaikan ke MK, hanya 23 yang memenuhi syarat. Berikut aturan main Pasal 158 dan 23 daerah yang memenuhi syarat.
Pasal 158
# Peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan:
• Provinsi berpenduduk dua juta ke bawah, gugatan jika selisih suaranya maksimal 2%.
• Provinsi berpenduduk 2-6 juta, gugatan jika selisih suaranya maksimal 1,5%.
• Provinsi berpenduduk 6-12 juta, gugatan jika selisih suaranya maksimal 1%.
• Provinsi berpenduduk 12 juta lebih, gugatan jika selisih suaranya maksimal 0,5%.
# Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara dengan ketentuan:
• Kabupaten/kota berpenduduk 250 ribu ke bawah, gugatan jika selisih suaranya maksimal 2%.
• Kabupaten/kota berpenduduk 250 ribu-500 ribu, gugatan jika selisih suaranya maksimal 1,5%.
• Kabupaten/kota berpenduduk 500 ribu-1 juta, gugatan jika selisih suaranya maksimal 1%.
• Kabupaten/kota berpenduduk 1 juta ke atas, gugatan jika selisih suaranya maksimal 0,5%.
23 Daerah yang Memenuhi Syarat Formil
1. Kab. Pelalawan 1.14 %
2. Kab. Kuantan Singingi 0.21 %
3. Kab. Pesisir Barat 1. 34 %
4. Kab. Mahakam Ulu 1.62 %
5. Kab. Banggai Laut 1.95 %
6. Kab. Wakatobi 1.38 %
7. Kab. Batanghari 1.33 %
8. Kab. Barru 0.81 %
9. Kab. Rokan Hulu 0.58 %
10. Kab. Kapuas Hulu 1.46 %
11. Kab. Gorontalo 0.8 %
12. Kab. Buton Utara 1.97%
13. Kab. Gorontalo 0.66 %
14. Kab. Kepulauan Sula 0.35 %
15. Kab. Bangka Barat 0.30 %
16. Kab. Pekalongan 0.60 %
17. Kab. Solok Selatan 0.66 %
18. Kab. Manggarai 1.28 %
19. Kab. Muna 0.03 %
20. Kab. Halmahera Barat 0.85 %
21. Kab. Teluk Bintuni 0.54 %
22. Kab. Maluku Barat Daya 1.38 %
23. Kab. Pasaman 0.98 %
Sumber: UU Pilkada & Perludem.