Kamis 05 Jun 2014 11:22 WIB

Semaraknya Festival Pe-Cun

Red:

Terlihat warna-warni perahu menepi di Sungai Cisadane dengan bendera-bendera bertuliskan huruf Cina dan motif naga. Warna kuning, merah, serta hijau menghiasi perahu-perahu berkepala naga itu.

Dengan diiringi musik khas Cina, dua barongsai meliuk-liuk mengikuti irama musik yang dimainkan anak-anak. Tampak dua ekor naga sedang menari secara bergantian. Naga merah dengan penampilan sangar, sedangkan naga putih terlihat sosok baik. Tarian itu memperlihatkan pertarungan antara naga merah dan naga putih.

Setelah pertunjukan barongsai, para jemaat melakukan sembahyang dengan dupa di tangan mereka. Dupa berwarna merah mulai dibakar. Bau khas dupa mengiringi seluruh area sembahyang yang hening seketika itu. Dengan nyanyian-nyanyian sederhana, jemaat mengangkat dan menurunkan dupa yang digenggam di depan wajah mereka mengikuti irama nyanyian tersebut.

Selesai bersembahyang, panitia mengadakan lomba menangkap bebek. Dengan penuh semangat, para peserta lomba menaiki perahu khusus untuk menuju ke tengah sungai. Dengan aba-aba, “Siap”, salah seorang panitia langsung melepas bebek berpita merah. Peserta langsung melompat sesaat setelah bebek-bebek yang ditandai dengan pita merah dilepas ke sungai.

Dengan penuh antusias, satu per satu peserta berenang mengejar bebek yang telah mereka incar. Setelah mendapatkan bebek, para peserta mendatangi panitia untuk menukarkannya dengan hadiah yang telah dipersiapkan.

Berbagai acara itulah yang memeriahkan upacara persembahyangan Twan Yang atau Pe-Cun, satu perayaan yang setiap tahun dilaksanakan di bantaran Sungai Cisadane, Pasar Lama, Tangerang, Banten. Kali ini, perayaan tersebut digelar pada Senin (2/6).

Oey Tjin Eng (55 tahun), humas perkumpulan keagamaan dan sosial Boen Tek Bio, mengatakan, tujuan dari perayaan tersebut agar masyarakat menghargai lingkungan. “Supaya manusia tidak merusak lingkungan,” katanya saat ditemui Republika pada gelaran festival tersebut.

“Pe-Cun itu artinya mendayung perahu. Pada 300 sebelum Masehi, ada negara-negara Chau. Itu zaman Jian Khek Thai. Awalnya ada 1.733 negara, lalu menyusut jadi 12, kemudian tujuh negara. Perdana Menteri Chau menyatakan bergabung dengan negara lain untuk menghadapi negara Chit,” katanya memaparkan. Pe-Cun itu memperlihatkan pertarungan dengan mendayung perahu.

Tjin Eng mengatakan, perayaan Pe-Cun sendiri di Tangerang diperkirakan mulai dilaksanakan sejak tahun 1910. Hal ini karena di Jakarta, sungai-sungai sudah menjadi dangkal sehingga perayaan Pe-Cun dipindahkan ke Tangerang. “Dengan Sungai Cisadane yang cukup luas maka Tangerang memenuhi syarat untuk melaksanakan perayaan Pe-Cun,” ujarnya.

Pada perayaan Pe-Cun tahun 1911, menurut cerita, pada saat perlombaan perahu papak hijau dan merah, ada getek (rakit) yang melintang di tengah sungai. Sehingga, perahu papak hijau melompat dan persis jatuh di atas getek tersebut. Hal ini mengakibatkan perahu papak hijau patah di tengah.

“Perahu papak hijau yang patah itu kemudian disimpan di tempat Bapak Lim Tiang Tiang di Karawaci dan dijadikan satu dengan benda keramat yang sudah ada,” kata Tjin Eng.

Pada 1912, ia melanjutkan, Perkumpulan Boen Tek Bio membuat perahu papak merah yang baru di bawah pengawasan Lim Hok Tjiang selaku sekretaris Boen Tek Bio. Lalu, pada 1938 ada juga perayaan Pe-Cun yang dirayakan pada 7 - 8 Ho Gwee (bulan lima, tanggal 7-8 Imlek).

Pada perayaan ini, dibuatlah sepasang perahu naga oleh Lim Tiang Hoat di daerah Kedaung Barat. Namun tahun 1942, ketika Jepang datang ke Indonesia, perahu naga itu dibakar. Meski begitu, perayaan tersebut tetap berjalan. Namun, pada 1964 perayaan ini berakhir.

Sekian tahun telah berlalu, kemudian Pemerintah Kota Tangerang mengangkat kembali tradisi Pe-Cun sejak tahun 2000 yang terus berlanjut hingga sekarang. “Pemerintah Kota Tangerang akan terus melestarikan dan mengembangkan budaya yang ada di kota Tangerang karena dengan keragaman budaya yang ada tentunya akan menambah kekayaan budaya,” kata Wakil Wali Kota Tangerang H Sachrudin saat menghadiri Perayaan Peh Cun 2014.

Ia menjelaskan, perayaan Pe-Cun ini merupakan salah satu budaya etnis Tionghoa yang sudah lama melekat di Kota Tangerang dan keberadaanya sudah mengakulturasi dengan masyarakat setempat. Oleh karenanya, tradisi budaya itu harus terus dilestarikan dan dikembangkan dalam meningkatkan dan mendongkrak potensi pariwisata di Kota Tangerang.

Menurutnya, sebagai Kota Akhlakul Karimah, Kota Tangerang terus mengedepankan perbedaan yang diperkaya dengan saling menghormati dan menghargai. Apalagi, ia melanjutkan, masyarakat Kota Tangerang terlahir dari keragaman etnis dan budaya yang berbeda. “Walaupun berbeda etnis dan budaya namun selalu harmonis dan kondusif.”

Ketertarikan atas perayaan Pe-Cun ini juga disampaikan Plt Gubernur Banten Rano Karno. Ia berpendapat, ragam budaya seperti ini perlu dilestarikan. “Saya mengenal tradisi Pe-Cun sejak masih kecil,” katanya. Karena itu, ia berharap perayaan Pe-Cun di Kota Tangerang dapat terus dikembangkan karena budaya ini juga sudah menjadi kekayaan budaya Banten.

Untuk itu, Rano meminta agar Pemkot Tangerang membangun sebuah dermaga di bantaran Kali Cisadane. Dermaga itu, ia mengungkapkan, nantinya dapat digunakan untuk perayaan Pe-Cun setiap tahunnya dan bisa akan menjadi daya tarik tersendiri sebagai kawasan wisata di Kota Tangerang.

rep:c80 ed: dewi mardiani

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement