Setiap harinya, Pasar Tanah Abang menawarkan pemandangan yang tidak jauh beda dengan yang sebelumnya. Kendaraan berjejalan di pintu masuk Blok A dan Blok B. Sesekali, terdengar teriakan para sopir yang meminta jalan kepada kendaraan di depannya.
Puluhan lelaki berkaus biru dan hijau tampak berkerumun di lobi pasar. Pada kaus yang mereka kenakan tertera nomor-nomor sebagai tanda bahwa mereka adalah porter resmi di pasar ini. Keseharian mengangkut beban puluhan bahkan ratusan kilogram menjadikan para porter itu terlatih kuat dengan sendirinya.
Suara lantang Andi yang menawarkan jasa angkut berlomba dengan suara kendaraan yang berlalu lalang. Sudah empat jam ia bekerja hari ini. Ratusan kilogram baju telah sampai ke tangan pemiliknya berkat gerak cekatan Andi.
Setiap hari, ada saja uang yang diterimanya. Pengunjung atau pemilik toko yang menggunakan jasa porter dikenai tarif Rp 5.000 sampai Rp 10 ribu bergantung jumlah barang yang dibawa. Uang yang terkumpul bakal disisihkan sekian rupiah untuk setorah kepada mandornya.
Menjadi porter bukan suatu pilihan. Andai ada kesempatan kerja yang lebih baik, Andi tentu akan beralih profesi. Meski demikian, keadaan ini masih lebih baik ketimbang pekerjaannya yang dulu. Sebelum berada di Tanah Abang, Andi bergelut dengan ratusan ton ikan di Muara Angke, Jakarta Utara.
Dalam sehari, Andi biasanya memperoleh penghasilan sekitar Rp 100 ribu. Uang yang didapatnya harus dipotong Rp 10 ribu per pekan untuk disetor ke mandor. "Sisanya, untuk bayar kos dan biaya hidup," kata dia, beberapa waktu yang lalu.
Untungnya, biaya kos ditanggung secara patungan dengan dua temannya. Sekali dalam seminggu, Andi pulang ke kampungnya di Kronjo, Tangerang. Selain melepas kangen, sebagai seorang kepala keluarga ia harus menafkahi istri dan seorang anak.
Lain lagi kisah Yanto. Porter ini biasa mangkal dari pukul 08.00 WIB sampai 14.00 WIB. Ia tak seperti teman-teman porter lain yang bekerja hingga sore. Penghasilan Yanto di Tanah Abang tak hanya dari mengangkut barang. "Saya juga jadi joki," kata dia.
Joki itu tugasnya mencarikan taksi atau bajaj bagi pengunjung. "Lumayanlah," tambah pria asal Pandeglang, Banten, ini. Segera setelah berhasil mencarikan kendaraan, uang Rp 10 ribu bisa ia dapatkan. Tak heran, dalam sehari Yanto selalu mengumpulkan uang di atas Rp 150 ribu.
Mereka berdua bekerja di bawah pengawasan mandor Ace. Yanto wajib menyetor Rp 3.000 per hari. Keadaan ekonomi Yanto mungkin bisa dibilang lebih baik daripada porter-porter yang lain. Tak setiap hari ia menjadi porter. Yanto sering pulang kampung karena ia masih mengurus sawah dan ladang miliknya.
Berbeda lagi dengan Syuhada. Sepintas, dia seperti para porter lainnya. Dia mengenakan kaus hijau dan sesekali menghampiri pengunjung. Bedanya, dia adalah porter bebas, tidak di bawah mandor. Setiap hari, dia bias mengantongi uang hingga Rp 500 ribu. "Ini baju saya waktu kerja sama mandor. Sekarang nggak lagi," kata dia. Syuhada memutuskan keluar dari sistem dan memilih bekerja sendiri.
Dia mengaku kecewa kepada mandor karena dinilainya berlaku curang. Pertama kali mendaftar pada mandor ia membayar uang Rp 700 ribu. Uang dipakai sebagai syarat untuk memperoleh dua buah kaus seragam. Belakangan, ia tahu bahwa ternyata harusnya ia memperoleh tiga kaus, tetapi sang mandor hanya memberi dua dan menjual satunya ke porter lain seharga Rp 400 ribu.
Awalnya, bekerja di Tanah Abang karena dia tergiur kakaknya. Sebelumnya, dia menjadi kuli pikul beras Bulog di Palembang. Pekerjaan itu dilakukannya sejak selepas sekolah dasar. Hanya satu yang diinginkannya dari dia memeras keringat di Tanah Abang. "Saya ingin memperbaiki rumah saya yang dari bambu," kata dia.
Syuhada adalah pemain lama di Tanah Abang, sehingga banyak mengenal juragan-juragan toko. Dari sanalah ia memperoleh order angkut barang. Hanya, dia harus waspada saat memikul barang di sana. Jika ada porter melanggar aturan untuk naik eskalator, tak segan-segan sekuriti memukulnya. Para porter hanya boleh menggunakan tangga darurat dan lift barang.
Hingga hari ini, ribuan porter masih terus meramaikan Pasar Tanah Abang. Setiap langkah mereka adalah denyut nadi ekonomi pasar ini. Beratnya beban yang harus dipanggul para porter tak menjadikan mereka berhenti bekerja karena dari cucuran keringatnya ada keluarga yang harus mereka nafkahi.rep:c88 ed: dewi mardiani