Panggung bergetar. Entakan kaki kanannya sudah cukup membuat tiang mikrofon bergoyang. Tangan kirinya tetap menggenggam selembar kertas putih kusut. "Di sana pasir di sini pasir, di sana batu di sini batu. Di sana bayang di sini bayang, di sana air di sini air."
Matanya membelalak lebar-lebar. Ujung kerudung putihnya pelan berkibar. Lalu, kepalan tangan kanannya mengendur. Jari-jarinya melebar. Dengan raut muka sendu, dia tengadahkan telapak tangan kanannya ke atas, seolah menghamba. Kertas putih kusut di tangan kirinya bergoyang oleh angin malam yang menyapu halaman Taman Ismail Marzuki (TIM). Dalam satu hitungan dia melompat di tempat. "Yang tak ku tahu: Idandid indekandekid, indekandekudeman idandid, kaukah itu? Yang membasuh kaki yang membasuh bumi."
Dia ucapkan itu sembari setengah berteriak. Laksana cenayang yang merajah mantra, dia mengucapkan, "Idandid indekandekid, indekandekudeman idandid." Dia teriakkan kata itu berulang-ulang. Dengan suara lantang. Namun, lama-kelamaan suaranya memelan. Ritmenya melambat dan terdengar lirih.
Lepas penampilan pertama, seorang pria naik ke atas pentas. Rambutnya sebagian telah beruban. Tampilannya necis, seperti tampilan anak muda. Pelan, dia ambil secarik kertas di saku dada kirinya, sambil sejenak tatapannya menyapu penonton. Mulutnya terlihat membuka, ingin menumpahkan kata-kata. Lalu sebuah geraman lantang membuka sebuah bait puisi.
"Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi. Bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di pucuk-pucuk para. Mengepit kuat-kuat lutut menunggang perampok yang diburu. Surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang," ucapnya.
Lalu, pria itu berhenti sejenak, kepalanya menunduk barang tiga detik, sebelum melanjutkannya. "Segenap warga desa mengepung hutan itu. Dalam satu pusaran pulang balik Atmo Karpo. Mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang. Berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri."
Ini puisi atau dendang lagu? Indah terdengarnya. Dua tiga bait dia lanjutkan, sebelum sampai kepada bait penghabisan. "Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka. Pesta bulan, sorak sorai, anggur darah. Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang. Ia telah membunuh bapanya." Karya Rendra yang bertajuk "Balada Pembunuhan Atmokarpo" ini bukan hanya dibacakan, tapi juga dihidupkan.
Penampilan deklamator puisi di atas adalah dua dari 26 finalis lomba dalam gelaran Festival Hari Puisi Indonesia 2014 yang bertempat di TIM. Berlangsung pada 12-17 Juli, festival ini menginjak gelaran tahun kedua. Puisi di atas berjudul "Dandandid" karya Ibrahim Sattah adalah salah satu pilihan puisi yang dapat dibacakan peserta lomba.
Penyelenggaraan Hari Puisi Indonesia ini, menurut Asrizal Nur selaku ketua penyelenggara, berangkat dari gejolak hati para sastrawan yang ingin memiliki hari di mana puisi betul-betul diapresiasi. "Indonesia kalah dengan Vietnam yang justru sudah memiliki hari puisi sendiri. Banyak pula negara beradab yang memiliki hari puisi. Negara kita, yang justru lahir dari puisi, Sumpah Pemuda, malah belum punya hari puisi. Naskah sumpah pemuda itu puisi, loh," ujar Ahrizal.
Berangkat dari hal itu, lantas dideklarasikanlah Hari Puisi Indonesia dua tahun lalu di Pekanbaru, Riau. Deklarasi itu diinisiasi Rida K Liamsi, Asrizal Nur, Ahmadun Yosi Herfanda, Maman S Mahayana, dan beberapa sastrawan lainnya. Bersama 40 penyair seluruh Indonesia, pada 22 November 2012 dibacakan teks deklarasi oleh Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri, lalu untuk pertama kalinya dirayakan tahun 2013 dengan acara Pekan Hari Puisi Indonesia TIM.
Hari Puisi Indonesia sendiri diperingati setiap tanggal 26 Juli bertepatan dengan hari lahir Chairil Anwar, sastrawan senior Indonesia yang masyhur dengan sajaknya berjudul "Krawang Bekasi".
Tahun ini, Festival Hari Puisi kembali diadakan oleh Yayasan Panggung Melayu (YPM) bekerja sama dengan Indopos, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Yayasan Sagang, dan Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia (KOMPI). Lomba baca puisi dan musikalisasi hanyalah dua dari berbagai rangkaian acara yang diselenggarakan. Selain itu, diadakan juga sayembara buku kumpulan puisi yang diadakan sejak Maret hingga Juni lalu.
Ajang Festival Hari Puisi Indonesia juga diharapkan bisa menjadi ajang silaturahim antarpara sastrawan yang berada di daerah. Salah satu peserta dari Maluku mengungkapkan kepada Republika bahwa dia dan timnya sengaja bergabung dalam ajang ini karena terpanggil untuk melestarikan budaya lokal.
"Saya dorong adik-adik di Maluku untuk aktif dalam kegiatan sastra, khususnya musikalisasi puisi. Alat musik yang digunakan juga merupakan alat musik tradisional Maluku. Jadi, selain apresiasi sastra, kami juga menjaga budaya lokal," ungkap Raymon Lemosol. rep:c85 ed: dewi mardiani