Jumat 25 Jul 2014 14:00 WIB

Jatuh Bangun Kota Tua

Red:

Sabtu sore, Kumala dan kawan-kawannya menunggu waktu berbuka puasa di Plasa Fatahillah, Kota Tua Jakarta. Dia membeli segelas es selendang mayang dan seporsi kerak telor. Waktu masih menunjukkan pukul 17.30 WIB, tapi dua hidangan ini sudah siap di tangan. Mereka terus mengobrol sembari duduk-duduk di teras kantor pos di sayap utara plasa gedung yang dulunya kantor gubernur jenderal Hindia Belanda itu.

Mereka mungkin saja tidak tahu kalau tempat yang mereka gunakan untuk ngabuburit itu dulunya adalah lokasi terpenting di seantero "Hindia Timur". Alun-alun sebuah kota yang menjadi awal mula pemerintahan kolonial di Tanah Air.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Republika/Raisan Al Farisi

Pameran Jakarta Old Town Reborn

Di barat halaman kantor gubernur jenderal, ada gereja tua De Oude Hollandsche Kerk yang kini disulap menjadi Museum Wayang. Di sebelah timur plasa, ada gedung besar bercat putih dengan deretan pilar-pilarnya yang kokoh. Itulah Ordinaris Raad van Jutitie Binnen Het Kasteel Batavia atau Gedung Kehakiman pada zamannya.

Kini, kawasan Plasa Fatahillah hanyalah segelintir dari beberapa titik di kawasan Kota Tua yang bertahan dari gempuran zaman. Kisahnya berawal dari kedatangan Fatahillah pada 1526. Dia dikirim Kesultanan Demak untuk menyerang pelabuhan Sunda Kelapa di kerajaan Hindu Pajajaran dan kemudian dinamai Jayakarta.

Kota ini hanya seluas 15 hektare dan memiliki tata kota pelabuhan tradisional Jawa. Pada 1619 VOC menghancurkan Jayakarta di bawah komando Jan Pieterszoon Coen yang batu nisannya tersimpan di Museum Wayang. Satu tahun kemudian VOC membangun kota baru bernama Batavia untuk menghormati Batavieren, leluhur bangsa Belanda. Kota ini terpusat di sekitar tepi timur Sungai Ciliwung, saat ini Lapangan Fatahillah.

Pada 1635 kota ini meluas hingga tepi barat Sungai Ciliwung di reruntuhan bekas Jayakarta. Kota ini dirancang dengan gaya Belanda Eropa lengkap dengan benteng (Kasteel Batavia), dinding kota, dan kanal. Kota Batavia selesai dibangun pada 1650. Batavia kemudian menjadi kantor pusat VOC di Hindia Timur.

Kanal-kanal diisi karena munculnya wabah tropis di dalam dinding kota karena sanitasi buruk. Kota ini mulai meluas ke selatan setelah epidemi pada 1835 dan 1870 mendorong banyak orang keluar dari kota sempit itu menuju wilayah Weltevreden (sekarang daerah di sekitar Lapangan Merdeka). Batavia kemudian menjadi pusat administratif Hindia Timur Belanda. Pada 1942, selama pendudukan Jepang, Batavia berganti nama menjadi Jakarta dan masih berperan sebagai ibu kota Indonesia sampai sekarang.

Gubernur Jakarta Ali Sadikin pada 1972 mengeluarkan dekrit yang resmi menjadikan Kota Tua sebagai situs warisan. Keputusan gubernur ini ditujukan untuk melindungi sejarah arsitektur kota atau setidaknya bangunan yang masih tersisa di sana.

Meski dekrit gubernur dikeluarkan, Kota Tua tetap terabaikan. Banyak warga yang menyambut hangat dekrit ini, tetapi tidak banyak yang dilakukan untuk melindungi warisan era kolonial Belanda.

Untuk itulah, Erasmus Huis dan bekerja sama dengan yayasan Rumah Asuh mengusulkan strategi revitalisasi Jakarta Kota Tua secara akupunktur. Dalam sambutannya, Yori Atar, kurator dalam pameran arsitektur ini, sempat berujar, "Kami akan menyuntikkan aktivitas-aktivitas baru untuk menghidupkan lagi Kota Tua dan menjadikannya layak untuk ditinggali." rep: c85 ed: dewi mardiani

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement