Bangunan itu didominasi warna merah menyala, dindingnya dipenuhi patung-patung naga, dan wangi hio menyengat dari segala arah. Lilin menyala redup. Laki-laki dan perempuan di sana berbicara pelan, hampir seperti berbisik.
Mereka berbicara dalam bahasa Indonesia, Sunda, dan Cina Hokian yang berasal dari Cina Selatan. Mereka berkumpul di kelenteng tertua di Kota Bogor, Kelenteng Hok Tek Bio. Di kelenteng itulah jejak awal langkah Hokian di Kota Hujan, sekitar empat abad yang lalu.
Tak ada yang tahu pasti kapan kelenteng ini berdiri. Beberapa umat kelenteng berspekulasi kelenteng ini dibuat saat Kerajaan Padjajaran runtuh. Salah satu pengurus kelenteng Ayung Kusuma bercerita, Kerajaan Padjajaran saat itu masih sulit untuk dimasuki oleh komunitas asing. Karena itu, tidak mungkin masyarakat Hokian datang ke Bogor sebelum Kerajaan Padjajaran runtuh.
Berabad-abad lalu, banyak orang dari Cina Selatan yang bermigrasi ke nusantara. "Kebanyakan dari mereka pedagang," kata Ayung, beberapa waktu lalu, di Bogor. Menurut cerita, kelenteng itu dibuat oleh komunitas Hokian yang tengah membangun wadah di Bogor.
Masih menurut cerita, kata Ayung, pada abad keempat Masehi, pendeta-pendeta dari Cina Selatan sudah banyak yang berziarah ke nusantara untuk belajar agama Buddha di Sriwijaya. Pada saat itu, bahasa yang digunakan adalah bahasa Sanskrit dan Pali. Mereka menggunakan jalur darat dari Thailand, Malaysia, Sriwijaya, lalu menuju India.
Lalu, pada abad ke-14, Laksamana Cheng Ho mulai melakukan ekspedisi lewat jalur laut sampai ke nusantara. Hal ini membuat banyak masyarakat Cina pada saat itu mengikuti jejak Cheng Ho. Sejak saat itulah gelombang masyarakat Hokian makin deras bermigrasi ke nusantara.
Menurut Ayung, saat itu masyarakat Hokian lebih banyak bermukim di pelabuhan dan lebih akrab dengan bahasa Melayu. Mereka kemudian masuk ke dalam daratan hingga sampai ke Bogor.
Saat itu, komunitas Hokian masih sangat sedikit. Sebagai pedagang, mereka butuh mitra dan pelanggan. Bagi mereka yang baru tiba, masih kesulitan untuk mendapatkan pembeli. "Terlebih lagi, mereka belum menguasai bahasa Melayu dan Sunda. Selain para pedagang yang telah lama berdagang di nusantara, masyarakat Hokian saat itu belum akrab dengan bahasa Melayu," ujarnya.
Untuk itulah, cerita Ayung lagi, mereka membuat suatu komunitas sendiri, tempat mereka bersosialisasi dan belajar bahasa Melayu dan Sunda. Di kelenteng itulah komunitas tersebut berjalan, bahkan kemudian menjadi ajang sosial untuk menjaga silaturahim.
Ayung mengatakan, ada dua versi masyarakat Hokian bisa sampai ke Bogor. Versi pertama, menurut Ayung, masyarakat Hokian yang datang ke Bogor berawal dari berdagang di Banten. Mereka menelusuri daerah hingga ke Jasinga, lalu Ciawi, dan akhirnya sampai ke Kota Bogor.
Versi kedua, para pedagang Hokian menggunakan jalur air Sungai Ciliwung untuk menuju Bogor. Mereka yang berdagang di Batavia saat itu menggunakan perahu kecil sejenis sampan untuk berdagang di sekitar Kali Ciliwung. Hingga akhirnya, mereka sampai di Pulau Geulis, dekat Jembatan Merah, Bogor.
Berbeda dari versi yang dikemukan oleh Ayung, antropolog Universitas Indonesai (UI) Risma Sugihatarti menjelaskan, masyarakat Hokian yang datang ke Kota Bogor berasal dari Batavia. Warga Hokian didatangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda karena tekun dan terampil untuk membangun kota baru di Batavia.
Namun, makin lama pertumbuhan warga Tionghoa tak dapat dikontrol. Pemerintah Hindia-Belanda akhirnya melakukan pembantaian besar-besaran masyarakat Tionghoa pada 1740. Meski begitu, ada warga yang berhasil lolos dan mereka menyelamatkan diri ke berbagai arah, seperti Tangerang, Bekasi, dan Bogor.
Warga Hokian menyusuri Sungai Ciliwung dan jalur kereta api untuk mencapai Bogor. Menurut Risma, kemungkinan besar masyarakat Hokian yang datang ke Bogor adalah masyarakat Cina Benteng yang dulu bermukim di benteng yang sekarang disebut Museum Fatahilah.
Dari hasil penelitiannya, Risma menemukan masyarakat Cina Benteng saat itu membuat kelompok yang hanya mampu berbahasa Hokian. Saat mereka keluar daerah itu, mereka harus beradaptasi dengan bahasa Melayu. "Pembelajaran bahasa Melayu memang dilakukan di kelenteng. Jadi, Kelenteng Hok Tek Bio juga jadi jejak awal bahasa Melayu-Tionghoa," kata Risma.
Pendapat ini selaras dengan keterangan Ayung. Masyarakat Hokian di Kota Bogor menciptakan lingua franca di antara mereka sendiri, memberi kontribusi ekonomi, dan membangun kemitraan lewat Kelenteng Hok Tek Bio. Kelenteng ini memang tak menyimpan manuskrip sejarahnya. Jemaatnya pun tak banyak yang mengetahui hal itu. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa Kelenteng Hok Tek Bio menjadi saksi bisu perjalanan masyarakat Hokian di Kota Hujan. rep:c74 ed: dewi mardiani