Rabu 20 Aug 2014 12:00 WIB

Tunggu Tanggung Jawab Perusahaan Aki

Red:

Pernahkan Anda membayangkan hidup di daerah yang terkontaminasi zat kimia berbahaya? Tentunya, tak ada seorang pun mau hidup di lingkungan tersebut. Terlebih, zat kimia berbahaya itu bisa berdampak pada gangguan kesehatan. Tak tanggung-tanggung, zat kimia itu bahkan bisa mengakibatkan kecacatan.

Namun, warga yang tinggal di pinggiran Jakarta, seperti Cinangka, Kabupaten Bogor (Jawa Barat), dan daerah Tangerang (Banten) yang dekat dengan Cinangka tak punya alternatif lain dan terpaksa tinggal di daerah yang terdampak zat kimia berbahaya. Mereka hidup di daerah yang sudah tercemar akibat limbah timbal dan zat kimia lainnya yang dihasilkan dari pemrosesan aki bekas.

Sudah bertahun-tahun warga di sana melakukan kegiatan pengolahan ulang limbah aki bekas secara ilegal dan menghasilkan timbal. Akibatnya, timbal yang mencemari lahan dan air di sana semakin menumpuk dan meluas.

Menurut Deputi Bidang Pengelolaan bahan Berbahaya dan Beracun (B3), Limbah B3, dan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup Rasio Ridho Sani, pencemaran timbal di lahan-lahan warga dapat mengakibatkan dampak pada kesehatan. Bagi mereka yang hidup di daerah tercemar, terutama di wilayah yang terparah pencemarannya maka warga tersebut berisiko terkena gangguan kesehatan, bahkan bisa menurunkan IQ, mengganggu sistem saraf, dan menimbulkan kecacatan.

Untuk itulah, pihaknya mendorong perusahaan-perusahaan penghasil aki untuk menarik kembali aki bekas guna mengurangi dampak dari timbal dari aki bekas tersebut. "Kita juga mulai melakukan upaya untuk meyakinkan para perusahaan untuk secara sukarela menarik kembali aki mereka, sehingga aki yang tadinya digunakan untuk dilebur oleh pelebur ilegal, bisa ditarik kembali oleh mereka," kata Rasio di Jakarta, Selasa (19/8).

Dorongan itu disampaikannya usai membuka worskhop yang diselenggarakan United Nations Development Programme (UNDP) di Jakarta. Dalam kesempatan itulah, dia memaparkan bahwa aki bekas seharusnya dilebur perusahaan yang memang mempunyai izin dan kemampuan untuk mengendalikan dampak timbal tersebut.

Untuk itu, pihaknya mendorong program extended producer responsibility atau semacam tanggung jawab perusahaan secara lebih lanjut untuk mengurangi dampak dari aki bekas tersebut. "Kita dorong pada 2014, 2015, kita harapkan 2016 itu mulai voluntary extended procuder responsibility atau voluntary ERP oleh perusahaan-perusahaan penghasil aki," katanya.

Dia mengklaim, pemerintah pusat dan daerah melakukan pengawasan terhadap smelter, baik yang berizin maupun tidak berizin alias ilegal. Tak hanya itu, Kementerian Lingkungan Hidup bersama pemda melakukan pembersihan lokasi-lokasi tercemar timbal. "Sejak tahun kemarin, kami melakukan konservasi lahan-lahan yang terkontaminasi timbal di daerah Cinangka, Kabupaten Bogor, serta di tempat lain," ucapnya.

Pencemaran di daerah Kabupaten Bogor dan Tangerang itu, lanjutnya, memang terparah. Soalnya, di sana pulalah ditemukan smelter ilegal untuk timbal. Saat ini, lanjut dia, timbal masih diidentifikasi terkandung di udara-udara kota besar, seperti Jakarta.

Dalam kesempatan sama, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Ahmad Safrudin menyebutkan, saat ini terdapat 17 perusahaan level manajerial yang sudah diimbau untuk menarik aki tersebut.

Dia mengatakan, aki bekas merupakan barang berharga. "Skema per kilo dihargai Rp 12 ribu, kalau dijadikan timbal batangan Rp 30 ribu," katanya. Ahmad mengatakan, perusahaan akan untung karena jual beli aki bekas dan mendapatkan bahan baku. Tapi, banyak perusahaan yang masih enggan. Kalau aki ditarik ke pabrik atau diserahkan di pelebur legal, harganya akan lebih tinggi lagi.

Karena itu, dia mengajak pihak internasional agar bisa mencapai target perusahaan bisa menarik kembali aki, seperti yang sudah dilakukan di negara-negara lain, bahkan Srilanka. antara ed: dewi mardiani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement