Sembilan puluh persen air di permukaan Jakarta sudah tercemar dari kategori sedang hingga berat. Bahkan, berdasarkan penelitian Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada 2010, air di 13 sungai di Jakarta sudah tidak layak pakai.
Pengamat lingkungan hidup, Nirwono Yoga, menyebut air sungai tidak bisa lagi dimanfaatkan bisa dilihat dari warna dan bau. "Kalau airnya sangat hitam, tidak ada makhluk hidup yang tinggal, bau busuk menyengat, sudah dipastikan air itu tercemar berat," kata dia saat ditemui Republika, Kamis (4/9).
Foto:Republika/ Wihdan
Mahalnya Air Jakarta. Pedagang mengisi jeriken dengan air bersih di kawasan Muara Baru, Jakarta, JJumat (21/3).
Sedangkan, jika airnya berwarna cokelat, tidak berbau busuk menyegat, air itu masih bisa dipakai warga buat mencuci. "Itu masuk dalam kategori pencemaran sedang," ucap Nirwono.
Selain itu, sekitar 80 persen air tanah di Jakarta sudah tercemar bakteri e-coli. Penyebabnya karena jarak pompa air di perumahan dengan septic tank kurang dari 10 meter. "Padahal, jarak idealnya minimal 10-12 meter," imbuh dia.
Kepala Sub Bidang Pengendalian Pemanfaatan Air Tanah Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta Wawan Kurniawan mengklaim, pemerintah sudah berupaya menekan pemakaian air tanah dengan menaikkan tarif pembayaran.
"Tarifnya ada di Pergub 86 2012. Pembayarannya tergantung kelas-kelasnya, antara home industri sampai hotel mewah beda. Yang jelas, tarif air tanah lebih tinggi dari air perpipaan," kata Wawan saat ditemui Republika, Jumat (5/9).
Wawan menyebut penyedotan air tanah yang dilakukan gedung bertingkat tidak boleh lebih dari air perpipaan. Jika ada yang kedapatan menggunakan air tanah melebihi air PDAM, bakal dikenakan biaya tambahan.
"Misalnya, dalam sebulan harus pakai maksimal 100 m3, ternyata dia pakai 125 m3. Yang 25 m3 dikalikan tiga atau empat kali lipat," ujarnya menerangkan.
Selain penurunan muka tanah, berkurangnya volume air tanah juga menjadi penyebab banjir di Jakarta tak kunjung berakhir. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, penurunan muka tanah atau land subsidence menjadi salah satu penyebab banjir di Jakarta semakin parah.
"Banyak faktor yang menyebabkan banjir Jakarta. Salah satunya land subsidence. Tetapi, lebih dominan adalah kondisi sungai yang sempit dan dangkal karena permukiman banyak dibangun di pinggir sungai," kata dia.
Menurutnya, muka tanah karena volume air kian terkuras dirasakan warga Jakarta Utara, seperti di kawasan Muara Karang, Penjaringan, Jakarta Utara. Turunnya muka tanah membuat warga berulang kali memperbaiki lantai. M Corry, satpam yang bekerja di kawasan Pelabuhan Muara Baru, mengatakan, sebuah tanggul selokan di kantor tempatnya bekerja mengalami penurunan sekitar 15 sentimeter selama sebelas tahun terakhir. Bahkan, masyarakat di sekitar Pelabuhan Muara Baru sudah terbiasa menambahkan lantai rumahnya dengan tanah atau semen kalau permukaan tanah turun. "Kalau yang nggak ada duit ya dibiarin," ujarnya. rep:c89 ed: karta raharja ucu