Ini bukan perang.Puluhan jurnalis terlihat mengenakan penutup mulut dan hidung.
Kain penyaring yang mereka kenakan hanya menyisakan sepetak ruang dahi yang mengernyit dan sepasang mata yang memandang serius. Tangan mereka terbungkus sarung tangan berbahan lateks.
Perhatian mereka lurus ke depan, kepada seorang lelaki yang berdiri di tengah para jurnalis yang duduk melingkar. "Ingat terus bagaimana cara yang benar memakai dua alat pelindung diri ini," ujarnya kepada kerumunan di sekelilingnya.
Ini bukan lokasi bencana. Satu per satu para kuli tinta yang terbiasa berhadapan dengan segala rupa kejadian melakukan pertolongan pada korban yang terancam nyawanya. Korban tak bernapas, jantung tak berdetak.
"Ayo langkah apa yang harus kalian lakukan?" ujar lelaki yang sedari tadi berdiri di tengah lingkaran itu.Dia kemudian mencontohkan tindakan yang harus dilakukan bila kita berhadapan dengan korban semacam itu. Tangannya sigap melakukan resusitasi jantung-paru (RJP), sebuah cara untuk memompa jantung. Dada korban ditekan naik-turun, ikut ritme tekanan tumit tangannya. Jurnalis yang tampak penasaran mendesak maju ke depan, melihat lebih dekat proses penyelamatan itu.
Kejadian di atas memang bukanlah perang atau lokasi bencana. Jauh dari kesan seram dua hal itu, puluhan jurnalis bermasker dan bersarung tangan itu sengaja berkumpul di Senayan City, sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta.
Bukan untuk hura-hura, para pemburu berita ini sedang mengikuti pelatihan yang diberikan oleh Palang Merah Indonesia (PMI).
Berbalut tema "Totalitas Tanpa Batas", PMI mengajak para peserta untuk belajar bagaimana memberikan pertolongan pertama kepada korban yang "siapa tahu" mereka temukan di lapangan. Lantas mengapa jurnalis? Mengapa bukan profesi lain yang bisa saja menemui kejadian gawat darurat semacam itu untuk dilatih? Kepala Humas PMI Aulia Arrianni sempat mem bocorkan alasannya kepada Republika.
"Relawan dan jurnalis biasanya ada di lokasi yang sama saat ada bencana, demonstrasi, atau lokasi kecelakaan.
Meski jurnalis punya tugas sendiri, tapi sering kami melihat kawan-kawan jurnalis yang ikut membantu korban. Dari situ kami punya ide, mengapa tidak sekalian kami bekali mereka dengan ilmu medis dasar?" ujar Aulia menjelaskan seusai acara.
Acara ini dibuka dengan pengenalan kepada peserta tentang sejarah awal PMI. Tentang dinamika yang lembaga kemanusiaan ini alami sejak pertama berdiri pada 17 September 1945.Tahun ini PMI genap berusia 69 tahun, setara dengan bangsa ini yang berumur sama.
Banyak kejadian besar yang PMI ikut tangani selama ini, termasuk tsunami Aceh tahun 2004 dan gempa Yogyakarta tahun 2006. "Setiap kejadian besar alias bencana besar, selalu jadi daya tarik bagi wartawan. Namun, sebe narnya peliputan ke daerah bencana bukan asal saja. Butuh ilmu dan kode etik tambahan yang harus dimiliki dan ditaati wartawan," ujar Aulia.
Sesi selanjutnya adalah bagian inti acara, yaitu materi tentang pertolongan pertama. Para jurnalis tampak bersemangat mendengar materi yang tergolong baru bagi mereka. Salah seorang peserta bahkan mengaku sudah lama menunggu gelaran seperti ini. "Jurnalis butuh banget tahu hal seperti ini. Biar kalau di lapangan sudah siap dengan segala kemungkinan," ujar Hazliansyah yang juga bekerja sebagai jurnalis online di salah satu media nasional.
Momen pahit relawan Pelatihan medis untuk para jurnalis hanyalah satu acara dari rangkaian perayaan HUT PMI ini. Dalam gelaran bertajuk "Totalitas Tanpa Batas" ini juga diadakan pameran fotografi karya para pewarta yang sempat meng abadikan momen-momen manis dan pahit yang dijalani PMI selama ini.
Bertempat di lokasi yang sama, Senayan City, pameran foto kemanusiaan ini berlangsung hingga 21 September mendatang. Pameran foto ini bertujuan untuk memberikan gambaran dari waktu ke waktu bagaimana PMI menjalankan kegiatannya dalam bidang kemanusiaan. "Total ada 40 foto yang di pamerkan. Semuanya mewakili usaha para relawan selama ini," ujar Aulia. Rencananya, 40 foto ini dibukukan dan diluncurkan langsung oleh Ketua PMI non-aktif, Jusuf Kalla, pada Kamis (18/9).
Foto-foto yang dipamerkan, lantaran bertemakan kemanusiaan, kontennya bisa dibilang menarik. Pengunjung akan disambut dengan foto jadul yang menunjukkan seorang pasien wanita yang sedang disuntik lengannya untuk diberikan asupan darah. Ada pula foto jadullain yang menggambarkan suasana laboratorium PMI saat para petugas sedang melakukan sterilisasi botol-botol darah.
Di sudut ruang pameran lainnya, terpajang foto yang memperlihatkan sejumlah petugas PMI sedang mengambil sisa-sisa potogan tubuh manusia saat terjadi ledakan bom di sebuah kafe di Jimbaran, Bali. PMI menjadi salah satu tim utama yang berperan dalam proses evakuasi korban di lokasi kejadian.
Di antara puluhan foto yang dipamerkan, ternyata ada dua karya jurnalis foto Republika yang terpilih untuk dipamerkan. Dua foto karya Wihdan Hidayat ini adalah hasil liputannya saat bertugas di Yogyakarta ketika Merapi menunjukkan kegarangannya.
Foto diambil di lereng Merapi, pascaerupsi yang meratakan desa-desa kecil di utara Yogyakarta.Tak hanya di Indonesia, PMI ternyata juga turut memberikan bantuan kepada korban bencana alam di negara lain. Salah satu foto menunjukkan kegiatan para relawan PMI saat mendistribusikan bantuan kepada korban topan Haiyan di Filipina tahun lalu.
Rangkaian acara "Totalitas Tanpa Batas" menjadi momentum bagi PMI untuk unjuk diri di hadapan masyarakat bahwa kegiatan mereka tak semata donor darah. PMI bergerak dalam banyak hal, termasuk memberikan pelatihan tentang pertolongan pertama seperti yang mereka lakukan kepada para jurnalis di Jakarta, pekan ini. Acara ini jadi cerminan bagaimana jurnalis dan relawan PMI merajut keakraban menuju totalitas tanpa batas di lapangan.
rep:c85, ed:dewi mardiani