Indonesia jadi kiblat seniman keramik dunia dalam Jakarta Contemporary Ceramics Biennale #3.
Gadis kecil itu terlihat riang bermain dengan tombol-tombol kuning yang dipasang berderet di dinding. Dari tombol yang wujudnya serupa dengan bel pintu itu, terurai seutas kabel listrik menuju kotak seukuran koper kecil menuju deretan cangkir aneka warna. Di bawahnya ada sejumlah tombol.
"Kriiiiinng, kriiiiingg ...." Cangkir itu berdenting oleh pukulan stik plastik yang terhubung dengan kabel listrik. "Mama, cangkirnya bunyi," ujar seorang gadis kecil yang tertarik dengan 'mainan' barunya. Dia lantas mencoba menekan lagi tombol kuning yang lain. Jadilah kemudian, gadis kecil itu sibuk menekan semua tombol dari satu ujung ke ujung lain.
Di sudut lain ruangan, seorang laki-laki sedang asyik memandangi sebuah patung, oh bukan, setumpuk pecahan keramik yang disusun ulang. Serpihan keramik berbagai ukuran dan bentuk disambung kembali menjadi satu objek. Wujudnya kini abstrak. Laki-laki itu masih saja memandangi instalasi seni itu, berusaha menangkap maknanya dari berbagai sudut.
Karya seni yang tersusun dari pecahan keramik di atas adalah karya seorang seniman Korea, Yee Sook-yung. Dia mengumpulkan fragmen pecahan keramik yang dianggap gagal dari desa-desa pengrajin di seluruh Korea. Fragmen-fragmen ini 'dihidupkan' kembali oleh Sook-yung dengan sepuhan lembar emas 24 karat. Jadilah karya ini: "Translated Vases". Sook-yung meninggalkan kultur keramik tradisional Koreanya dengan meniupkan napas eksperimental pada pecahan keramik itu.
Sedangkan, karya yang menarik bagi gadis kecil tadi adalah karya Bagus Pandega, seorang seniman muda yang mengintegrasikan fungsi gerak dan suara dalam berbagai komponen elektronik, mengategorikan seninya di antara patung kontemporer dan seni instalasi dengan judul "Propitious 13".
Dua karya yang dibahas di atas hanyalah secuil dari total 72 karya yang dipamerkan. Dalam ajang yang bertajuk Jakarta Contemporary Ceramics Biennale #3 ini, pengunjung bisa melihat betapa Indonesia kini menjadi kiblat bagi seniman keramik dunia. Di sana, ditampilkan karya dari 42 seniman Indonesia dan 30 lainnya berasal dari berbagai negara di dunia.
Bertempat di gedung pameran utama Galeri Nasional Indonesia, acara yang dibuka Menteri Pariwasata dan Ekonomi Kreatif Marie Elka Pangestu ini merupakan salah satu program unggulan dari kementeriannya.
Foto:Raisan /Republika
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu saat datang ke pameran Jakarta Contemporary Ceramics Bainnale #3, awal pekan laliu.
Dalam pembukaanya, Marie Elka sempat menekankan pentingnya acara ini bagi perkembangan seni keramik di Indonesia. "Harapannya, akan terjalin pembelajaran dua arah. Seniman mancanegara belajar dari Indonesia dan seniman kita bisa belajar lebih jauh tentang perkembangan seni keramik di luar negeri," ujar Mari Elka Pangestu dalam sambutannya.
Ajang Jakarta Contemporary Biennale (JCCB) ini digagas oleh dua orang kurator yang berlatar pendidikan keramik: Asmudjo J Irianto (dosen di FSRD ITB) dan Rifky Effendy (kurator independen). Sebagai kurator seni rupa kontemporer, keduanya memimpikan adanya pameran besar seni keramik dengan batasan yang lebih cair dan luas.
"Di Asia Tenggara, baru Jakarta yang punya biennale khusus keramik," ujar Kang Mudjo, panggilan akrab Asmudjo, dalam pembukaan pameran. Terselenggaranya pameran ini bermula dari pemikiran keduanya tentang nasib seni kontemporer di Indonesia. Seni rupa kontemporer disebut-sebut sebagai seni rupa yang plural dan membolehkan apa pun sebagai seni.
Sepertinya seni rupa kontemporer membuka peluang bagi para seniman keramik untuk masuk ke dalamnya. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Kemunculan seni keramik sebagai entitas yang terpisah dari seni rupa kontemporer justru menyulitkan upaya seniman keramik untuk menjadi bagian dari praktik seni rupa kontemporer.
"Lagi pula, bagi seniman-seniman keramik yang mengutamakan perkara medium, teknik, dan keterampilan, kredo anything goes tentu saja menjadi paradoks," ujar Rifky Effendy, salah satu kurator. Ajang JCCB ini kemudian menjadi jembatan penghubung antara seniman keramik dunia yang ingin masuk ke dalam dunia seni kontemporer dan diakui sebagai ajang besar keramik dunia.
Tentang tema yang dipilih, "Coefficient of Expansion", menurut sang kurator, Asmudjo, merupakan terminologi teknis dalam proses pembakaran keramik. "Coefficient of Expansion" atau yang dikenal dengan ceramic change sebenarnya adalah istilah untuk titik perubahan kimiawi dari tanah liat menjadi keramik pada suhu pembakaran 573 derajat Celsius.
Namun, pilihan terminologi tersebut sesungguhnya lebih beroperasi sebagai metafora terhadap praksis keramik termutakhir yang kian ekstensif. Ruang lingkup seni keramik tidak bisa begitu saja ditinjau sebagai bagian dari seni rupa kontemporer. "Maka itu, tak mudah untuk menunjuk secara tepat batasan seni keramik. Batasan ini bisa saja dikaitkan dengan seni keramik tradisional, kerajinan kontemporer, seni dekoratif, atau bahkan desain dan seni rupa kontemporer," ujar Asmudjo.
Sebagai pameran seni keramik kontemporer, tidak heran bila karya yang ditampilkan "menantang zaman". Bila kita terbiasa melihat keramik sebagai wujud mangkuk atau gelas, dalam pameran ini kita akan disuguhkan keramik dalam berbagai wujud.
Berkeliling ke seluruh sudut pameran tidak akan cukup dalam satu jam. Semua karya yang dipamerkan akan sayang jika dilewatkan begitu saja. Beberapa bahkan butuh pemahaman yang lebih dalam.
rep:c85 ed: dewi mardiani