Sabtu 27 Sep 2014 14:40 WIB

Menengok Jawa di Seberang Benua

Red: operator

Dalam suatu kisah: "Apabila aku harus men ceritakan tentang kehidupanku maka aku harus memulai dengan cerita tentang orang tuaku. Ayahku bernama Roesdi Bongsoredjo. Namanya menjadi Wongsoredjo saat mendaftarkan diri untuk ke Suriname."

Kisah itu berlanjut, "Ayahku lahir di Kedungan, Jawa. Saat ayah berusia 17 tahun, dia jatuh cinta pada gadis tetangga, Ngadinah. Mereka ingin menikah tapi weton-nya tidak cocok, sehingga ayahku memutuskan meninggalkan desanya dan bekerja di perkebunan tembakau dekat Medan."

Suatu hari, Wongsoredjo didekati teman-temannya. Mereka bilang ada gadis dari Jawa datang menemuinya."Ternyata, itu adalah Ngadinah, ibuku.

Mereka menikah dan dikarunia lima orang putri. Aku adalah anak kedua.Setelah kami pindah ke Suriname, barulah adik kami, laki-laki, lahir."

Toeminem Wongsoredjo, seorang keturunan Jawa, saat itu berusia tujuh tahun ikut ayah dan ibunya pindah ke daratan kecil di Amerika Selatan, sebagai transmigran. Keluarga pekerja di sebuah perkebunan kopi, Ma Retraite, itu hidup pas-pasan, tapi setelah kontrak lima tahunan habis, mereka mendapat lahan pertanian di Kwarasan, desa untuk warga Jawa yang menetap di Suriname. Hidup mereka pun membaik.

Toeminem pun menikah dengan Hendrik Saimin dan dikaruniai putri tunggal, Jettie. Tapi, 10 tahun kemudian Hendrik wafat dan Toeminem menikah lagi dengan Willem Keman yang bekerja di sebuah rumah sakit jiwa.

Jet ti dewasa kemudian menikah dan pindah ke Belanda. Toeminem pun menyusulnya kemudian. Semakin jauh dari tanah kelahirannya, Jawa. Meski begitu, hatinya tak pernah lupa akan betapa indah dan suburnya tanah airnya.

Kisah Toeminem ini tertuang dalam sebuah autobiografi singkat yang dipajang di ruang pameran Erasmus Huis hingga 15 November. Selain Toeminem, beberapa kisah dari para keturunan Jawa-Suriname lain juga turut "meramaikan" pameran yang berjudul "Stille Passanten" yang artinya "pejalan kaki yang terdiam".

Pameran yang mengangkat kisah perpindahan masyarakat Jawa ke Suriname pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 ini menyajikan sejumlah do kumen sejarah berupa teks surat, hasil wawancara, dan foto-foto yang men dokumentasikan proses perpindahan dan kehidupan orang Jawa-Suriname dari dulu hingga kini.

Perpindahan masyarakat Jawa ke Suriname berkaitan langsung dengan adanya penghapusan perbudakan pada 1863 dan masa kontrol negara, sebagian besar budak yang telah dibebaskan meninggalkan perkebunan. Akibatnya, kekosongan itu diisi para pekerja kontrak India-Britania, orang India jajahan Inggris saat itu.

Ketika permasalahan muncul dengan para pekerja di Suriname (mereka menentang kondisi kerja dan upah yang rendah) dan gerakan nasionalis di India untuk memperoleh kemerdekaan menentang gagasan itu akhirnya diputuskan untuk memperoleh tenaga kerja yang murah. Sebagai uji coba, seratus orang Jawa dikirim ke Suriname dan dipekerjakan di Marienburg, perkebunan tebu terbesar di negara itu.

Menurut data yang dihimpun oleh KIT Publishers di Amsterdam, Belanda, para pekerja kontrak asal Jawa itu menandatangani kontrak untuk masa lima tahun. Dengan upah rata-rata sebesar 60 sen bagi lelaki dan 40 sen untuk perempuan. Dengan upah sebesar itu, mereka harus bekerja di lahan yang telah ditentukan.

Setelah masa kontrak berakhir, para imigran berhak mendapatkan tiket kapal untuk pulang kembali ke Tanah Air, tetapi mereka juga boleh untuk tinggal di Suriname dengan mendapatkan uang sebesar 100 gulden dan sebidang lahan pertanian.

"Antara 1890 dan 1916, rata-rata 700 orang Jawa pindah ke Suriname se tiap tahun. Ketika para imigran dari India-Britania berhenti pada 1916, jumlah imigran dari Jawa berlipat ganda," ujar Suni Sudradjat selaku bagian penerangan Erasmus Huis.

Pada 1930 rencana dibuat untuk para imigran dari Jawa. Mereka diberikan sebidang tanah di dalam perkebun an untuk lahan pertanian. Pada saat musim tanam dan panen, mereka harus bekerja di perkebunan. Ini kemudian diikuti dengan rencana WelrerKielstra. Rencana ini dibuat untuk mem buat Suriname terkesan lebih Asia dan dibentuklah desa-desa khusus serupa kehidupan di Jawa. Migrasi besarbesaran itu tertahan saat Perang Dunia II.

Secara keseluruhan, sekitar 30 ribu orang Jawa telah dibawa ke Suriname antara 1890 dan 1930. Sebanyak 7.684 kembali ke Jawa hingga pecahnya Perang Dunia II. Pada 24 September 1947 kapal terakhir berangkat ke Jawa.

Dengan menumpang Kapal Tabian, 769 orang melakukan perjalanan pulang ke Jawa. Para imigran yang pulang kembali tahun-tahun berikutnya harus mem beli tiket kapal sendiri.

Itulah gambaran nasib para imigran Jawa yang pindah ke Suriname. Sebagian merasa betah hingga beranak cucu di sana. Tapi, sebagian memilih untuk pu lang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Kehidupan orang Jawa di Suriname memang penuh dinamika. Semakin ke sini, percampuran budaya tidak mungkin terelakkan. Terlebih, karena Suriname terletak di benua Amerika yang deras dengan serangan budaya Barat. Tapi, orang Jawa-Suriname hingga kini masih berusaha keras un tuk mempertahankan tradisi dan bu daya yang mereka miliki dari nenek mo yang.

Di sudut pameran, juga diperlihatkan beberapa foto kegiatan orang Jawa di Suriname yang masih menjalankan tradisi khas Jawa. Seperti, di salah satu foto yang menunjukkan tradisi metoni bagi kelahiran di Jawa.Atau, tradisi pengajian yang terus dilakukan kaum Muslim Jawa di sana.

Pameran "Stillen Passanten" mencoba mengingatkan kita bahwa nun jauh di seberang benua sana, Indonesia mempunyai kerabat yang sangat akrab.

Puluhan ribu keturunan Jawa kini tinggal dan berbaur dengan etnis lainnya. Jawa-Suriname menjadi bukti betapa tradisi Jawa akan terus bertahan di tanah Amerika.

HIDUP DI SURINAME

Berdasarkan sensus kependudukan terakhir, dari 535 ribu orang yang tinggal di Suriname, kira-kira 75 ribu di antaranya ada lah keturunan Jawa. Setelah periode ke pulangan kembali ke Indonesia berakhir, emansipasi masyarakat Jawa meningkat di sana.

"Semakin banyak masyarakat Jawa menyelesaikan sekolahnya, belajar perdagangan, atau masuk ke universitas," ujar Suni Sudradjat, selaku bagian penerangan Eras mus Huis. Peran mereka dalam politik dinilai sangat penting. Mereka menjadi motor penggerak bagi partai politik untuk menjalankan pemerintahan atau menjadi oposisi. Pada saat yang sama, bahasa dan adat tetap mereka pertahankan.

Walaupun bahasa dan budaya dinilai penting, tekanan budaya barat dan nilainilai budaya dari etnis lain, tak terelakkan.

Kelompok masyarakat yang berbeda di Suriname, saling memengaruhi.

Semakin banyak budaya campuran atau budaya baru bermunculan, tapi ritual yang dianggap penting tetap dipertahankan. Salah satu yahg dianggap penting ada lah bahasa. Bahasa Jawa masih dipertahankan menjadi alat komunikasi seharihari di sana.

Sebagai kelompok terbesar ketiga di Suriname, masyarakat Jawa merupakan faktor penentu di dalam sistem politik Suriname yang masih berdasarkan suku.

"Orang Jawa di sana bisa ditemukan di segala sektor ekonomi dan sudah sepenuhnya terintegrasi dan diterima sebagai warga Suriname," lanjut Suni.

Dalam pameran "Stillen Passanten"juga dipamerkan beberapa foto terkini kondisi bermasyarakat orang Jawa di Suriname yang dengan bebas masih mempertahankan tradisi. Ada satu foto ketika mereka sedang melaksanan ibadah shalat Idul Fitri di alun-alun kota. Foto itu memperlihatkan sebuah harmoni yang terjadi di sebuah daerah, di mana mereka adalah suku pendatang dan minoritas.Ada pula foto seorang Jawa yang berjualan es krim di Kota Paramaribo.

Orang Jawa di sana sudah betul-betul berbaur sehingga tidak ada lagi gesekangesekan sosial yang terjadi antarsuku. rep:c85, ed:dewi mardiani

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement