Berkunjung ke kedai cukur Ko Tang yang terdesak puluhan pedagang makanan di Gang Gloria, Glodok, bukan sekadar untuk mencukur rambut. Ke sana, perhatian kita tak akan lepas dari deretan meja kecil yang menjajakan penganan khas Tionghoa.
Belum lagi sapaan akrab 'Koko' dan 'Cici' yang mengajak mampir ke warung nasi campur milik mereka.
Berkunjung ke kedai cukur itu sama saja menyambangi romantisme pecinan di tengah Ibu Kota Jakarta. Kawasan yang nyaris selalu ramai sepanjang hari ini tak sekadar simbol kejayaan bagi kaum peranakan, namun lebih dari itu, penghidupan bagi banyak orang, tak pandang etnis.
Gang Gloria sendiri hanyalah satu contoh titik di Glodok yang menjadi daya tarik kawasan ini. Lebih luas lagi, kawasan Glodok adalah salah satu sentra perdagangan terpenting di Jakarta. Sejak berabad silam, ketika kekuasaan ambtenaar masih bercokol di nusantara, kawasan Glodok sudah menjadi tujuan utama para saudagar untuk berdagang.
Namun, siapa sangka, bagi sebagian orang, Glodok saat ini sudah jauh berubah. "Glodok sekarang sudah semakin sepi," ujar Roni Liu, salah satu pedagang yang dulu sempat memiliki kios di sudut Jalan Pancoran, Glodok. Baginya, Glodok saat ini tak ubahnya pusat bisnis yang kehilangan "romantismenya".
Roni menuturkan, perubahan Glodok secara signifikan terjadi pada medio 1990-an. Saat itu, perekonomian Indonesia memang sedang terguncang, saudagar Tionghoa di Glodok pun ikut terkena imbasnya. Glodok menjadi sepi. Meski kini bangsa Indonesia sudah kembali bangkit secara ekonomi, goresan luka yang pernah dialami Glodok tetap berbekas. "Entahlah, Glodok saat ini berbeda dengan dulu. Orang tua pasti bisa merasakannya," lanjut Roni.
Kebakaran besar yang melanda pertokoan Gloria pada 2009 semakin menancapkan perubahan yang Glodok alami. Tak terkecuali kedai cukur Ko Tang yang terletak persis di samping pertokoan Goria. "Dulu penjual makanan di sini ramai pembeli sampai malam," kata Ci Tuti, salah satu pegawai di Ko Tang. Namun, sejak kebakaran, akses menuju Ko Tang tak senyaman dulu. "Kalau malam, pada takut lewat sini, sepi," lanjutnya.
Glodok yang berubah, meski bukan ancaman yang serius, hal ini menjadi kekhawatiran para orang tua. Minto yang kini berusia 83 tahun, seorang keturunan Tionghoa yang "tahu" Glodok sejak lama, menitipkan harapannya. "Semoga pemerintahan nanti bisa menyejahterakan semuanya. Tak hanya Glodok, tapi semuanya," katanya. rep:c85 ed: dewi mardiani