"Bung Karno bisa jadi satu-satunya presiden kita yang peduli dengan arsitektur," Sintorini Moerdjoko mengisahkan ketika ayahnya, Ir Moerdjoko, ditunjuk untuk merancang gedung veteran RI yang kini lebih dikenal dengan Balai Sarbini.
Saat itu, berdasarkan penuturan Rini, Moerdjoko terpilih menjadi salah satu arsitek kepercayaan presiden untuk membangun Jakarta. Proyek besar ini sejalan dengan pembangunan berbagai landmark Kota Jakarta, seperti Monumen Nasional, Masjid Istiqlal, Stadion Gelora Bung Karno, dan masih banyak lagi. "Ketika terpilih, bahkan ayah saya baru saja lulus dari ITB," lanjut Rini.
Perbincangan Rini dengan Republika berlangsung di depan sebuah foto cetak besar berukuran 2,5 x 1 meter yang terpasang di dinding. Foto itu menggambarkan suasana ketika Ir Sukarno berdiri di samping seorang pemuda berjas hitam yang ternyata adalah Ir Moerdjoko, meninjau maket rancang bangun kompleks gedung Veteran RI sekaligus bangunan Graha Purna Yudha atau Balai Sarbini.
Foto-foto:Raisan Al Farisi/Republika
Peletakan batu pertama pada 1965 oleh Ir Sukarno dan peresmian pada 1973 oleh Soeharto. Hal yang patut diperbincangkan justru adalah keberadaan bangunan yang terletak di sudut Semanggi ini.
Penampakan saat ini berbeda dengan apa yang ditampilkan oleh sebuah foto dokumentasi yang ikut dipasang di samping foto besar Sukarno dan Moerdjoko. "Sekarang sudah tidak seperti dulu. Rancangan ayah (Moerdjoko) sudah tersamarkan dengan bangunan Plaza Semanggi yang modern," tutur Rini.
Bangunan Balai Sarbini saat ini adalah versi baru dari Graha Purna Yudha yang berdesain kubah bercakram. "Desain awalnya dari gula jawa yang terbalik," kata Ruben Tangido selaku pengurus Ikatan Arsitektur Indonesia. Pada 2004, presiden saat itu, Megawati Soekarnoputri, meresmikan gedung yang juga sekaligus pusat perbelanjaan ini.
Pada awal pembangunan, sempat terjadi penolakan dari sejumlah pihak, terutama dari Pusat Legiun Veteran RI. Namun, toh, pembangunan tetap berjalan dan kini masyarakat lebih mengenal Plaza Semanggi sebagai sentra perbelanjaan dibanding nilai sejarah yang terkandung, yaitu sebagai monumen untuk menghormati jasa para veteran.
"Pada dasarnya, pengubahan bentuk suatu bangunan harus melalui konsultasi dengan arsitek awal," lanjut Ruben. Ada sejumlah gedung monumental lainnya yang kini juga sudah berubah, seperti gedung LIPI, Balai Sidang Jakarta, dan lain-lain. Itu semua, menurutnya, dibangun atas andil para arsitek generasi pertama Indonesia yang juga didukung oleh Bung Karno.
Memorabilia dan dokumentasi terkait karya-karya monumental itu dipamerkan dalam gelaran "Ketika Ruang dan Waktu Berbicara", sebuah pameran karya sepuluh arsitek generasi pertama Indonesia. Pameran yang hanya berlangsung singkat, 27- 30 September 2014, ini adalah rangkaian dari peringatan 55 tahun Ikatan Arsitek Indonesia (IAI).
Bertempat di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, pengunjung pameran diajak berkenalan dengan tokoh-tokoh yang ikut membangun fondasi pendidikan arsitektur di Indonesia. Sepuluh arsitek pelopor ini adalah Liem Bwan Tjie F Silaban, Ir Achmad Noe’man Dipl Ing, Soejoedi Wiryoatmojo Dipl Ing, Han Awal, Ir Zaenudin Kartadiwiria M Arch Dipl Ing, Hoemar Tjokroaminoto M Arch Dipl Ing, Mustafa Pamuntjak Dipl Ing, Bianpoen, dan Ir Moerdjoko.
Bagi Ruben dan tim dari IAI, penyelenggaraan pameran ini sekaligus untuk mengembalikan memori tentang kebersahajaan arsitektur Indonesia. "Momen yang paling membahagiakan adalah saat mewawancarai langsung sang arsitek. Kami banyak mendapatkan pencerahan,' ujarnya sembari berkeliling ruang pameran.
Sepuluh tokoh ini dianggap mewakili sosok yang masih menjaga kesetiaan terhadap suatu profesi, yaitu dunia arsitektur. Bayangkan, dalam usia di atas 80 tahun, mereka masih ada yang mengajar dan juga berpraktik.
Memasuki ruang pameran, pengunjung langsung disambut dengan sebuah meja gambar tua milik F Silaban. Meja gambar ini menjadi kolega terdekat salah satu arsitektur kesayangan Bung Karno ini. "Meja ini diambil langsung dari kediaman beliau di Bogor," ujar Ruben.
Friederich Silaban merupakan arsitek kelahiran Tapanuli, Sumatra Utara, tahun 1912. Karyanya yang paling fenomenal adalah Masjid Istiqlal di Jakarta. Mungkin saja saat itu orang tidak banyak membicarakan F Silaban ketika dia mendesain Gedung Pola yang menempati bekas kediaman Bung Karno.
Namun, nama penganut Kristen Protestan ini langsung menjadi buah bibir ketika dia memenangi sayembara desain Masjid Istiqlal. F Silaban terpilih untuk mendesain masjid yang mampu menampung 200 ribu jamaah ini. "By the Grace of God!" julukan dari Bung Karno atas kemenangannya mengikuti sayembara desain Mesjid Istiqlal.
Pameran arsitektur tergolong langka di Indonesia. Saat ini, pameran lebih sering diisi dengan benda-benda seni yang masuk ke dalam ilmu seni murni. Sedangkan, seni yang lain, termasuk seni arsitektur yang masuk ke dalam bidang teknik, masih jarang diapresiasi dalam bentuk pameran semacam ini.
Meskipun karya yang dipamerkan masih tergolong sedikit, pameran ini menjadi langkah besar untuk mengapresiasi seni arsitektur di Indonesia. Merekalah yang merancang Indonesia kala itu. Sekaligus sebagai pendorong bagi arsitek Indonesia untuk kembali becermin kepada senior mereka yang mengenalkan arsitektur yang tidak melupakan teknik arsitektur dari ciri tradisional Indonesia.
Mengutip kalimat Bianpoen, salah satu arsitek generasi pertama Indonesia, "Mana arsitek kita yang sudah pernah mendesain kampung?" rep:c85 ed: dewi mardiani