JAKARTA -- Pemerintah menurunkan harga solar dari Rp 6.700 menjadi Rp. 5.950 per liter. Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan pun telah mengirimkan surat kepada seluruh kepala daerah untuk segera menurunkan tarif angkutan umum.
Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta Shafruhan Sinungan mengaku sulit untuk merealisasikan penurunan tarif. Apalagi, kalau tarif angkutan umum hanya turun lima persen.
Dia merasa kebijakan itu akan menyulitkan penumpang ketika membayar maupun sopir yang hendak memberikan uang kembalian.
"Sudah ada keterangan dari Pak Jonan untuk turun lima persen, ya kita ikutin. Tapi, ini untuk tarif ekonomi saja karena memang ditentukan pemerintah dan Organda," katanya kepada Republika, Senin (11/1).
Shafruhan membagi angkutan umum dalam kota menjadi dua, yaitu yang menggunakan solar dan Premuim. Bagi angkutan umum pengguna solar, kata dia, memang tarif bisa turun bergantung surat keputusan (SK) gubernur untuk angkutan dalam kota atau SK Kemenhub (antarprovinsi). Menurut dia, berdasarkan kajian Organda tentang penurunan tarif hanya 3,4 persen atau di bawah permintaan Kemenhub.
Dia mencontohkan, tarif Metro Mini dipatok Rp 4.000 sekali naik. Kalau turun lima persen maka tinggal Rp 3.800. Jika kebijakan itu diberlakukan, ia merasa tarif tersebut malah merepotkan penumpang yang ingin membayar karena harus menyediakan uang pas. Sedangkan, jika ada uang kembalian pun, sopir yang repot karena harus menyiapkan uang pecahan kecil.
"Kira-kira masih ada enggak uang recehan? Sulit kan, pembulatannya bisa jadi problem penumpang dan sopir," ujarnya.
Di sisi lain, ia menegaskan, bagi angkutan umum yang menggunakan Premium tidak akan diberlakukan penurunan tarif. Itu lantaran Premium hanya mengalami penurunan sedikit dari Rp 7.400 menjadi Rp 7.050 per liter. Di sisi lain, biaya perawatan dan harga suku cadang kendaraan terus naik. "Kalau angkutan yang pakai Premium, tidak mungkin turun," jelasnya.
Shafruhan juga mengingatkan pemerintah agar tidak mudah untuk mengeluarkan kebijakan penurunan tarif. Dia malah berharap adanya penerapan sistem public service obligation (PSO) bagi angkutan umum dalam kota.
Dia menjelaskan, kalau ada subsidi bagi angkutan orang maupun barang maka bisa menciptakan tarif nasional yang seimbang. Bahkan, jika biaya angkutan barang bisa turun siginifkan maka akan membantu perekonomian masyarakat. Dampaknya, harga barang-barang bisa mengalami penurunan karena biaya pengirimannya ikut turun.
"Ini kebijakan dilematis buat pengusaha angkutan dan masyarakat. Kalau pemerintah mau mengubah harga tarif, ya pakai sistem PSO saja.
Dia mencontohkan. Transjakarta yang sudah menggunakan PSO bisa mempermudah transportasi masyarakat. Dia mengtakan, jika pemerintah mau ikut campur dalam penentuan tarif maka harus dilakukan secara menyeluruh.
Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi (Dishubtrans) DKI Jakarta Andri Yansyah mengatakan, penurunan tarif angkutan umum dalam kota, seperti mikrolet atau Metro Mini masih dimungkinkan. Tetapi, ia merasa realisasi penurunan tarif yang hanya lima persen hanya membuat repot penumpang dan sopir.
Dia melanjutkan, pemerintah tidak bisa sewenang-wenang menurunkan tarif sebesar Rp 1.000 atau Rp 2.000. Sebab, diakuinya, harga suku cadang kendaraan terus naik sebesar 20 sampai 30 persen per tahun. Karena itu, menurut dia, angkutan umum seolah tidak terimbas penurunan harga BBM.
"Kita lakukan penurunan (tarif) pada bus reguler, kecuali bus AC harganya tetap. Angkot juga turun lima persen, tapi kan jadi repot ya, kan susah tuh nyari uang kembaliannya," ujar Andri.
Andri menambahkan, jika pemerintah pusat ingin menurunkan tarif angkutan secara signifikan maka harga BBM perlu diturunkan lagi. Sebab, dengan dengan harga BBM sekarang, perlu ada mekaninsme pengaturan tarif lebih lanjut. Tujuannya, supaya tidak ada beban dalam hal uang kembalian dari pembayaran biaya angkut penumpang.
"Biar tidak sulit cari kembaliannya," jelasnya.
n c33 ed: erik purnama putra