Di tempat-tempat yang sepi, seperti warung rokok, rumah warga, atau di bawah pohon rindang, sejumlah siswa sekolah dasar negeri (SDN) dan orang tua murid harus melakukan transaksi diam-diam layaknya membeli narkoba. Padahal, barang yang mereka inginkan bukanlah barang haram. Hanya beberapa buku lembar kerja siswa (LKS).
Orang tua dan murid SDN di Kota Depok itu seperti 'dipaksa' membeli buku lembar kerja siswa (LKS) oleh pihak sekolah. Orang tua siswa pun lantas mengeluhkan dan mempertanyakan praktik jual beli LKS yang terjadi di sekolah.
Buku LKS yang harus dibeli di tempat khusus yang sudah ditentukan pihak sekolah memang terbilang cukup mahal, yaitu sekitar Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu. Para orang tua murid tidak diberi kebebasan untuk membeli di tempat lain. Buku LKS seperti mata pelajaran bahasa Indonesia, IPS, matematika, pendidikan kewarganegaraan, IPA, dan buku pelajaran lainnya diwajibkan dibeli dengan harga bervariasi dari kelas satu sampai kelas enam.
"Benar kami diarahkan oleh pihak sekolah agar membeli buku di salah satu rumah yang tidak jauh dari gedung sekolah dan itu bukan toko buku," ujar orang tua murid, Ubay (40 tahun), warga Kelurahan Beji, Kecamatan Beji, Kota Depok, kepada sejumlah wartawan, Senin (11/1).
Padahal, kata ubay, hal itu sama saja dengan pemaksaan. Sebab, ketika anaknya hendak memakai buku-buku kakak kelasnya atau membeli ke toko buku lain, pasti ketahuan. "Karena, daftar nama murid sudah ada di tempat penjual buku yang ditunjuk," ucapnya.
Ubay menuturkan, setiap orang tua siswa yang membeli buku LKS harus dicatat nama siswa dan asal sekolahnya. Para orang tua murid curiga dengan pihak sekolah karena tidak boleh membeli buku ke tempat lain. "Selain yang sudah ditunjuk oleh pihak sekolah masing-masing," katanya.
N (30), orang tua murid lainnya, mengeluhkan hal serupa karena anaknya yang bersekolah di SDN 04 Sukmajaya dipaksa membeli buku LKS. Ia tidak mau bila anaknya tidak memiliki buku pegangan di rumah untuk dipelajari. "Tapi, bila sampai sekolah mewajibkan membeli di tempat yang ditunjuk tentu kami tidak mampu," ujarnya.
Hal senada juga disampaikan orang tua murid, D (37), yang anaknya bersekolah di SDN 01 Parung Bingung. Ia terpaksa harus membeli buku LKS di sebuah rumah di gang yang tak jauh dari sekolah.
Merasa terbebani dengan harga LKS yang mencapai ratusan ribu rupiah, Aliansi Masyarakat Depok Bersatu (AMDB) Depok menyerbu Dinas Pendidikan (Disdik) Pemerintah Kota (Pemkot) Depok di gedung Baleka ll, Balai Kota Depok, Senin (11/1). "Banyak orang tua siswa yang merasa terbebani dengan adanya buku LKS yang mencapai harga ratusan ribu lebih. Seharusnya, buku LKS ini diberikan secara gratis dan tidak dijualbelikan," ujar juru bicara AMDB, Torben Rando Oroh.
Lebih lanjut, Rando menjelaskan, seharusnya harga buku LKS ini hanya Rp 3.000 per eksemplar. Namun, oleh pihak sekolah yang tidak bertanggung jawab dijualbelikan dengan harga mencapai ratusan ribu rupiah per eksemplar. "Hal ini jelas membuat para orang tua siswa merasa terbebani," ujarnya.
Rando mengungkapkan, 200 siswa SDN dan 100 siswa SMPN rencananya akan mogok sekolah jika penjualan buku LKS tetap berjalan. "Disdik Pemkot Depok harus segera bertindak dan menghentikan praktik-praktik yang merugikan masa depan dunia pendidikan di Kota Depok," katanya menegaskan.
Komisi D DPRD Kota Depok menyatakan bahwa buku LKS dan buku-buku pelajaran itu seharusnya diberikan gratis oleh Pemkot Depok ke siswa karena setiap tahunnya sudah dibiayai dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) pemerintah pusat. "Nanti akan saya cek, apakah ada guru-guru di sekolah yang mewajibkan membeli buku-buku LKS," ujar Ketua Komisi D DPRD Kota Depok, L Abdullah.
Abdullah sangat terkejut mendengar adanya keharusan kepada siswa-siswa SDN di Depok untuk membeli buku-buku pelajaran dan LKS. "Buku teks wajib yang dibiayai dana BOS harus digratiskan dan jangan sampai memberatkan orang tua murid," katanya menjelaskan.
Komisi D DPRD Kota Depok akan meminta penjelasan dari Disdik Pemkot Depok untuk mengetahui mengapa sampai ada keharusan membeli buku-buku pelajaran dan LKS. Apalagi, sebenarnya ada dana BOS yang bisa meringankan para siswa.
n ed: endro yuwanto