Jumat 19 Aug 2016 18:00 WIB

Buku LKS, Antara Komisi yang Menggiurkan dan Sanksi

Red:

Buku Lembar Kerja Siswa (LKS) seakan masih menjadi momok yang menakutkan bagi para orang tua siswa SDN di Kota Depok. Para orang tua "dipaksa" untuk membeli buku LKS dengan harga terbilang mahal, mencapai Rp 400 ribu per paket untuk enam bulan.

Pembeliannya pun tak lazim. Tidak di toko-toko buku, tapi di warung-warung atau rumah kontrakan yang direkomendasi oleh para guru atau kepala sekolah.

"Saya mau nggak mau harus beli, karena buku LKS menjadi buku pagangan yang harus dimiliki anak saya untuk dapat mengikuti proses belajar sehari-hari,'' ujar Nina, orang tua murid yang anaknya bersekolah di SDN Beji 05, Perumnas Depok Utara, Beji, Depok, Kamis (18/8).

Menurut Nina, sebenarnya banyak orang tua murid yang keberatan membeli buku LKS setiap enam bulan sekali yang terbilang cukup mahal. Tapi apa daya, para orang tua tidak bisa menolak, karena buku LKS dijadikan buku pedoman utama dalam proses belajar mengajar. ''Lucunya, buku LKS tidak boleh di fotocopy, tapi buku LKS yang baru wajib dibeli. Pokoknya setiap tahun materi buku LKS berganti-ganti, dan hanya sekali pakai. Anehnya lagi, pembelian buku LKS dianjurkan oleh guru dan kepala sekolah,'' tuturnya.

Keluhan yang diungkapkan Nina juga dirasakan semua orang tua murid SDN di Kota Depok yang berjumlah total 287 SDN. Jumlah siswa SDN dari kelas 1 sampai kelas 6 di Kota Depok mencapai 128 ribu siswa.

Sekretaris LSM Pemantau Kinerja Aparatur Negara (Penjara) Kota Depok, Riki Satura mengungkapkan, siswa sebanyak 128 ribu orang "dipaksa" membeli buku seharga Rp 400 ribu per paket buku LKS. Hasilnya, 128 ribu dikalikan Rp 400 ribu yakni Rp 51,2 miliar per enam bulan atau Rp 102,4 miliar per tahun. ''Setiap sekolah mendapat komisi 30 persen dari distributor, hasilnya Rp 30,72 miliar per tahun. Komisi masuk ke sekolah yang dibagi-bagikan ke Unit Pengelolaan Teknis (UPT) Dinas Pendidikan (Disdik), kepala sekolah, dan guru-guru serta komite sekolah,'' ucap Riki.

Menurut Riki, kualitas buku LKS sangat jelek, selain itu juga tidak tercantum izin percetakan dan penerbitnya, serta tidak ada izin distribusi, terutama dari Disdik Pemerintah Kota (Pemkot) Depok. "Penggunaan buku LKS itu sudah dilarang oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jadi, penjualan buku LKS itu ilegal. Semestinya, pihak kepolisian dapat mengambil tindakan, karena sudah ada unsur pidananya. Tapi faktanya, aparat kepolisian sepertinya "tutup mata", dan melakukan pembiaran,'' jelasnya.

Diutarakan Riki, pihak sekolah yakni kepala sekolah dan para guru terpaksa berkolusi dengan distributor untuk menambah penghasilan. Alasannya, gaji jadi guru tidak mencukupi. ''Padahal itu bohong besar, saat ini kesejahteraan guru sudah tercukupi kok. Dana untuk pendidikan 20 persen dari APBN. Jadi, gaji guru kecil itu hanya alasan yang dibuat-buat. Intinya karena tergiur dengan hasil cukup besar yang didapat dari komisi penjualan buku LKS,'' katanya menuding.

Seorang Kepala SDN di Kecamatan Cimanggis, Kota Depok, yang meminta identitasnya dirahasiakan mengatakan, buku pelajaran LKS merupakan tambahan bahan pelajaran di sekolah. Pembelian buku LKS, lanjut dia, memang memberatkan orang tua, karena tidak dijual di toko buku dan harganya atas kesepakatan antara sekolah dan distributor. ''Jadi harganya mahal jika dibandingkan dengan toko buku. Menurut saya, buku LKS sebaiknya tidak ada. Biar tim penyusun yang dibentuk Disdik Kota Depok yang membuat kumpulan soal dan buku panduan bagi siswa,'' kata dia.

Adapun Disdik Kota Depok sudah melarang sekolah-sekolah SDN menjual buku LKS. ''Mulai 2016, tidak ada buku LKS bagi siswa SDN dari penerbit atau distributor tertentu," ujar Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kota Depok, Herry Pansila Prabowo.

Herry menegaskan, jika ada SDN yang masih menggunakan LKS yang diterbitkan distributor, maka guru dan kepala sekolah SDN akan ditindak sesuai ketentuan. "Sanksinya ialah pemecatan. Sanksi itu sesuai UU No 20/2003 tentang Pengelolaan Pendidikan dan PP No 17/ 2010 tentang Larangan Penjualan Buku Paket dan LKS di Sekolah,'' ujarnya.

Herry mengaku sudah banyak menerima keluhan dari orang tua siswa soal masih adanya penjualan buku LKS. Padahal, pihaknya sudah menyampaikan larangan menggunakan LKS ke seluruh SDN di Kota Depok. ''Mungkin mereka tertarik dengan tawaran distributor untuk memakai buku tertentu, karena ada tawaran komisi yang cukup besar,'' ungkapnya.

Herry menilai, materi di dalam buku LKS itu terlampau jauh dari program pembelajaran guru dan daya serap siswa. Pengganti buku LKS akan disiasati dengan mengaktifkan program remedial dari Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah. ''Program remedial ini lebih efektif ketimbang buku LkS,'' kata dia.   rep: Rusdy Nurdiansyah, ed: Endro Yuwanto

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement