REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Meski dibesarkan dalam keluarga Budha, sejak kecil, orang tua Ratna Novita, 32 tahun, tidak pernah memaksa atau melarangnya untuk menganut agama tertentu. "Intinya kami sendiri yang mencari agama itu," ungkap Ratna
Ayah dan ibunya membebaskan dalam urusan satu itu. Tak heran, bila menyimak kisahnya, Ratna yang tertarik belajar Islam sempat pula beribadah di Gereja.
Perkenalan serius dengan Islam dimulai ketika duduk di bangku sekolah dasar. Sebenarnya Ratna yang melihat teman-temannya sebagian besar beragama Islam, awalnya ikut-ikutan memilih pelajaran agama Islam. Maklum, saat itu sekolah umum hanya memberikan dua pilihan pelajaran agama, Islam dan Kristen.
Sejak itu, Ratna mulai mempelajari segala hal tentang Islam, mulai kisah para nabi, bacaan Shalat, surat-surat pendek serta sejarah Islam. Lambat laun ketertarikannya dengan Islam sangat besar.
“Lingkungan sekitar yang mayoritas Muslim membuat saya tertarik dengan Islam, maka dari sana lah saya giat mempelajari segala hal mengenai Islam” ujar Ratna
Ratna tak hanya belajar di sekolah. Selepas maghrib bersama teman-temannya di kampung halaman, ia mengikuti pelajaran mengaji Al Qur'an.
Rutinitas itu ia lakoni selama enam tahun. Ratna yang keturunan Tionghoa dan tercatat beragama Budha dalam data kependudukan sipil, mengaku merasa menjadi Muslim meski belum pernah mengikrarkan syahadat.
Tapi ketika SMP, ritual Ratna mulai berganti. Ketika ia tinggal dengan kakaknya yang menganut Katholik, di sekolah ia beralih mempelajari agama tersebut. Tiap minggu ia juga ikut pergi ke gereja bersama sang kakak.
“Saat SMP saya ikut kakak, jadi saya mengikuti agama yang ia anut. Tetapi saat saya menginjakkan kaki ke gereja saya tidak merasakan kenyamanan di sana," ungkapnya.
"Saat itu saya pikir karena baru pertama kali dan masih canggung. Tetapi lama kelamaan rasa itu semakin tak bisa dipungkiri. Saya benar-benar tidak tenang di gereja” tutur anak ke-6 dari 8 bersaudara itu.
Ketidaknyamanan itu membuat Ratna berpikir ulang. Ia menyadari Katholik bukan lah agama yang ia cari selama ini. Islam-lah yang sesungguhnya ia butuhkan. Kesadaran itu mendorong Ratna untuk kembali pada Islam.
Ia pun membulatkan tekad dengan mengucap dua kalimat syahadat di salah satu masjid di kampungnya, Jawa Tengah. “Saat SD mungkin dianggap karena ikut-ikutan teman, tetapi saya merasakan hal yang lebih dari sekedar ikut-ikutan," ujarnya.
Setelah menyandang status sebagai seorang Muslim, Ratna tak hanya menjadikan Islam sebagai agama sesuai catatan sipil di KTP. Ia juga terus belajar menegenai Islam dan mencoba mengaplikasikan semua ajaran agama yang ia peroleh sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari.
Saat menikah, Ratna memutuskan untuk menutup auratnya sesuai dengan perintah agama. Selama pernikahannya Ratna dikaruniai satu orang anak.
Meskipun saat ini ia telah berpisah dengan sang suami, namun, itu tak membuat ke-Islamannya menurun. “Awalnya saya merasa sendiri, karena saya pikir sangat jarang keturunan Cina yang menjadi seorang muslim," tuturnya.
Akhirnya ia mencoba mencari di internet mengenai keberadaan komunitas Muslim Cina dan mendapatkan satu komunitas Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) yang berkantor di Jakarta Timur. "Kini saya mengikuti pengajian di Masjid Lautze, Pasar Baru,” tutur Ratna
“Islam adalah agama yang Damai, banyak hal-hal yang diluar akal manusia” ujar Ratna. ”Saya mengatakan demikian karena saya telah merasakannya," katanya.
Beberapa perilaku keseharian itu menurut Ratna, seperti menyisihkan uang untuk bersedekah setiap hari. Ia merasakan manfaat besar dari bersedekah, yakni pertolongan Allah yang tidak diduga-duga ketika ia tengah mengalami kesulitan.
"Intinya adalah kita harus yakin akan kebesaran Allah, karena setiap prilaku kita Allah akan membalasnya, jika kita menjadi orang baik maka Allah akan senantiasa member kebaikan pada kita” ujarnya.
Ratna kini memiliki keinginan besar untuk beribadah Haji. Ia juga berharap dapat mendirikan sebuah yayasan sosial untuk membantu orang-orang yang tidak mampu terutama dalam bidang pendidikan. “Dikampung saya masih banyak orang-orang kurang mampu, jika saya bisa membantu mereka dalam hal pendidikan, alangkah bahagianya mereka.”