REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Terdakwa dugaan korupsi APBD Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, periode 2000-2007, Syamsul Arifin, disebut-sebut "terbiasa" menyalahi prosedur dalam mencairkan dana APBD.
Mantan Bendahara Daerah Kabupaten Langkat, Buyung Ritonga, dalam kesaksiannya di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin, menyebutkan bahwa tindakan terdakwa mencairkan APBD Langkat tidak sesuai prosedur diketahui, namun tidak disetujui oleh pejabat lain.
Buyung menjelaskan bahwa gubernur nonaktif Sumatra Utara yang berstatus tersangka ini tetap mencairkan kas, meski hanya dirinya dan Buyung yang menandatangani pencairan dimaksud.
Menurut Buyung, prosedur pencairan kas dari APBD minimal harus ada tandatangan lima pejabat, yakni, bupati, wakil bupati, sekda, bendahara daerah, dan kepala bagian keuangan.
Dalam surat dakwaannya jaksa penuntut umum (JPU) menyebutkan bahwa Syamsul telah meminta pemegang kas daerah Buyung Ritonga untuk mencairkan dana APBD tanpa melalui mekanisme yang seharusnya, tanpa ada Surat Perintah Membayar Uang (SPMU) dan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Pencairan APBD yang tidak sesuai dengan prosedur ini diduga "mengalir" ke berbagai pihak tidak hanya kepada keluarga terdakwa, tetapi juga Ketua DPRD Langkat, BPK, BPKP, KNPI, hingga mantan Dandim.
Atas perbuatannya itu, Syamsul didakwa telah memperkaya diri dan atau orang lain, dan melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana. Karena berstatus terdakwa, mantan Bupati Langkat ini sudah dinonaktifkan dengan keluarnya Keppres penonaktifan pada tanggal 22 Maret lalu.