Selasa 05 Apr 2011 15:02 WIB
Rep: Agung Sasongko/ Red: Sadly Rachman
REPUBLIKA.CO.ID, TANGSEL—Jika saja teguran itu tidak datang. Mungkin, masa depan pembinaan mualaf bisa jadi terus saja mengambang. Selama ini, sebagian umat Islam yang berada di Jakarta, atau mungkin seluruh Indonesia sangat terbatas mengetahui lokasi pembinaan mualaf terpadu. Kebanyakan Umat Islam mungkin lebih mengenal Masjid Istiqlal atau Masjid Agung Sunda Kelapa yang memiliki program pembinaan mualaf. Namun, saat ditanya apakah umat Islam tahu ada pesantren yang khusus membina para mualaf. Bisa jadi, jawaban miris akan terdengar ditelinga. Itulah fakta yang terjadi.
Berangkat dari fakta miris itulah, Pesantren Pembinaan Muallaf Annaba’ Center dirikan 4 tahun lalu. Pesantren yang beralamat di Jalan Cenderawasih IV/1, RT 02/RW 03 Sawah Baru, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten lahir dari kondisi geliat dakwah yang kurang dibarengi dengan pembenahan menyeluruh kelompok umat Islam. Muallaf yang seharusnya dirangkul dan diperhatikan justru terabaikan. Padahal, Islam saat memupuk fondasi kejayaannya tidak terlepas dari jasa-jasa para sahabat Nabi Muhammad SAW yang merupakan mualaf.
Pengasuh Pesantren Pembinaan Muallaf Annaba’ Center, Syamsul Arifin Nababan kepada republika.co.id, Rabu lalu mengaku terenyuh dengan perkembangan pembinaan mualaf di tanah air. Ustad Nababan, demikian sapaan akrabnya, tidak pernah membayangkan dakwah yang dilakukannya ternyata tidak ditopang dengan sistem pembinaan terpadu yang akan membimbing para mualaf menuju pengenalan dan pendalaman kepada Islam yang kaffah.
Ustad yang juga dari golongan mualaf ini, merasa tersambar petir di siang bolong saat mendengarkan rintihan seorang Muslim yang dibimbingnya terlantar tidak keruan di jalanan ibukota. Mualaf yang dia bimbing itu terusir dari keluarganya, dipecat dari pekerjaan dan tidak memiliki apapun kecuali keyakinannya bahwa Islam adalah petunjuk hidupnya. Saat itulah, ustad Nababan seolah ditegur. Teguran keras itu begitu mengena dalam sanubari Ustad Nababan. Namun, itu tak bertahan lama. Teguran itu segera membangkitkan dirinya untuk berbuat sesuatu. Bertindak seperti yang wajibnya dilakukan umat Islam yakni merangkul dan memperhatikan mualaf.
Mimpi telah menjadi kenyataan. Keinginan spontan yang berasal dari teguran telah membuahkan hasil. Pesantren Pembinaan Mualaf Annaba’ Center telah berdiri gagah. Bangunan bercatkan warna berkarakter menyejukan berikut dengan halaman yang asri dan bersih berpadu padan menghiasi pesantren ini. Tampak terlihat para santri yang tengah bersosialisasi satu dengan lainnya kian membuat hidup pesantren. Memang tidak seperti kebanyakan pesantren lain, pesantren ini berisikan santri-santri yang tengah mengenal Islam, berusaha mendalami Islam dan selanjutnya meneruskan geliat dakwah Islam.
Ustad Nababan mengatakan persoalan mualaf sangat bervariasi. Yang pasti, menurut pengalaman dirinya, seorang mualaf sudah dipastikan mengalami penolakan oleh keluarganya. Setelah keluarga, si muallaf akan dicabut haknya untuk bekerja. Hal yang paling parah, si mualaf kemudian harus meninggalkan rumah tempat selama ini menyaksikan pertumbuhan berikut pengenalannya terhadap Islam. Beruntung bagi mualaf yang memiliki kemampuan ekonomi, namun naas ketika muallaf tidaklah memiliki kelapangan rezeki. Meski demikian, menurut dia, tidak bisa dipastikan seberapa banyak mualaf yang tidak memiliki kemampuan ekonomi yang mencukupi. Namun, yang jelas, kata dia, para mualaf butuh perhatian dan pembinaan.
Hingga saat ini, terdapat 25 santri yang tengah menuntut ilmu di Pesantren Pembinaan Muallaf Annaba’ Center. Kalau dihitung dari awal berdirinya bisa mencapai 50an orang. Setiap santri berasal dari berbagai wilayah di Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa hingga Papua. Bahkan sejumlah santri juga berasal dari Timor Leste. Keragaman ini sengaja dipupuk dan dibina untuk menghindari kesan ekslusifitas terhadap suku, rasa atau etnis tertentu.
Serupa dengan lembaga pembinaan mualaf yang sudah lebih dahulu ada, banyak tantangan yang harus dihadapi dalam upaya menegakan pembinaan mualaf. Tantangan itu selama ini seolah hanya menjadi beban lembaga pembina. Padahal, boleh dikatakan, umat Islamlah yang harus menanggungnya secara bersama-sama. Ustad Nababan menyadari minimnya perhatian umat Islam terhadap pembinaan muallaf dapat mengancam masa depan lembaga-lembaga pembina. Seberapapun produktifitas lembaga pembina, perhatian tetap dibutuhkan. Bukan untuk apa, melainkan pengembangan lebih lanjut guna mendapatkan kualitas sumber daya muallaf yang diharapkan menjadi garda terdepan bukan seadanya.