REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO - Jepang, hari ini (12/4) menaikkan tingkat darurat nuklirnya setara dengan bencana nuklir terburuk dunia, Chernobyl. Peningkatan itu dilakukan setelah data terbaru menunjukkan lebih banyak radiasi yang bocor dari pembangkit yang rusak akibat gempa.
Pejabat Jepang mengatakan mereka membutuhkan waktu untuk mengukur radiasi dari pembangkit setelah dihantam gempa dahsyat dan tsunami pada 11 Maret lalu. Namun mereka menyatakan peningkatan skala ke tingkat keparahan radiasi ke tingkat tertinggi skala internasional tidak berarti situasi juga berubah menjadi kritis.
"Situasi di pembangkit Fukushima Daichi secara perlahan mulai stabil, tahap demi taham dan emisi materi radioaktif cenderung mengalami penurunan," ujar Perdana Menteri Jepang, Naoto Kan, dalam konferensi pers Selasa.
Ia mengatakan ingin mengalihkan respon daruruat menjadi pemulihan dan pembangunan lagi dalam jangka panjang. "Satu bulan telah berlalu, Kita perlu mengambil langkah untuk memulihkan dan merekonstruksi," ujarnya.
Kan juga menyerukan partai oposisi, yang membantu meloloskan RUU di parlemen dua kamar, untuk ambil bagian dalam rencana pembangunan ulang mulai tahap awal.
Hingga kini, operator dari fasilitas pembangkit itu masih jauh dari memperlihatkan tanda mampu memulihkan sistem pendingin dalam reaktor, yang krusian menurunkan suhu batang nuklir yang kelewat panas. Menteri Ilmu Pengetahuan Jepang mengatakan sejumlah kecil strontium, salah satu elemen radioaktif paling berbahaya dan memiliki usia meluruh terlama, telah ditemukan di tanah dekat Fukushima Daichi.
Deputi Direktur Jendral dari Badan Keamanan Industri dan Nuklir (NISA), Hidehiko Nishiyama, mengatakan keputusan untuk meningkatkan keparahan insiden dari level 5 ke level 7--level serupa dalam bencana Chernobyl di Ukrania pada 1986--didasarkan pada jumlah kumulatif radiasi yang dilepaskan.
Meski demikian tidak ada kematian terkait radiasi yang dilaporkan sejak gempa mengguncang. Sejauh ini pun, hanya 21 pekerja tambang yang terpengaruh oleh sakit skala minor akibat radiasi, demikian menurut Sekretaris Kabinet, Yukio Edano.
"Meski level telah dinaikkan ke angka 7 hari ini, tidak berarti situasi hari ini lebih buruh ketimbang kemarin. Ini hanya berarti insiden secara keseluruhan lebih buruk ketimbang yang diperkirakan sebelumnya," ujar pakar nuklir, John Price, mantng anggota Unit Kebijakan Keselamatan di Korporasi Nuklir Nasional Inggris.
Level 7 berarti insiden tersebut telah menyebabkan pelepasan dan penyebaran radiasi yang berpengaruh pada kesehatan dan lingkungan, sementara level 5 masih dibatasi pada pelepasan material radioaktif dengan beberapa kematian, demikian menurut Badan Atom dan Energi Dunia (IAEA).
Toh, sejumlah pengamat memandang skala terbaru itu hanya melebih-lebihkan krisis yang terjadi. "Tak sedikitpun dekat dengan level tersebut. Chernobyl dulu jauh lebih mengerikan, ia meledak, tak ada pengurungan atau media penahan, dan mereka terjebak," tutur spesialis industri nuklir sekaligus profesor asosiasi di San Diego Univeristy, California, Murray Jennex.
"Sedangkan dalam kasus ini penahan masih tetap ada, yang terjadi adalah tidak ada kolam yang cukup dingin untuk mengatasi kebakaran," ujarnya.
Perlu diketahui bencana di Chernobyl saat itu meledakkan atap reaktor hingga berkeping-keping dan mengirimkan sejumlah besar materi radioaktif di penjuru Eropa. Insiden mengerikan itu mengontaminasi area dalam luasan besar dan memaksa lebih dari 100 ribuan orang untuk mengungsi.
Sementara pakar patologi kimia dari Universitas Hong Kong, Lam Ching-wan, sekaligus anggota Dewan Toksikologi Amerika, mengatakan level radiasi Jepang sudah masuk tahap berbahaya. "Itu berarti ada kerusakan dalam tanah, ekosistem, air, makanan dan orang-orang. Warga menerima radiasi ini. Anda tahu, anda tak bisa menghindarinya hanya dengan menutup pintu dan jendela."