REPUBLIKA.CO.ID, DOHA - Qatar diam-diam memasok senjata antitank kepada pemberontak Libya sebagai bagian dari strategi menggulingkan rezim Qaddafi. Praktek itu akhirnya terungkap.
Pejabat di Doha mengonfirmasi bahwa militer di negara Teluk itu telah mengapalkan rudal Milan buatan Prancis ke benteng pertahanan pemeberontak di Benghazi.
Perdana menteri sekaligus menteri luar negeri Qater, Sheikh Hamad bin Jassem, dengan jelas menyatakan, Rabu (13/4) bahwa resolusi PBB dalam kasus Libya mengizinkan pasokan 'senjata pertahanan' agar pasukan oposisi mampu menghadapi persenjataan Libya
Pejabat pemerintah Qatar bungkam sepenuhnya tentang pengiriman senjata tersebut, yang disebut-sebut diorganisir oleh kepala gabungan staf dan mungkin disebrangkan lewat laut.
"Kami perlu mengirimkan peralatan kepada rakyat Libya sehingga mereka dapat membela diri dan meneruskan hidup mereka," ujar sumber seorang pejabat utama. "Mereka adalah rakyat sipil yang menjadi pejuang karena situasi," ujarnya.
Mengapa senjata antitank? Mustafa Alani, dari Institut Kajian Keamanan Teluk, mengatakan peluncur roket yang diletakkan dipundak sangat signifikan sebagai senjata tambahan pemberontak. Pasalnya pesawat udara NATO tidak bisa menarget senjata Libya yang berada di area perkotaan tanpa risiko membunuh rakyat sipil.
Helikopter, ujarnya, memang mampu melakukan itu. Namun ada keengganan dari negara asing untuk memberikan helikopter tempur mereka kepada pemberontak atau sekedar menugaskan beberapa ke area pertempuran.
"Roket-roket ini hanya membutuhkan latihan minim. Cukup membidik lalu menembak," ujar Alani. "Mereka sangat efektif terutama melawan tank generasi tua dari Sovyet, T27." imbuhnya. Para wartawan juga melaporkan pekan lalu telah melihat para pemberontak bersenjatakan roket antitank Milan untuk pertama kali.
Menteri luar negeri Inggris, William Hague dan koleganya dari 21 negara mendukung posisi Qatar. Hague pun bersikeras Inggris juga akan mengirim senjata namun bukan jenis mematikan.
Pandangan Prancis setali tiga uang. Kedua negara itu menyatakan mempersenjatai pemberontak adalah legal.
Pemerintah Qaddafi telah berulang kali menyatakan protes sikap Qatar yang memasok senjata ke pemberontak. Deputi Menteri luar negeri Libya, Khaled Kayim, mengklaim bahwa sekitar 20 orang spesialis senjata dari Qatar telah berada di Benghazi.
Pengiriman senjata memang sejalan dengan seluruh kebijakan Qatar. Sang emir, Sheikh Hamad bin Khalifa Al Thani, adalah satu-satunya pemimpin Arab yang mengakui dewan nasional interim di Benghazi.
Qatar bersama Uni Emirab Arab hanyalah dua dari negara-negara Arab yang berpartisipasi dalam operasi militer yang dipimpin NATO. Meski demikian, semua negara Arab mendukung pemberlakukan zona larangan terbang di wilayah udara Libya.