Jumat 15 Apr 2011 14:46 WIB

DPR Tegaskan Tolak Kewenangan Penangkapan dan Penahanan Intelijen

Rep: Esthi Maharani/ Red: Djibril Muhammad
Hidayat Nur Wahid
Hidayat Nur Wahid

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi I yang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen menegaskan DPR tak pernah mengusulkan atau membuat RUU yang memberikan kewenangan bagi intelijen untuk melakukan penangkapan apalagi penahanan 7x24 jam. Sejak dari awal, draf DPR dianggap sudah sangat jelas, tidak pernah memasukan pasal itu.

"Ketika pasal itu muncul dari RUU yang diajukan pemerintah, ada pasal memberikan hak bagi intelijen untuk memberikan penangkapan dan penahanan," kata anggota Komisi I DPR, Hidayat Nurwahid pada Kamis, (14/4).

Ia mengklarifikasi isu RUU ini telah disetujui DPR untuk dipakai memberangus para aktivis kebebasan melanggar HAM. Isu lainnya, ada hak intelijen untuk melakukan penangkapan dan penahanan 7x24 jam. "Saya katakan itu informasi yang salah," katanya.

Hanya saja, usulan dari pemerintah itu, ditegaskannya sudah ditolak DPR. Penolakannya dilakukan secara terbuka saat rapat dengar pendapat dilakukan dengan seluruh mantan kepala Badan Intelijen Nasional (BIN). "Kami tegas mengatakan pasal itu tidak kami setujui dan harus dikembalikan kepada ketentuan KUHP yakni penangkapan itu ada pada domain kepolisian dan bukan domain intelijen," katanya.

Oleh karena itu, pasal tersebut harus didudukan dengan benar. Ia juga menegaskan RUU intelegen ini tidak akan bertentangan dengan HAM, KUHP, dan sebagainya. Ia mengatakan komisi I sepakat dengan para pegiat HAM agar RUU itu tidak dalam rangka untuk menghadirkan negara intel, tidak dalam rangka menghadirkan terror di tengah masyarakat dengan hadirnya para intel.

"Tapi justru dalam rangka untuk memberikan koridor agar intelegen kita dapat bekerja sesuai aturan hukum dan tidak justru dalam rangka untuk melanggar hukum," katanya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement