Senin 18 Apr 2011 13:01 WIB

Membina Mualaf, Perlu Pahami Psikologis & Berkorban Waktu

Rep: Agung Sasongko/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Usai mengucapkan Syahadat, seorang mualaf masih harus mempelajari banyak hal dalam Islam untuk menguatkan keimanan. Bermacam aliran dalam Islam sering kali membuat mualaf kebingungan menentukan arah.
Foto: GALERI PAMPITA
Usai mengucapkan Syahadat, seorang mualaf masih harus mempelajari banyak hal dalam Islam untuk menguatkan keimanan. Bermacam aliran dalam Islam sering kali membuat mualaf kebingungan menentukan arah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pembinaan mualaf yang kurang optimal ditenggarai akibat perhatian umat Islam yang kurang, selain itu juga disebabkan minimnya inovasi atau pembaruan teknik dalam berdakwah dikalangan pembina.“Kalau kita lihat., sangat sedikit masjid dan ormas Islam yang peduli dengan para mualaf terutama dalam aspek pembinaannya," Papar pendiri Pesantren Pembinaan Muallaf Annaba Center, Syamsul Arifin Nababan, kepada Republika.co.id, pekan lalu

Minimnya inovasi itu juga tidak terlepas dari kurangnya sumber daya manusia yang mumpuni untuk membangun fondasi keimanan yang dibutuhkan para mualaf. Karena itu, lanjut Syamsul sudah menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk terus menyisihkan waktu dan pikiran untuk membuat semacam gebrakan dalam pembinaan mualaf di tanah air. "Pada dasarnya, masjid ataupun ormas Islam tidak tahu teknik-teknik cara pembinaan mualaf,”

Menurut dia, pembinaan  mualaf  yang selama ini berjalan kurang greget lantaran secara psikologis dibina oleh sosok yang bukan mualaf. "Maksudnya, pembinaan yang berlangsung tidak mengena pada persoalan psikologis yang dialami para mualaf lantaran pembina tidak pernah merasakan nasib yang sama. “Saya kira, yang tepat membina mualaf adalah orang-orang yang dahulunya mualaf. Karena merasa senasib, tahu psikologis para mualaf,” kata dia,.

Jadi, menurut Nababan, bukan masalah bila pembina datang dari para dai yang lahir sebagai Muslim."Tidak masalah mereka dibina oleh siapapun. Namun rasanya kurang pas saja," kata dia. Pasalnya secara kejiwaan mereka, imbuh Syamsul, pembina jadi tidak bisa menyentuh apa yang dirasakan para mualaf. 

Namun, kata Nababan,ketika pembinaan mualaf dijalankan oleh golongan mualaf maka pembinaan akan terbentur pada masalah keterbatasan sumber daya manusia. Pasalnya tak banyak mualaf yang telah paham seluk beluk Islam terutama dasar-dasar Islam.

Tidak sedikit pula para mualaf yang memutuskan masuk Islam tidak mengislamkan diri secara kaffah atau menyeluruh. “ Karena itu, saat saya membina para mualaf, maka yang saya lakukan adalah mengajak mereka menggugurkan sisa-sisa kepercayaan mualaf terdahulu. Kemudian meminta mereka menanggalkan secara total, lalu menerima Islam secara penuh,” kata dia,

Persoalan lain menurut Nababan yang tak kalah mendesak adalah pola pembinaan. Dia menilai, pembinaan mualaf yang berjalan umumnya berlangsung secara insidentil, parsial dan musiman. Padahal pola seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah.

Pada intinya, kata dia, mempelajari Islam membutuhkan waktu dan proses yang cukup panjang untuk mencetak fondasi awal yang kuat dan kokoh. Jadi, ketika pembinaan diberlakukan tidak berkesinambungan maka optimalisasi hasil pembinaan tidak akan tercapai.

Guna mewujudkan pola pembinaan mualaf yang optimal, Nababan menyatakan butuh pengorbanan banyak hal seperti materi, waktu, dan pikiran. Disamping itu, sangat diperlukan keseriusan, kesungguhan, konsentrasi dan kesabaran antara pembina dan yang dibina agar mencapai hasil yang diharapkan. “ Jadi, bagaimana mungkin bisa total bila tidak ada pengorbanan. Kalau hanya selama seminggu sekali tidak akan berhasil,” tegasnya

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement