REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Wakil DPR RI, Priyo Budi Santoso, menilai pernyataan Duta Besar Indonesia untuk Swiss, Djoko Susilo, yang menyebut 90 persen kunjungan anggota DPR ke luar negeri tidak bermanfaat, sebagai sesuatu yang tidak pantas. Kepada wartawan di Jakarta, Ahad (24/4), Priyo menegaskan bahwa pernyataan Djoko Susilo itu merupakan pernyataan yang tidak pantas disampaikan oleh seorang duta besar.
Dia justru balik mempertanyakan peran Djoko sebagai duta besar apakah sudah bermanfaat atau tidak buat bangsa Indonesia. Sebelumnya, Dubes RI untuk Swiss, Djoko Susilo, menyatakan bahwa 90 persen kunjungan kerja DPR ke luar negeri tidak bermanfaat dan anggota yang melakukan kunjungan lebih banyak menggunakan waktunya untuk pelesiran.
Priyo Budi Santoso menilai, pernyataan Djoko Susilo itu sudah kelewatan. Pernyataan itu, katanya, justru kini membuat DPR terbuka matanya mengenai peran dan keberadaan kedutaan besar Indonesia di luar negeri. Menurut dia, selama ini banyak kedutaan besar Indonesia di luar negeri yang tidak "berbunyi" sehingga harus dikaji ulang apakah manfaat keberadaan kedutaan Indonesia di luar negeri sebanding dengan anggaran negara yang harus dikeluarkan untuk itu.
"Saya banyak mendapatkan telepon dari anggota-anggota DPR yang bahkan meminta untuk menutup kedutaan-kedutaan besar kita di luar negeri yang selama ini tidak berbunyi dan menarik seluruh duta besarnya. Namun saya kira tidak perlu se-ekstrim itu, kita hanya perlu mengkaji mengenai anggaran yang dikeluarkan untuk kedutaan besar. Jika memang tidak banyak manfaatnya maka konsekuensinya anggarannya cukup kita potong saja," ujar Priyo.
Pemangkasan anggaran, menurut Priyo, menjadi penting karena selama ini diplomasi luar negeri Indonesia tidak cukup membanggakan. Diplomasi dan politik luar negeri Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Karena itu, evaluasi total seluruh anggaran kedutaan besar adalah hal yang tidak bisa dihindari.
Ditanyakan apakah kedutaan besar Indonesia di Swiss merupakan salah satu kedutaan besar yang anggarannya akan dipotong, Priyo menjelaskan secara diplomatis bahwa selama ini duta besar Indonesia di Swiss adalah salah satu yang tidak 'berbunyi'. "Djoko Susilo, saya kira adalah salah satu dubes yang tidak pernah ada bunyinya di Eropa," katanya.
Priyo membaca dan mendengar seorang duta besar berbicara mengkritik DPR sangat terkejut. Menurutnya seorang duta besar sangat tidak pantas mengkritik DPR. "Ada apa ini, duta besar kok 'ngerasani' kita. Kalau yang mengkritik itu masyarakat atau LSM, bisa kami terima dan dengarkan. Nah ini yang mengkritik adalah seorang dubes yang notabene kita yang biayai dan apalagi dia tidak punya prestasi, jadi agak aneh buat saya," katanya.
Pemangkasan pembiayaan kedutaan besar ini, kata Priyo, juga agar menjadi pembelajaran untuk tidak menempatkan duta besar karena penjatahan saja, namun benar-benar karena prestasi. "Selama ini memang menurut saya kedutaan besar yang berprestasi itu jika dipimpin oleh diplomat karir dan bukan oleh seorang yang hanya mendapatkan posisi itu karena jatah-jatahan saja," katanya.
Mengenai klaim Djoko bahwa pernyataannya itu diamini oleh duta besar-duta besar Indonesia lainnya seperti duta besar Belanda, Jerman, Belgia dan Perancis, Priyo mengatakan akan mengecek hal itu kepada duta besar-duta besar yang disebutkan itu. Jika memang nanti terbukti bahwa duta besar-duta besar itu mengatakan hal seperti yang dikatakan Djoko, DPR juga akan mengkaji seluruh duta besar tersebut.
Priyo juga menyindir bahwa pernyataan Djoko itu bisa jadi adalah pernyataan yang dibuat berdasarkan pengalaman pribadinya ketika menjadi anggota Komisi I DPR RI periode lalu. DPR saat ini justru sedang mencoba untuk lebih efisien. "Saya akan mendorong untuk memangkas anggaran kunjungan kerja ke luar negeri sampai 40 persen," katanya.