REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Jumlah masjid yang tersebar di Indonesia mencapai ratusan ribu. Disatu sisi, jumlah yang demikian besar ternyata tidak mampu memberikan manfaat maksimal, utamanya dalam pembinaan mualaf.
Fakta di lapangan berbicara, hanya segelintir masjid saja yang selanjutnya menjadi rujukan para mualaf atau calon mualaf untuk mencari informasi atau mendalami Islam. Kondisi itu tentu menjadi masalah. Sebab, para mualaf ataupun calon mualaf rentan terhadap ekploitasi pihak yang tidak bertanggung jawab.
Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesi (DMI), Natsir Zubaidi menuturkan fungsi masjid umumnya ada dua yakni tempat untuk mendalami ilmu agama dan menyalurkan santunan kepada mualaf. Melihat dari kedua fungsi tersebut, sudah dipastikan masjid memiliki fungsi strategis dalam pembinaan para mualaf.
Namun,kata dia, tidak semua masjid secara optimal mampu menjalankan kedua fungsi tersebut. “Ada masjid yang potensial dan adapula masjid yang pas-pasan,” kata dia kepada Republika.co.id, Selasa (3/5) saat dihubungi via sambungan telepon.
Zubaidi mengatakan minimnya optimalisasi potensi masjid sebagai pusat pembinaan mualaf tidak terlepas dari ketiadaan itikad umat untuk memakmurkan masjid. Padahal, kata dia, secara tegas Islam mengajarkan umatnya untuk memakmurkan masjid.
Poin utama dari memakmurkan masjid ini adalah tidak semata-mata menjadikan masjid sebagai tempat beribadah. Lebih dari itu, masjid haruslah bisa menjadi tempat untuk memersatukan umat, tempat untuk pendidikan dan dakwah , serta tempat pemberdayaan umat. “Itulah yang akan kami bahas dalam pertemuan DMI di Batam, 28-29 Mei mendatang,” kata dia.
Natsir mengatakan, ketika umat Islam menyadari akan pentingnya memakmurkan masjid, dengan sendirinya pola pembinaan mualaf yang semula terpusat pada segelintir masjid besar bisa ditangani dengan masjid-masjid yang lain. Harapannya, pembinaan mualaf yang mungkin belum optimal di masjid besar, lantaran kapasitas terbatas bisa ditanggulangi.
“Mualaf pun bisa diberikan pembinaan guna memberikan fondasi pengetahuan tentang Islam sehingga mereka bisa mandiri dan berperan dalam syiar Islam,” kata dia.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Penerangan, Kementerian Agama, Ahmad Djauhari menuturkan masalah pembinaan mualaf yang hanya dijalankan segelintir masjid besar disebabkan kebutuhan khusus. Sebagai contoh, ada sejumlah daerah yang mungkin tidak terlalu banyak memiliki atau bahkan tak ada kasus individu yang berpindah agama.
Sebabnya, masjid yang berada di daerah itu tidak menyiapkan semacam program khusus untuk pembinaan mualaf. Sebagai konsekuensi, bila ada jamaah mualaf, maka masjid yang bersangkutan akan merujuk pada masjid yang memiliki program pembinaan mualaf secara terpadu. “Masalahnya memang kondisional saja,” kata dia.
Meski demikian, Djauhari mengatakan sudah seharusnyas setiap masjid memiliki program pembinaan mualaf sekalipun tidak memiliki struktur khusus dalam kepengurusan masjid. Keberadaan program pembinaan itu diharapkan bisa melayani umat yang mungkin mengetahui ada saudara mereka yang mualaf.
Khusus masjid besar, menurut Djauhari, minimal punya strukural khusus semisal divisi pembinaan mualaf.“Tentu kita harus membaca situasi. Jangan sampai pembina mualafnya nganggur. Tapi yang terpenting, posisi masjid haruslah siaga atau siap dengan kondisi yang ada,” kata dia.