REPUBLIKA.CO.ID, JAKATA - Kelompok masyarakat sipil dari Thailand dan Kamboja ingin Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) lebih berperan dalam dalam mengatasi masalah di perbatasan kedua negara.
Hal tersebut diungkapkan oleh Presiden Badan Adhoc Hak Asasi Manusia dan Pembangunan Kamboja, Thun Saray, mewakili kelompok masyarakat sipil Thailand dan Kamboja dalam jumpa pers Konferensi Masyarakat Sipil ASEAN (ACSC)/Forum Rakyat ASEAN (APF) di Jakarta, Kamis (5/5).
"Kami meminta agar ASEAN memainkan perannya dalam masalah ini, khususnya Indonesia yang menjadi ketua saat ini diharapkan dapat ikut menemukan solusi atau minimal menciptakan gencatan senjata di perbatasan," ujar Saray.
Pada tahun ini konflik perbatasan Thailand-Kamboja pertama terjadi pada awal Februari di sekitar kuil Preah Vihear milik Kamboja, dan sengketa kembali pecah pada April yang menyebabkan belasan warga kedua negara tewas dan yang lainnya mengungsi.
"Konflik sudah terjadi mulai 2008 kemudian berhenti dan pecah lagi, dan kali ini semakin buruk. Sejauh yang kami ketahui ada ini sekitar 6.000 orang dari kedua negara harus mengungsi," ungkapnya.
Menurut Saray, pecahnya konflik mengakibatkan anak-anak tidak dapat bersekolah, masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk beraktivitas, serta kesulitan mendapat pangan dan sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Direktur Eksekutif Komite Pendukung Hak Asasi Manusia Thailand, Somsri Hananustasuk, dalam kesempatan itu mengatakan bahwa sebenarnya rakyat kedua negara tidak saling membenci, malahan saling menyayangi.
"Saya memiliki teman dari Kamboja sejak 25 tahun yang lalu, dan kami berkawan akrab. Kadang rakyat Thailand dan Kamboja mendapatkan informasi yang berbeda mengenai konflik ini, karena itu kami menghimbau juga kepada media agar tidak menggunakan alasan nasionalisme untuk memperumit keadaan," ucap Hananustasuk.
Menurut Hananustasuk, perbatasan seharusnya tidak lagi menjadi masalah karena ASEAN nantinya akan menjadi satu komunitas.
"Dari sudut pandang masyarakat sipil, maka perbatasan seharusnya tidak lagi menjadi masalah karena kita nantinya akan menjadi satu komunitas dan perbatasan akan kehilangan artinya," ucapnya.
Seorang aktivis lain dari Yayasan Sukarelawan untuk Generasi Muda di Wilayah Mekong, Supawadee Petrat, mengungkapkan bahwa masyarakat di perbatasan hidup dalam kondisi ketakutan dan pemerintah harus mau untuk mendengar pihak lain demi menyelesaikan masalah itu.
"Masyarakat di sepanjang perbatasan hidup dalam ketakutan padahal sesungguhnya mereka tidak saling berkonflik, akar masalah menurut saya adalah masalah internal politik kedua negara," ujar Petrat.
Ia bersama rekan-rekannya merencanakan aksi jalan damai sepanjang perjalanan pada 14-18 Mei untuk menunjukkan bahwa rakyat di akar rumput Thailand dan Kamboja tidak saling bermusuhan.
Kelompok masyarakat sipil tersebut mengeluarkan tiga rekomendasi untuk ASEAN.
Pertama meminta pemerintah Thailand dan Kamboja memberikan perhatian lebih kepada kesulitan yang dialami oleh rakyat kedua negara yang berada di perbatasan dan memberikan bantuan sesegera mungkin kepada mereka.
Kedua, mendesak agar gencatan senjata permanen dilakukan sesegera mungkin dan menjadi gencatan senjata permanen serta mendorong pemantau dari ASEAN diturunkan di sepanjang perbatasan demi menjaga gencatan senjata tersebut.
Ketiga, ASEAN seharusnya mendukung tindakan masyarakat sipil di kawasan yang bertujuan untuk membawa perdamaian.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan bahwa konflik Thailand-Kamboja akan masuk sebagai salah satu pembahasan dalam KTT ASEAN ke-18 pada 7-8 Mei di Balai Sidang Jakarta.
ACSC/APF yang dilangsungkan pada 3-5 Mei dan dihadiri oleh 1.330 perwakilan kelompok masyarakat sipil tersebut dilangsungkan untuk memberikan masukan kepada para delegasi negara-negara ASEAN yang akan melangsungkan KTT ASEAN.