REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Setara Institute for Democracy and Peace menilai draf revisi UU No 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme mengandung materi yang mengkriminalisasi warga negara secara berlebihan dari UU sebelumnya.
"Tindakan menyebarkan kebencian terhadap negara dan mempengaruhi orang terhadap potensi terorisme memang membantu pemberantasan terorisme, tetapi sangat membahayakan bagi jaminan kebebasan berekspresi, berserikat dan kebebasan mengeluarkan pikiran. Rekan-rekan wartawan bisa juga terkena," kata Peneliti Setara Institute, Ismail Hasani, di Jakarta, Senin (9/5).
Setara institute berpandangan terorisme merupakan puncak dari intoleransi, namun bukan berarti tindakan intoleransi dikualifikasi sebagai bagian dari tindakan terorisme. Tak hanya itu, dalam draf revisi UU terorisme itu juga ada klausul yang menyebutkan "menjadi anggota organisasi atau kelompok yang secara nyata bertujuan melakukan tindak pidana terorisme".
"Rumusan ini sangat berpotensi mengundang kontroversi. Jika organisasi yang selama ini masuk dalam kategori rumusan pasal tersebut, maka dengan mudah kepolisian untuk melakukan penangkapan. Tapi, bagaimana dengan jaminan kebebasan berserikat," katanya mempertanyakan rumusan pasal tersebut.
Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi, mengatakan, revisi UU tentang tindak pidana Terorisme, dimaksudkan untuk mengorientasikan dan menopang kerja-kerja preventif pemberantasan terorisme.
Namun, lanjut dia, dalam revisi UU tersebut masih banyak terdapat kelemahan. Ia mencontohkan, seperti dalam salah satu pasal 13 B dalam UU tersebut yang menyebutkan seseorang menyebarkan kebencian yang dapat mendorong orang, memengaruhi orang atau merangsang terjadinya terorisme dapat dikenakan dipidanakan paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun.
"Rumusan itu memang bagus, tapi sangat membahayakan jaminan kebebasan berekspresi, berserikat, dan mengeluarkan pikiran. Karena, tidak semua tindakan intoleransi dikualifikasikan sebagai tindakan terorisme. Yang bisa dipastikan, bahwa penyebaran kebencian itu bisa dikualifikasikan sebagai tindak pidana," paparnya.
Oleh karena itu, lanjut Hendardi, pemerintah harus mencermati muatan-muatan dalam materi kedua UU tersebut dan dirinya menyarankan agar pemerintah melibatkan berbagai pihak seperti LSM dan instansi-instansi terkait dalam pelaksanaannya