REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Pesawat MA-60 memang tidak bersertifikasi Federation Aviation Administration (FAA), namun Dirut Merpati, Sardjono Jhony Tjitrokusumo, memastikan pesawat buatan Cina tersebut laik terbang. Apalagi pesawat MA-60 telah mengantongi izin terbang dari ototritas penerbangan Cina, Civil Aviation Administration of China (CAAC) dan otoritas penerbangan Indonesia, Direktorat Kelaikan Pesawat dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKPPPU) Direktorat Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan.
"Kita tidak butuh sertifikasi FAA untuk beroperasi karena sudah ada sertifikasi dari otoritas Cina dan Indonesia. Saya bukan orang sadis yang membiarkan pilot dan kru lain untuk terbang kalau tidak laik. Saya juga sudah ikut test flight waktu itu," papar Jhony.
Karena musibah di Kaimana, lanjut Jhony, banyak para ahli yang menarik kesimpulan yang menyudutkan Merpati. Akibatnya, berdampak kepada 1.300 karyawan tetap Merpati dan 800 pegawai kontrak. "Kami suffer karena pemberitaan negatif yang ada. Posisi ini menyulitkan ketika kami sedang berusaha bangkit dan ingin melakukan restrukturisasi Merpati," tegas Jhony.
Ke depan, ia menekankan Merpati akan bangkit dari keterpurukan yang ada saat ini. Hanya saja, Jhony, diperlukan once for all policy untuk mendorong kebangkitan Merpati. Kebijakan yang dimaksudkan antara lain penyertaan modal negara (PMN) untuk keperluan pembayaran utang dan working capital.
Keyakinan Jhony akan kebangkitan Merpati terbukti dari keberhasilan mengecilkan porsi utang dari sekitar 24,88 juta dolar AS menjadi 4,8 juta dolar AS hingga Mei 2011. Pembayaran utang Merpati tersebut murni dari perolehan pendapatan Merpati, belum ada dana bantuan seperti Subsdiary Loan Agreement (SLA) dari pemerintah.
Sejauh ini, Jhony, menyebutkan total kerugian Merpati mencapai 15 juta dolar AS akibat insiden di Kaimana. Adapun harga setu unit pesawat MA-60 yakni 11,2 juta dolar AS.