REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR - Kementerian Kehutanan berupaya menata kembali sistem bagi hasil pertambangan dengan mengusulkan agar perusahaan pertambangan membayar dana konservasi saat melakukan eksplorasi dan eksploitasi di kawasan hutan. Selama ini, kata Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Kemenhut), Darori, saat ditemui di sela-sela perayaan hari keanekaragaman hayati di Bogor, Senin (23/5), para pengusaha tambang hanya dibebani kewajiban membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 2 tahun 2008.
"Padahal, usaha pertambangan itu menggunakan kawasan hutan. Jadi kita ingin ada pungutan dana konservasi dari pertambangan, selain PNBP," katanya.
Untuk itu, kata Darori, pihaknya sedang mengkaji berbagai regulasi terkait, seperti UU No 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati serta berbagai peraturan turunannya PP No 68 Tahun 1998 Tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Dia mengatakan, dana konservasi ini bertujuan untuk tetap menjaga kelestarian hutan, sehingga apa yang diambil dari kawasan konservasi ini ada dampak langsung kembali kepada alam.
PNBP, kata dia, tidak memberikan dampak langsung kepada upaya konservasi alam sebab harus melalui Kementerian Keuangan. "Kita akan mohon kalau uang ini nantinya bisa dikelola lembaga independen atau bisa juga pemerintah," ujarnya.
Potensi tambang di hutan konservasi, kata dia, sangat besar, apa lagi panas bumi, 70 persen berada di kawasan hutan. Darori yakin penerapan kewajiban membayar dana konservasi ini nantinya tidak akan mengganggu investasi di sektor pertambangan karena besarnya kewajiban itu tidak akan membuat investor rugi. "Penghitungannya nanti diatur lagi, jangan sampai dia (investor-red) rugi," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Kehutanan (menhut), Zulkifli Hasan, mengatakan, saat ini pemerintah melalui Kementerian Koordinator Perekonimian sedang membicarakan penataan ulang sistem bagi hasil industri tambang. Artinya, menurut dia, usah tambang itu bukannya tidak boleh, tetapi harus disesuaikan dengan amanat UUD 1945 dimana usaha pengelolaan sumber daya alam harus memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia. "Nah, itulah yang harus kita sempurnakan," katanya menegaskan.
Menteri mengatakan, sistem bagi hasil tambang seperti nikel, emas, bijih besi, batu bara, dan lain-lain selama ini tidak memberikan kontribusi yang besar bagi negara. Ini, kata dia, jauh berbeda dengan sekotor minyak dan gas (migas) yang sudah memiliki sistem bagi hasil yang jelas. "Minyak misalnya, kan pembagiannya jelas, 85-15 persen, kenapa untuk tambang belum, misalnya nikel dan biji besi yang kontribusinya kecil, 1 atau 2 persen saja. Nah, aturan itulah yang harus segera disempurnakan," ujarnya.
Zulkifli mengatakan, penataan sistem bagi hasil ini dilakukan bersamaan dengan revisi UU Mineal dan Batu Bara (Minerba). "Nah, kita usulkan disitu diatur. Bagaimana proses pembagian keuntungan dari hasil kekayaan alam kita itu. Itu lagi kita bicarakan baru kita bahas sekarang ini," katanya.
Bagaimana nanti sistem pembagian hasil itu, Zulkifli mengaku belum ditentukan. Karena proses pembahasan revisi UU Minerba tersebut baru mulai dibahas di menko perekonomian. Namun, yang jelas, kata dia, revisi UU ini diarahkan pada eksplorasi dan eksploitasi mineral dan batu bara sungguh-sungguh memberikan kontribusi bagi sebesar-besarnya pendapatan negara.
"Untuk itu harus ada penataan mengenai hasil industri kekayaan alam itu. Apakah nikel, timah, emas, batu bara, dan bahan mineral sebagainya harus ada pengaturan ulang agar memberikan kontribusi sehingga berdampak untuk kemakmuran rakyat," katanya menjelaskan.
Sementara di tempat terpisah, Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, Hadi Daryanto, mengatakan, kontribusi PNBP penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan pada tahun 2009 mencapai Rp 167,4 miliar dan 2010, Rp 152,75 miliar. Jumlah perusahaan yang melakukan eksplorasi tambang di kawasan hutan pada tahun 2009 adalah 65 unit, sedangkan perusahaan yang melakukan eksploitasi berjumlah 85 perusahaan. Pada tahun 2010, jumlah perusahaan yang melakukan eksplorasi sebanyak 45 unit dan yang melakukan eksploitasi 44 unit.