REPUBLIKA.CO.ID, Pada akhir Januari 2001, satu hari setelah George W Bush disumpah dan dilantik menjadi Presiden, sebuah grup politik konservatif, termasuk jurubicara parlemen AS yang baru-baru ini pensiun, Newt Gingrich, berkumpul di Grover Norquist. Itu adalah nama sebuah kantor di Washington yang menggelar pertemuan dengan pemimpin agama berpengaruh di seantero AS.
Pertemuan itu sangat layak diberitakan sebab Bush berhasil melenggang ke Gedung Putih dengan dukungan nilai-nilai pemilih. Namun yang digelar saat itu bukanlah untuk mewadahi pemilih Kristen, tujuan pertemuan yakni mendiskusikan bermacam isu terkait Muslim Amerika, seluruhnya, mulai dari janji politik, kebebasan sipil hingga hal kecil seperti perangko Ramadhan.
Acara itu diorganisir oleh Islamic Institut, lembaga pemikir yang didirikan oleh cendikiawan Norquist. Daftar tamu pun merentang dari pemimpin organisasi Muslim di Amerika hingga pemimpin komunitas. Menurut sejumlah perkiraan, Muslim telah memberi dukungan besar bagi Bush, paling tidak salah satu tokoh Republik telah menganggap mereka telah membuat perubahan di Florida.
Namun hari-hari itu sudah berakhir, tulis situs berita online AS, Mother Jones, 24 Mei lalu. Kalau pun retorika 'merangkul Muslim' hendak dimunculkan lagi oleh kandidat, ada harapan kecil pada pemilu 2012 nanti. Sejak tragedi WTC 9/11, para kader Partai Republik atau yang dikenal Grand Old Party (GOP) telah membelakangi demograsi pemilih yang tumbuh cepat dan dulu dianggap menjanjikan. Kini GOP memandang mereka seperti samsak tinju.
Anti-Muslim yang Fanatik?
Belakangan ini, tokoh GOP di Kongres dan Senat di penjuru negara telah menempatkan konstituen Muslim mereka sebagai antagonis. Salah satunya dengan mendorong undang-undang yang melarang mutlak penerapan hukum syariah Islam di pengadilan negara.
Bahkan pendiri grup Muslim yang menyokong di balik Bush dulu, anggota GOP dari Colorado, Muhammad Ali Hasan, meninggalkan partai dan menyatakan rasa frustasi dengan pandangan baru partai yang fanatik anti-Muslim.
Kini, masih menurut laporan yang ditulis Mother Jones, ketika para petinggi GOP siap terjun dalam proses pemilu, mereka mulai menghadapi pilihan sulit: Meletakkan retorika anti-Muslim itu atau memilih risiko mengasingkan komunitas Muslim secara permanen. Masalahnya, komunitas Muslim diprediksi menjadi dua kali lipat dalam dua dekade, itu berarti pula mengacuhkan potensi konstituen dalam jumlah besar.
"Para kandidat GOP tidak pernah menghubungi saya dan saya tidak mendapat informasi bahwa ada upaya menjangkau pemimpin Muslim atau komunitas muslim lain," ujar direktur eksektuf Dewan Hubungan Islam Amerika, (CAIR), Nihad Awad, yang juga menghadiri pertemuan Norquist di era Bush tadi. "Dari 2000 hingga kini, ada perbedaan besar dalam istilah jenis hubungan dengan mereka. Kemampuan dan keinginan mereka untuk merangkul komunitas Muslim itu seperti sehari semalam."
Bush, yang meski memutuskan berperang dengan Afghanistan, tetap mengunjungi sebuah masjid dalam kampanyenya dan menyebut Islam sebagai agama perdamaian. Bush melakukan itu setelah traged 9/11. Kontras dengan Bush, para kandidat presiden GOP saat ini cenderung menggunakan Islam sebagai sasaran pukulan gada.
Inilah beberapa sikap tokoh GOP yang sempat menghiasi media massa. Mantan Senator Pennsylvania, Herman Cain, pengusaha Georgia yang grupnya menyatakan sebagai pemenang dalam debat pertama di South Carolina, membuat headline pada Maret ketika ia bersumpah tidak akan menunjuk satu pun Muslim di pemerintahannya.
Politisi GOP, Rick Santorum, kepada Politico, Mei, menegaskan bahwa 'syariah mengerikan adalah isu besar saat ini' sebuah komentar yang digemakan lagi oleh Michele Bachman, senator dari Minnesota. Bahkan mantan Gubernur Minnesota, Tim Pawlenty, yang dianggap salah satu tokoh moderat dalam GOP, dengan berapi-api membatalkan upaya pemerintahannya di St. Paul yang ingin mempromosikan kredit perumahan berbasis Syariah untuk Muslim.
Lalu ada pula Gingrich. Tokoh satu ini, kata direktur eksekutif Dewan Hubungan Islam Amerika (CAR) Nihad Awad, dulu sangat antusias dan mendukung pertemuan di Norquist tempo dulu, yang mencoba merangkul Islam. Kini ia menyeru pelarangan terhadap hukum syariah di AS dan memperingatkan bahwa bangsa kini tengah menggelinding untuk diambil alih oleh kaum Muslim radikal.
"Padahal Gingrich tahu lebih baik," ujar Nihad. "Ia paham bagaimana komunitas Muslim itu. Ia bertemu dengan mereka dan bergaul baik dengan mereka. Saya pikir ini pergeseran murahan hanya untuk perolehan politik. Ia adalah individu yang mampu memahami dan membaca dengan baik. Tapi ia tidak mengambil peran sebagai pemimpin, alih-alih ia memanfaatkan sikap jahil terhadap Islam."
Masa di mana Muslim lebih diperhitungkan terjadi pada Pemilu 2000. Itu saat paling menyolok ketika pemimpin Muslim memastikan posisi komunitas sebagai pemilih dengan suara tidak pasti, yang bisa berubah di masa depan, konstituen yang paling ditarget oleh kubu Demokrat maupun GOP.
Lebih makmur ketimbang rata-rata warga AS, memiliki suara besar dalam kebebasan sipil dan keadilan sosial dan secara historis independen, Muslim menjadi target alami bagi kedua partai. Namun posisi Muslim dalam politik sempat terhadang selama bertahun-tahun akibat kemiskinan.
Senator Dianne Feinsten, dari California, pada 1994 menyatakan "Saya tidak punya waktu untuk bertemu dengan warga yang tak memilih." Saat itu ia mengacu pada komunitas Muslim. (bersambung)