REPUBLIKA.CO.ID, Masih ada kemungkinan harapan, meski kencenderungan halauan Partai Republik AS saat ini menyerang komunitas Muslim. Elibiary, yang mendirikan Yayasan Kebebasan dan Keadilan untuk mempromosikan 'kebijakan publik terpusat' atas nama Muslim Texas, mengutip pernyataan Gubernur negara bagian New Jersey, Chris Christie, dan kandidat gubernur Indiana, Mitch Daniels, yang memilih mengubah retorika partai saat ini.
Christie, yang bersikeras tak akan turun ke bursa kandidat presiden pada 2012, memutuskan hubungan dengan anggota konservatif partai pada pertengahan 2010 lalu demi mendukung pusat komunitas park 51 di Lower Manhattan--dikenal sebagai masjid dekat Ground Zero.
Ia mengabaikan kritikan dari massa anti-syariah dengan menunjuk seorang Muslim sebagai hakim Pengadilan Tinggi Passaic County di New Jersey.
Sementara Mitch Daniel, dengan kakek yang datang ke tanah Amerika dari Syria, baru-baru ini diberi penghargaan oleh Institut Arab Amerika dan menyebut keberadaannya kontras dengan para kolega sesama kader Partai Republik, yakni 'orang dewasa di dalam ruangan' (Daniel menyatakan akan mencalonkan diri di pemilu presiden 2012.)
Strategi Anti-Muslim tidak Berhasil
Elibiary masih meyakini bahwa partai akan kembali berada di sekitar Muslim lagi, namun mungkin butuh waktu. "Para kader Republik, saya pikir akan memperbaiki semuanya pada pemilu 2016," ujarnya. "Banyak orang yang sudah bergeser posisinya turun di bawah, seperti tipe-tipe Newt Gingrich, yang untungnya sudah tak begitu relevan pada 2016 nanti," ujarnya.
Sepertinya sudah menjadi pemahaman bahwa menghantam Islam memang berhasil untuk menaikkan rating televisi, namun sama sekali tak memberi bukti kesuksesan dalam strategi memenangkan pemilu.
Sharron Angle, yang dulu pernah memperingatkan kota Dearbon, Michigan, sudah berada di bawah penindasan hukum syariah, jatuh dengan suara adem ayem dalam kompetisi pemilihan Senat Nevada.
Kandidat anggota Kongres dari Tennessee, Lou Ann Zelenik, yang menentang keras proposal pusat komunitas Islam di Murfreesboro, yang ia jadikan isu utama kampanye, mengalami kekalahan besar dari kandidat konservatif yang mendukung masjid.
Lalu ada mantan anggota Kongres dari New York, Rick Lazio, yang memilih mengeksploitasi sisi negatif proyek Park 51 (masjid dekat Ground Zero). Ia tidak pernah lolos dalam putaran utama pemilihan gubernur negara bagian New York.
Apakah Muslim Solid?
Namun, meski pemimpin Muslim berupaya memulihkan kekuatan politik komunitas, masih akan jauh dari kondisi pada tahun 2000 lalu. Direktur MPAC, Haris Tarin tidak terlibat dalam upaya itu, namun ia melihat gagasan "Muslim memilih" yang berhasil dimenangkan oleh organisasi itu satu dekade lalu, kurang realistis saat ini. Pasalnya, ia menilai perbedaan dalam komunitas Muslim Amerika masih terlalu mencolok.
"Strategi itu mungkin potensial di tingkatan lokal, seperti Virginia Utara, atau bagian dari Michigan," ujarnya. "Namun di skala nasional, memiliki satu blok pemilik masif sungguh mustahil." ujarnya.
Ada debat pula yang menyangsingkan apakah memang ada gerakan "Muslim Memilih" untuk dicetuskan. Konsultan Demokrat dna pendiri Institut Arab Amerika, James Zogby, mengatakan laporan bahwa ada kemenangan masif akibat suara penyatuan suara Muslim pada tahun 2000 hanyalah 'pikiran penuh harapan baik'. "Angka sesungguhnya tak pernah ada," ujarnya.
Ia menuturkan, saat itu di kantornya, usai pemilu digelar ia mendapat laporan dari tiga grup etnis yang mengklaim atas kemenangan. "Setiap orang yang memiliki lebih dari 500 pemilih di Florida mengklaim kemenangan itu."
Berdasar perhitungan Zogby, Bush hanya memperoleh 46 suara dari pemilih Muslim di Florida. Angka itu jauh dari klaim CAIR yang menyatakan 72 persen. Meski, jumlah itu secara signifikan masih jauh lebih tinggi dari pencapaian partai yang pernah ada, terlebih diperoleh dan di negara bagian Florida, di mana satu suara saja sangat berpengaruh.
Namun dari pemilu itu terlihat jelas, bagaimana Muslim Amerika masih belum solid benar dalam partisipasi politik negara. Berbeda dengan Yahudi misal, yang lewat Komite Urusan Publik Amerika Israel (AIPAC), selalu berhasil membuat anggota komunitas solid dan terorganisir dalam partisipasi politik di AS.
Disinggung dalam artikel sebelumnya, meski jumlah Yahudi dan Muslim relatif sama, namun karena komunitas Yahudi lebih terorganisir, maka kekuatan politik mereka lebih diperhitungkan. AIPAC kini adalah salah satu lembaga pelobi terkuat di AS yang terbukti ikut mempengaruhi kebijakan di Gedung Putih, salah satunya kebijakan luar negeri AS terhadap konflik AS dan Palestina.
Mendiang aktivis perdamaian yang pernah terjun dalam gerakan kemanusiaan di Palestina, Arthur G Gish, pengarang The Hebron Journal: Stories of Non-violent Peacemaking, (diterjemahkan oleh Mizan, 2008), dalam obrolan singkat saat berkunjung ke Indonesia 2008 lalu menyatakan peta politik AS mungkin bergeser bila wajah Muslim di negara itu kian bertambah. Sehingga Muslim sebagai konstituen tak bisa lagi dipandang remeh, tapi tentu dengan suara solid, tidak terpecah.
Citra Republik
Grand Old Party (GOP) sebutan lain untuk Partai Republik, menurut Elibiary, sebenarnya tidak memiliki masalah dengan Muslim di banyak hal. Para aktivis partai tingkat akar rumput tidak mempedulikan soal keyakinan, namun partai itu memiliki masalah citra.
"Pemilih Muslim atau pemilih Latin, atau pemilih Asia, jika jendela mereka ke Partai Republik adalah tokoh konservatif macam Hannity atau Beck ( nama ikon media konservatif totok, Sean Hannity dan Glen Beck, yang membawakan acara berhalauan Republik kental di jaringan tv Fox News), atau tayangan opini sejenis, maka ya mereka tidak akan memilih orang-orang macam itu, mereka tidak akan memilih partai dengan orang-orang itu," uja Elibiary.
Namun hingga kini tak ada tanda-tanda Fox News bakal melunak. Bahkan selama beberapa tahun terakhir, lewat undang-undang imigrasi keras, sikap penerimaan terhadap 'yang lain' dan serangan retorika terhadap Islam, para anggota GOP telah mengonsolidasi cengkraman terhadap pemilih kulit putih dengan ongkos mengorbankan konstituen lain, meski ketika demografi telah mencerminkan, massa yang mereka cengkeram kian mengecil dan menyusut dari seluruh jumlah elektorat.
Memang, tulis Mother Jones, masih terlalu dini untuk menyatakan lagi apakah pemilih Muslim akan sekali lagi membuat perbedaan pada pemilu 2012 nanti. Lagi pula, Presiden Obama juga dibilang gagal memenuhi janji-janji besar dalam hak-hak kebebasan sipil. Sementara Republik juga gagal merangkul konstituen yang dulu pernah menjadi harta karun mereka. Tentu itu menjadi pertanyaan yang dihadapi partai secara keseluruhan, bagaimana mereka dapat mememangkan pemilu tanpa menghancurkan kesempatan dan peluang di masa depan?