REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Undang-Undang Partai Politik mengamanatkan waktu pelaksanaan pemilu dilakukan 2,5 tahun sebelum hari pencoblosan (Pasal 51 ayat 1b). Namun, dengan perubahan putusan ambang batas oleh Badan Legislatif DPR, amanat ini sulit diwujudkan.
Pada kesimpulan rapat pleno terakhir yang digelar pekan lalu, Baleg akan melampirkan seluruh usulan ambang batas atau parliamentary threshold (PT) masing-masing fraksi. Ini berbeda pada putusan rapat pleno Baleg yang digelar pada 5 April di Masa Sidang III lalu.
Pada 5 April itu, seperti yang dikatakan Wakil Ketua Baleg, Ida Fauziyah, pimpinan rapat pleno saat itu telah mengetuk palu bahwa angka PT yang berhasil diterima seluruh fraksi adalah 3 persen. "Angka 3 persen itu sebenarnya sudah diputus, cuma Golkar merasa tidak setuju," cerita Ida, Sabtu (28/5).
Padahal, lanjut Ida, saat putusan itu diketuk, terdapat perwakilan Golkar yang duduk di Baleg DPR. Hasil ini kemudian berubah seiring pernyataan protes Golkar saat rapat pleno kembali digelar pekan kemarin. Atas protes inilah, Baleg mengubah putusan 5 April dan menghapus penetapan PT 3 persen untuk dibawa pada Sidang Paripurna mendatang.
Perubahan ini dilihat Partai Hanura sebagai upaya partai besar untuk membalikkan keadaan. "Tiga partai besar mencoba menganulis kesepakatan yang mereka buat sendiri (pada 5 April)," kata Ketua DPP Hanura, Akbar Faisal yang juga duduk di Komisi II DPR RI.
Hanura, bersama PKB, Gerindra dan PPP menginginkan PT tetap dipertahankan seperti pemilu 2009 sebesar 2,5 persen. Namun, Golkar bersama PDIP bersikukuh PT 5 persen untuk memperkecil jumlah parpol peserta pemilu. Sementara Demokrat memilih 4 persen, dan PKS antara 3-4 persen.