REPUBLIKA.CO.ID,BRASILIA - Ronaldo Luis Nazario de Lima. Namanya seperti sebuah takdir bagi dunia sepak bola. Di kakinya lah sepak bola menemukan keindahan baru, layaknya Pele dan Maradona melakukannya di masa lalu.
Bagi sebagian masyarakat di tanah Brasilia, Ronaldo ibarat seorang dewa yang diutus ke bumi untuk menorehkan gol di atas lapangan hijau. Tak pelak namanya bersanding dengan jajaran legenda terbesar kulit bundar.
Bagi Ronaldo sendiri, gol dan sepak bola merupakan nafas yang membuatnya tetap “hidup” di bumi. Nafas yang kini harus dia hembuskan terakhir kali. Pada 8 juni 2011, Ronaldo memutuskan untuk mengakhiri karier panjang di dunia sepak bola untuk selama-lamanya.
Ibarat seorang petarung sejati, dia memilih untuk “mati” di arena pertempuran sepak bola, yang juga menjadi tempat kelahiran nama besarnya. Mengenakan serangam kebesaran Tim Samba Brasil bernomor punggung sembilan, Ronaldo merumput untuk terakhir kalinya dengan menghadapi tim Eropa Timur, Rumania.
Perpisahan Ronaldo terjadi saat pertandingan Brasil vs Rumania memasuki menit ke 30. Saat itu asisten wasit mengumumkan pergantian pemain bagi Brasil. Nomor 19, Fred diganti dengan pemain bernomor punggung sembilan yang tidak lain merupakan sang legenda, Ronaldo. Tepukan tangan langsung membahana bersamaan dengan langkah terakhir sang bintang di atas rumput hijau.
Kejadian yang seperti membangkitkan memori publik Brasil 15 tahun yang lalu. Di stadion yang sama, Ronaldo muda melangkah masuk ke lapangan Municipal dan melesakkan gol-gol kemenangan Cruzeiro atas tuan rumah Sao Paolo. Gol yang melengkapi catatan fenomenal Ronaldo di awal karier dengan membukukan 12 gol dalam 14 laga.
Karier Eropa
“Cruziro merupakan tempat hati saya berlabuh. Ini lah tonggak terpenting dalam karier saya,” ujar Ronaldo mengenang masa lalu.
Dari Cruziro, Ronaldo memutuskan mengadu peruntungan di Eropa. Bermula dari PSV Eindhoven, dia lahir sebagai salah satu bakat terbesar sepak bola.
Sebanyak 42 gol dia bukukan dari 46 penampilan bersama PSV. Hasil yang membawanya ke tim nasional Brasil pada Piala Dunia 1994. Ronaldo yang saat itu masih berusia 17 tahun berhasil membawa Brasil menjadi juara dunia.
Ronaldo pun makin menegaskan diri sebagai fenomena baru sepak bola setelah hijrah ke Spanyol akhir 1996. Bersama klub Katalan, Barcelona, dia sukses mencetak rekor 34 gol dalam 37 penampilan. Capaian yang mengantarkannya ke puncak tertinggi dunia.
Dia menjadi manusia termahal dalam sejarah sepak bola modern ketika memutuskan hijrah ke Inter Milan tahun 1997. Di saat puncak pencapaian sebagai pesepakbola profesional dia rengkuh, di saat yang sama tragedi terburuk menjumpainya. Tregedi yang dimulai dari rentetan kegagalan meraih gelar juara Seri A bersama Inter.
Kegagalan yang dilengkapi malapetaka di Piala Dunia 1998. Tangis Ronaldo mengucur karena dia gagal mengantarkan Brasil menjadi juara setelah ditaklukkan Prancis di final dengan skor 0-3. Tangis kekalahan yang tidak terlepas dengan kontroversi cidera Ronaldo jelang final.
Periode Buruk
Periode buruk tidak mau beranjak dari Ronaldo pada tahun berikutnya. Sebaliknya, pukulan terberat justru dia dapatkan yakni cidera lutut parah yang menyebabkannya absen tampil selama dua tahun pada akhir 2000. “Saat itu seperti kiamat bagi saya. Namun, saat itulah saya belajar lebih tentang arti hidup,” jelas Ronaldo
Tangis, duka, dan kecewa Ronaldo selama di Italia sepertinya menjadi titik akhir bagi perjalanan sang bintang. Namun, segala prediksi itu mampu dia tepis dengan tampil gemilang di Piala Dunia 2002, sekaligus mengantarkan Samba sebagai juara dunia untuk kelima kalinya.
Tangis seakan ingin dibuang di Italia, ketika dia memutuskan hijrah ke Real Madrid pasca Piala Dunia 2002. Spanyol kembali menjadi tempat reinkarnasi Ronaldo dengan kesuksesannya meraih Liga Champion untuk pertama kalinya. Ronaldo pun kembali menegaskan statusnya sebagai salah satu penyerang terbaik dunia dengan membukukan 83 gol dari 127 kali penampilan.
Suka dan kegemilangan di Spanyol kembali berubah menjadi petaka dalam hitungan tahun. Tanah Spagetti pun kembali membawa takdir buruk bagi Ronaldo. Merumput bersama AC Milan, Ronaldo kembali menuai tangis. Kali ini cidera lutut kembali menghampiri saat turun berlaga melawan Livorno, awal 2008. “Walau singkat, bersama AC Milan saya seperti menemukan rumah baru,” kenangnya.
Kembali ke Brasil
Tragedi di Italia pada akhirnya membawa sang bintang kembali ke tanah kelahirannya untuk memperkuat Corenthians. Walau mencoba bangkit saat berseragam Corinthians, namun cidera lutut kembali menghalangi. Alhasil, usahanya untuk tetap “bernafas” dengan gol-gol yang dicetak kerap mendapat sandungan.
Tak pelak, sang bintang pun menyerah pada takdir dan waktu. Pengumuman perpisahan dia sampaikan kepada dunia dan laga melawan Rumania menjadi akhir dari segalanya. Akhir yang membawa haru bagi segala pecinta sepak bola.
Walau dalam kondisi fisik yang terbatas dengan bobot berat badan berlebih, Ronaldo seperti ingin bernafas untukl terakhir kalinya. Gol coba dia bukukan di laga terakhir melawan Rumania. Namun sayang, usahanya membuahkan kegagalan.
Sepanjang 15 menit di titik paling akhir kariernya, Ronaldo gagal mebuahkan gol. Kendati gagal mebukukan gol di penampilan terakhir, publik dunia tetap memberika applause yang luar biasa terhadap 15 tahun karier luar biasa seorang Ronaldo.
Seluruh publik di di Municipal pun berdiri member penghormatan terakhir bagi Ronaldo usai ditarik keluar di babak kedua. Sambutan yang langsung diiringi tangis terakhir dari sang bintang. “Saya mohon maaf karena gagal mencetak gol dari tiga kesempatan yang saya dapat (melawan Rumania). Terma kasih pada seluruh pihak yang sudah membantu seluruh perjalanan karier saya,” ujar Ronaldo sembari berderai tangis.
Berbeda dengan tangisnya terdahulu, air mata yang membasahi pipi Ronaldo menjadi perlambang rasa bangga dan haru sang bintang. Tangis bahagia pun menjadi akhir perjalanan sang Ronaldo, bintang yang menjadi takdir bagi sepak bola.. selamat jalan Ronaldo.