REPUBLIKA.CO.ID,AMSTERDAM - Koran Trouw memuat artikel berjudul "Evolusi Terorisme di Indonesia: pejuang-pejuang ekstremis mencari pendekatan di kelompok-kelompok non-kekerasan untuk mendapat dukungan lebih besar."
Hakim pengadilan negeri Jakarta Selatan baru saja memutuskan Abu Bakar Ba'asyir, pemimpin Jamaah Ansharut Tauhid atau JAT, vonis hukuman penjara 15 tahun. Putusan itu datang saat terorisme di Indonesia sedang dalam perubahan. Serangan teror besar terakhir di Indonesia terjadi tahun 2009.
Setelah itu, terorisme terutama diarahkan pada orang-orang Indonesia sendiri. Misalnya pos-pos dan mesjid polisi dan yang terakhir bom di bawah gereja. Beberapa bulan lalu sejumlah tokoh dan selebritis Indonesia bahkan dikirimi bom buku.
Sasarannya sekarang muslim moderat, Kristen di Indonesia dan polisi. Serangan terhadap polisi diartikan sebagai balasan atas banyaknya penangkapan pejuang ekstremis. Polisi menjadi sasaran karena telah membantu melemahkan jaringan teror di Indonesia.
Cari Dukungan
Karena itu, kelompok-kelompok ekstremis mengubah haluan. Mereka mendekati kelompok-kelompok muslim yang tidak menggunakan kekerasan untuk mendapat lebih banyak dukungan.
Misalnya kelompok yang mendukung penerapan syari'ah, menentang pornografi, menentang Ahmadiyyah dan sebagainya. Dengan cara ini pula, kelompok-kelompok ekstremis ini ikut campur tangan dalam politik Indonesia.
Trouw menulis,"Tokoh garis keras Islam duduk berdampingan dengan kelompok non-kekerasan. Mereka bertemu di berbagai ajang pertemuan."
Koran ini juga menyitir pendapat pakar terorisme Noor Huda Ismail. "Kita tahu bahwa penjara adalah sekolah kejahatan terbaik. Di penjara, Ba'asyir dapat mengembangkan ajarannya, menyiapkan teroris-teroris baru. Karena, Ba'asyir punya satu kepandaian: menjadi sumber inspirasi dan menyatukan orang,'' katanya.