REPUBLIKA.CO.ID,GAZA - Mesir mengizinkan rombongan bantuan kemanusiaan memasuki Jalur Gaza, yang dikuasai HAMAS, Ahad (19/6) malam. Demikian kata beberapa pejabat Palestina.
Rombongan tersebut terdiri atas 62 pegiat kemanusiaan. Kebanyakan warg anegara Eropa, serta Afrika Selatan, Tunisia dan Lebanon. Mereka membawa ambulans, obat dan perlengkapan medis.
Satu kapal bernama Miles of Smiles membawa bantuan dan merapat pada Sabtu (18/6) di kota pelabuhan Mesir, El-Arish, sekitar 45 kilometer dari tempat penyeberangan perbatasan antara Jalur Gaza dan Sinai, Rafah. Demikian laporan Xinhua pada Senin (20/6).
Rombongan bantuan itu tiba di Mesir satu tahun setelah Israel mengendurkan blokadenya atas Jalur Gaza. Blokade yang diberlakukan sejak HAMAS mengambil-alih daerah kantung pantai tersebut pada 2007.
Berdasarkan kebijakan baru Israel mengenai Jalur Gaza, maka produk konsumen telah tersedia di Jalur Gaza. Namun demikian, Israel tetap menahan sebagian bahan bangunan dan bahan mentah.
Israel meredakan sanksinya karena menghadapi kecaman internasional setelah serangan brutalnya terhadap armada bantuan pimpinan Turki menuju Jalur Gaza. Sembilan pegiat tewas dalam serangan pasukan komando Israel itu.
Saat menyambut dan menerima anggota rombongan tersebut, seorang pejabat HAMAS, Ahmed al-Kurd, mengkritik Mesir karena mempertahankan pembatasan terhadap gerakan orang Palestina yang ingin melintasi tempat penyeberangan Rafah. Pada awal Juni, Mesir menyatakan negeri itu melakukan beberapa tindakan guna mengizinkan warga Jalur Gaza menyeberang dengan mudah ke dalam wilayahnya.
"Sebanyak enam bus sedang menunggu sejak pagi untuk menyeberang ke Mesir ... buka lah perbatasan dan akhiri pengepungan," kata al-Kurd.
Pada pekan lalu, Presiden Palestina Mahmud Abbas mendesak Uni Eropa agar secara terpisah atau kolektif mengakui negara Palestina. Selama pertemuan dengan Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Catherine Ashton, Abbas menegaskan bahwa posisi Palestina adalah melanjutkan proses perdamaian dengan Israel.
''Pihak Palestina berharap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mau menerima pembicaraan dua negara serta menghentikan pembangunan pemukiman Yahudi, terutama di Jerusalem,'' kata perunding Palestina Saeb Erakat.