REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sudah dua orang tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Arab Saudi menerima hukuman pancung karena terbelit kasus pidana. Saat proses eksekusi kedua TKI itu, Pemerintah Arab Saudi tidak menginformasikan kepada Pemerintah Indonesia.
Karena itu, tutur Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Budidarmono, saat ada warga negara Arab Saudi yang terlibat permasalahan hukum dan harus dihukum mati, maka Pemerintah Indonesia tidak berkewajiban menginformasikan waktu ekseskusinya. Hal ini menurut Budidarmono secara internasional dibolehkan karena memang Pemerintah Arab Saudi tidak kooperatif dengan Pemerintah Indonesia.
Upaya Presiden SBY yang akan melayangkan protes keras kepada Pemerintah Arab Saudi, menurut dia, sudah menunjukkan keseriusan pemerintah Indonesia. Karena menurut Budidarmono, dari sisi hukum, kekuasaan Pemerintah Indonesia hanya terbatas di dalam Indonesia. Sementara Pemerintah Arab Saudi di sisi lain sangat otoriter.
Dalam kasus Ruyati, sesuai tata hukum internasional, yang berlaku hukum Arab Saudi, kata Budidarmono. Tetapi, karena pelaku asal Indonesia seharusnya Pemerintah Indonesia dilibatkan selama proses hukum berlangsung. Tapi pada kenyataannya saat eksekusi justru Pemerintah Indonesia tidak diberi informasi.
Karena itu, untuk meningkatkan upaya perlindungan TKI di Arab Saudi perlu adanya perjanjian kerja sama dalam bentuk nota kesepahaman kedua negara. Namun yang terpenting adalah terwujudnya akses untuk memantau TKI yang bekerja di dalam rumah.''Tanpa akses pemantauan upaya perlindungan sulit untuk terwujud,'' tutur Budidarmono.