Senin 27 Jun 2011 17:54 WIB

Kasus Nazaruddin Jadi Pintu Masuk Bongkar Mafia Anggaran

Rep: Esthi Maharani/ Red: Djibril Muhammad
Mantan bendahara Partai Demokrat M Nazaruddin
Foto: Antara
Mantan bendahara Partai Demokrat M Nazaruddin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kasus M Nazaruddin yang diduga terlibat kasus Seskemenpora semakin mengerucut pada keberadaan mafia anggaran di lingkungan legislatif. Kasus ini dianggap bisa menjadi pintu masuk untuk membongkar mafia anggaran.

Ketua Forum Masyarakat Pemantau Pemilu, Sebastian Salang mengatakan Salah satu pintu masuk yang paling dekat adalah kasus mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazaruddin. "Bayangkan, Nazar terlibat di Kemenpora, Kemendiknas, hingga Kemenakertrans. Mungkin terlibat di semua kementerian dan departemen. Itu pintu masuknya," tuturnya dalam diskusi 'Mengatasi Mafia Anggaran' di DPD, Senin (27/6).

Menurutnya, mafia anggaran yang sesungguhnya belum tersentuh. "Apa yang kita saksikan sekarang bukan mafia anggaran, tapi hanya sebatas pemain atau pelaku lapangan," katanya. Ia mengatakan ada aktor intelektual yang mengatur dan mengendalikan pengelolaan anggaran di negeri ini. Aktor itu bukan biasa, tetapi pihak yang memiliki jaringan ekonomi, politik, dan hukum.

Karena itulah, KPK punya kesulitan besar menjangkau mafia sesungguhnya hingga saat ini. Nazaruddin menjadi ujian yang berat. Sebab, jika tertangkap, dia bia mengungkap praktek mafia anggaran di DPR dan menunjuk hidung siapa saja pelakunya. Kalau tidak, maka yang akan tertangkap hanya orang-orang yang bertransaksi Rp 100-200 jutaan saja.

Menurutnya, bicara soal praktek mafia anggaran tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan besar institusi yakni DPR. Sebab, DPR yang memiliki kekuatan untuk menentukan. "Praktik mafia anggaran kuat dengan kekuasaan yang dimiliki DPR," katanya.

Peneliti ICW, Abdullah Dahlan menilai praktik mafia anggaran sangat kuat diduga mengalir dan dialokasikan untuk kepentingan parpol. Istilah yang sering digunakan yakni penjatahan. Menurutnya ada distribusi anggaran atas fee yang diperoleh. "Parpol tahu kondisi ini, tetapi kenapa dibiarkan? Karena parpol juga diuntungkan," katanya.

Hal ini diperparah dengan pembahasan mengenai anggaran tidak pernah dilakukan secara terbuka. Contohnya dari kasus dana percepatan infrastruktur daerah (DPID). "Harusnya DPID tidak menjadi persoalan ketika sistem database di daerah sudah ada," katanya.

Tak hanya itu, formula mengenai hal ini pun tak ditentukan secara jelas. Dengan pembahasan yang tertutup, maka memungkinkan praktik transaksional terjadi. Menurutnya, ada mekanisme yang salah di dalam anggaran. "Yang menentukan indicator formula anggaran seharusnya adalah eksekutif," katanya.

Ketua Panitia Akuntabilitas Publik DPD, Farouk Muhammad mengatakan cek balance dalam legislatif belum tercapai sehingga terjadi konsentrasi kekuasaan. Dari keluhan di daerah, lanjutnya, diakui mereka masih menghadapi realita harus mengeluarkan uang jika ingin mendapatkan anggaran.

"Walaupun keluar dana 25 persen tidak bermasalah yang penting dia dapat (anggaran) daripada gak dapat. Itu kondisinya. Apa kita mudah cap pemda koruptor atau ada sistem yang buat mereka disudutkan dalam proses seperti itu," katanya.

Artinya, mafia anggaran yang berkembang sekarang terjadi di mekanisme penggunaan anggaran, yakni pada waktu tender proyek. Dalam proses pengalokasian anggaran, bisa terjadi modus mark up. "Ada pengalokasian dengan penentuan pagu indikatif secara berlebihan atau tidak layak, tetapi proyeknya belum jelas. Ini berpotensi disalahgunakan karena belum ada aturan mainnya," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement