REPUBLIKA.CO.ID, Mariyah Al-Qibthiyah adalah seorang budak Kristen Koptik yang dikirimkan oleh Raja Mesir, Muqauqis, sebagai hadiah kepada Nabi Muhammad SAW. Muqauqis menolak tawaran Rasulullah untuk masuk Islam.
Rasulullah SAW mengirim surat kepada Muqauqis melalui Hatib bin Baltaah, menyeru sang raja agar memeluk Islam. Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia menolak memeluk Islam. Justru dia mengirimkan tiga orang budak; Mariyah, Sirin (saudara Mariyah), dan Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk Rasulullah, termasuk keledai dan kuda putih (bughlah).
Di tengah perjalanan Hatib dapat merasakan kesedihan hati Mariyah karena harus meninggalkan kampung halamannya. Hatib menghibur mereka dengan menceritakan tentang Rasulullah dan Islam, kemudian mengajak mereka memeluk Islam. Mereka pun menerima ajakan tersebut.
Rasulullah menerima kabar penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya beliau dengan budak-budak pemberian Muqauqis itu. Beliau mengambil Mariyah untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit.
Banyak sumber Muslim mengatakan bahwa Rasulullah kemudian memerdekakan dan menikahi Mariyah, namun ini tidak jelas apakah ini fakta historis atau apologi historis. Masalah lain, budak tidak secara otomatis merdeka karena masuk Islam, sehingga hal ini tidak begitu jelas mengapa Mariyah harus dimerdekakan jika dia siap diislamkan. Ibnul Qayyim menyatakan bahwa Mariyah hanya seorang selir.
Tentang nasab Mariyah, tidak banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya adalah Mariyah binti Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang dikenal dengan nama Hafn. Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah penganut agama Masehi Romawi. Setelah dewasa, bersama saudara perempuannya, Sirin, Mariyah dipekerjakan pada Raja Muqauqis.
Imam Al-Baladziri berkata, "Sebenarnya, ibunda Mariyah adalah keturunan bangsa Romawi. Mariyah mewarisi kecantikan ibunya sehingga memiliki kulit yang putih, berparas cantik, berpengetahuan luas, dan berambut ikal."
Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang cantik itu, sehingga Rasulullah harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin Nu’man yang terletak di sebelah rnasjid. Mariyah tidak dikategorikan sebagai istri dalam beberapa sumber paling awal, seperti dalam catatan Ibnu Hisyam dalam Sirah Ibnu Ishaq.
Kehadiran Mariyah ternyata membuat kedua istri Rasulullah, Hafsah dan Aisyah, berkonspirasi karena cemburu. Sehingga turunlah firman Allah: "Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang istrinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula." (QS At-Tahrim: 3-4)
Allah menghendaki Mariyah al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah Khadijah Al-Kubra. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayyah meninggal dunia.
Mariyah mengandung setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai seorang anak pun. Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan sangat hati-hati.
Pada bulan Dzulhijjah tahun ke-8 Hijriyah, Mariyah melahirkan bayinya. Rasulullah kemudian memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah dari nama bapak para nabi, Ibrahim AS. Lalu beliau memerdekakan Mariyah sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Rasulullah dengan gembira.
Rasulullah mengaqiqahkan Ibrahim dengan menyembelih dua ekor domba yang besar, mencukur rambut bayi dan bersedekah kepada fakir miskin dengan harta senilai perak yang seukuran dengan timbangan rambut Ibrahim yang telah dicukur. Ibrahim kemudian disusui oleh seorang istri tukang pandai besi yang bernama Abu Saif yang tinggal di perbukitan Madinah.
Aisyah mengungkapkan rasa cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah Haritsah bin Nu’man Al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi, beliau sering kali di sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu, Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat itu. Sungguh itu lebih menyakitkan bagi kami.”
Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni anak seorang pun.”
Beberapa orang dari kalangan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak hasil perbuatan serong dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan kemudian menjadi pelayan bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran untuk diri Mariyah setelah Ali bin Abi Thalib menemui Maburi dengan pedang terhunus. Maburi menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja.
Pada usianya yang kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan kedua orang tuanya. Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malam—ketika sakit Ibrahim bertambah parah—dengan perasaan sedih Nabi bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim dalam keadaan sekarat, Rasulullah bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”
Tanpa beliau sadari, air mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia, beliau kembali bersabda, “Wahai Ibrahim, seandainya ini bukan perintah yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim. Mata kami menangis, hati kami bersedih, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.”
Demikianlah keadaan Nabi ketika menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam kesedihan, beliau tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi contoh bagi seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar. Rasulullah SAW mengurus sendiri jenazah anaknya kemudian beliau menguburkannya di Baqi’.
Kematian Ibrahim bertepatan dengan gerhana matahari. Orang-orang lalu menghubungkan kematiannya dengan gerhana, namun Rasulullah meluruskan. "Gerhana bulan dan matahari tidak terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang," sabda beliau.
Setelah Rasulullah SAW wafat, Mariyah hidup menyendiri dan menujukan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Dia wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, yaitu pada tahun ke-46 hijrah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khathab. Khalifah Umar sendiri yang menyalati jenazah Ummul Mukminin Mariyah, dan kemudian dimakamkan di Baqi’.